Transisi Energi: Antara Peluang dan Acanaman Ketidakadilan
Transisi Energi: Antara Peluang dan Acanaman Ketidakadilan (Catatan Refleksi atas Buku Pergulatan Transisi Energi Berkeadilan*)
Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, M.Pd. (Praktiksi dan Pemerhati Literasi Lingkungan)
PWMJATENG.COM – Transisi energi adalah sebuah keniscayaan dalam upaya global mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mengatasi krisis iklim yang semakin nyata. Namun, di balik urgensinya, terselip tantangan besar yang sering kali terabaikan: menjamin bahwa transisi ini berjalan secara adil bagi semua pihak. Ketika dunia melangkah menuju energi yang lebih bersih, narasi keadilan harus menjadi inti dari peralihan ini, bukan sekadar embel-embel atau wacana di pinggiran.
Secara konseptual, transisi energi yang berkeadilan adalah usaha untuk memastikan bahwa manfaat dari perubahan ini tidak hanya dirasakan oleh kelompok-kelompok tertentu, tetapi merata bagi semua kalangan, termasuk mereka yang selama ini termarjinalisasi dalam akses energi. Sayangnya, tanpa pengawasan yang ketat, transisi energi berpotensi besar menjadi sekadar alat baru untuk melanggengkan ketimpangan energi yang sudah ada. Meskipun energi terbarukan berpotensi besar mengatasi ketidakadilan di sektor energi, dalam praktiknya, tanpa kebijakan yang tepat, ia bisa saja memperparah ketimpangan.
Sebagai contoh, investasi besar-besaran dalam proyek energi terbarukan sering kali terpusat pada negara atau wilayah dengan modal politik dan ekonomi yang kuat. Sementara itu, negara-negara berkembang atau komunitas miskin yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim kerap tertinggal dalam menikmati manfaat transisi ini. Dalam konteks ini, ketimpangan lama hanya direproduksi dalam bentuk baru. Negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang mapan akan semakin memperkuat dominasinya atas teknologi dan infrastruktur energi baru, sementara kelompok masyarakat rentan, baik di negara berkembang maupun maju, hanya menjadi penonton dalam proses transisi yang semestinya melibatkan mereka.
Selain itu, permasalahan lain muncul ketika para pemangku kepentingan dengan pengaruh sosial-politik yang minim cenderung tergulung dalam proses ini. Transisi energi, meski berangkat dari niat baik, sangat mungkin mengorbankan mereka yang tidak memiliki akses terhadap pengambilan keputusan. Misalnya, komunitas lokal yang selama ini bergantung pada industri berbasis energi fosil berpotensi mengalami dislokasi ekonomi besar-besaran jika tidak disertai dengan program pelatihan ulang atau dukungan ekonomi yang memadai. Kehilangan pekerjaan, perpindahan paksa, serta hilangnya identitas budaya terkait dengan pekerjaan mereka di industri tersebut adalah beberapa contoh bagaimana transisi energi bisa menjadi pengalaman yang traumatis bagi banyak pihak.
Baca juga, Sebab Hancurnya Sebuah Kepemimpinan
Selain persoalan sosial, transisi energi juga rawan mandek akibat kerumitan irisan antar sektor dan kepentingan. Pergeseran dari energi fosil ke energi terbarukan tidak hanya melibatkan perubahan teknologi, tetapi juga berimplikasi besar pada politik energi, regulasi lingkungan, serta struktur pasar global. Tanpa koordinasi yang baik antara berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, perusahaan energi, hingga masyarakat sipil, transisi ini bisa mengalami kebuntuan atau bahkan penolakan sosial. Resistensi dari kelompok-kelompok yang merasa terancam oleh perubahan ini bisa semakin memperlambat proses transisi yang sudah berjalan lambat.
Dalam konteks Indonesia, percakapan mengenai transisi energi berkeadilan belum mendapatkan porsi yang signifikan di ruang publik. Negara ini memang memiliki potensi besar untuk memanfaatkan energi terbarukan, seperti energi surya, panas bumi, dan angin. Namun, tantangan besar muncul dalam bagaimana memastikan bahwa masyarakat adat, komunitas pedesaan, dan pekerja sektor energi tradisional dapat turut serta dalam proses transisi ini tanpa mengalami kerugian. Tanpa kebijakan yang inklusif, transisi energi hanya akan menciptakan bentuk baru dari ketimpangan yang selama ini mengakar dalam sistem energi nasional.
Oleh karena itu, percakapan tentang transisi energi yang berkeadilan harus segera dimulai. Ia bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Kesadaran bahwa transisi ini tidak hanya menyangkut perubahan teknologi, tetapi juga transformasi sosial, ekonomi, dan politik harus ditanamkan pada setiap aktor yang terlibat. Kebijakan transisi energi harus dirancang sedemikian rupa sehingga memastikan partisipasi semua pihak, terutama kelompok-kelompok yang selama ini kurang terwakili. Pada akhirnya, transisi energi bukan hanya soal mengganti sumber daya alam yang dieksploitasi, tetapi juga soal bagaimana kita memikirkan ulang relasi kuasa dalam distribusi energi, agar lebih adil dan berkelanjutan.
Transisi energi yang berkeadilan bukan sekadar wacana, ia adalah jalan panjang yang memerlukan komitmen bersama dari berbagai pihak. Sejarah akan menilai kita, apakah kita berhasil menciptakan peralihan yang adil, atau malah menjerumuskan dunia dalam ketidakadilan energi baru yang lebih kompleks. Dalam setiap langkah menuju energi yang lebih bersih, keadilan harus selalu menjadi kompas yang membimbing arah kita.
*Buku ini diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) bekerja sama dengan Trend Asia pada bulan Juni 2024, dengan jumlah 280 halaman berukuran 14 x 21 cm. Buku ini memiliki nomor ISBN 978-623-134-225-6. Editor Geger Riyanto
Editor : M Taufiq Ulinuha