Tiga Pemahaman tentang Rukyat di Indonesia
![rukyat di indonesia](https://pwmjateng.com/wp-content/uploads/2025/02/Gambar-WhatsApp-2025-02-12-pukul-01.16.27_2c723d48.jpg)
Tiga Pemahaman tentang Rukyat di Indonesia
Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar (Dosen FAI UMSU, Kepala OIF UMSU, dan Anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah)
PWMJATENG.COM – Setidaknya terdapat tiga pendekatan utama dalam memahami rukyat di Indonesia saat ini. Ketiga pendekatan ini mencerminkan cara pandang yang berbeda dalam menentukan awal bulan hijriah, khususnya dalam konteks ibadah puasa Ramadan dan Idulfitri.
1. Rukyat Bersifat Ta’abbudy
Pendekatan pertama memandang rukyat sebagai suatu kewajiban yang bersifat ta’abbudy (ibadah murni yang tidak bisa digantikan dengan metode lain). Dalam pandangan ini, rukyat harus dilakukan meskipun secara astronomis hilal belum terlihat atau bahkan berada di bawah ufuk. Jika rukyat tidak dilakukan, maka dianggap berdosa dan ibadah yang bergantung pada rukyat, seperti puasa Ramadan, dianggap tidak sah.
Pendekatan ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW:
“Berpuasalah kalian karena melihat (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika terhalang, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para sahabat, tabiin, serta ulama sepanjang sejarah peradaban Islam telah mengamalkan rukyat sebagai metode utama penentuan awal bulan hijriah. Tradisi ini terus berlanjut hingga saat ini dan menjadi bagian penting dalam praktik keagamaan di berbagai negara Muslim, termasuk Indonesia.
2. Rukyat Bersifat Ta’aqquly
Pendekatan kedua memandang rukyat sebagai sesuatu yang bersifat ta’aqquly (berdasarkan rasionalitas dan logika). Dalam pandangan ini, esensi utama dari rukyat adalah penetapan awal bulan hijriah, yang bisa dilakukan dengan metode lain seperti hisab (perhitungan astronomi). Hadis-hadis tentang rukyat dipahami dalam konteks historis ketika umat Islam masih minim pengetahuan astronomi.
Baca juga, Sedang Hamil atau Menyusui Tapi Mau Membayar Hutang Puasa? Begini Caranya!
Pendekatan ini juga didukung oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan pentingnya perhitungan astronomi:
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.” (QS. Ar-Rahman: 5)
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, serta menentukan perjalanan bulan itu agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.” (QS. Yunus: 5)
Dengan demikian, metode hisab dianggap sah sebagai bagian dari rukyat, yakni melihat hilal dengan ilmu (ar-ru’yah bil ‘ilm). Pendekatan ini telah menjadi bahan kajian dan perdebatan dalam literatur Islam sepanjang sejarah.
3. Rukyat sebagai Rutinitas Negara
Pendekatan ketiga melihat rukyat dalam konteks administratif dan kebijakan negara. Di Indonesia, rukyat telah menjadi rutinitas yang difasilitasi oleh Kementerian Agama dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Setiap tahun, pelaksanaan rukyat dan sidang isbat dijadwalkan dan dianggarkan oleh negara sebagai bagian dari pelayanan terhadap umat Muslim yang berpegang pada metode rukyat.
Dalam praktiknya, rukyat tetap dilakukan meskipun secara astronomis data menunjukkan bahwa hilal belum memungkinkan untuk terlihat. Selain karena alasan ta’abbudy, pelaksanaan rukyat juga dilaksanakan karena telah menjadi kebijakan negara. Namun, hal ini kerap menimbulkan kritik, seperti dianggap sebagai pemborosan anggaran dan usaha yang sia-sia (tahshil al-hashil). Meskipun demikian, negara tetap memberikan penjelasan mengenai kebijakan ini sebagai bagian dari pelayanan publik dan upaya menjaga harmoni umat Islam di Indonesia.
Kesimpulan
Perbedaan pendekatan dalam memahami rukyat di Indonesia mencerminkan dinamika intelektual dan praktik keagamaan yang kaya. Baik pendekatan ta’abbudy, ta’aqquly, maupun administratif memiliki dasar argumentasi yang kuat dalam khazanah Islam. Oleh karena itu, sikap bijak dan moderat dalam menyikapi perbedaan ini menjadi kunci dalam menjaga persatuan umat. Wallahu a’lam.
Artikel telah diterbitkan oleh OIF UMSU di website oif.umsu.ac.id.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha