THR Keluarga: Antara Tradisi, Silaturahmi, dan Investasi Sejak Dini

THR Keluarga: Antara Tradisi, Silaturahmi, dan Investasi Sejak Dini
Oleh: Abdul Rasyid, S.E. (Ketua Umum PD IPM Kota Pekalongan 2014-2015/Sekretaris PCM Banjarharjo Brebes)
PWMJATENG.COM – Setiap menjelang hari raya, khususnya Idulfitri, tradisi pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi momen yang paling dinanti banyak orang. Selain pemberian yang bersifat formal kepada karyawan, terdapat pula versi yang lebih informal namun tak kalah penting: THR untuk keluarga dan kerabat. Tradisi ini telah mengakar kuat di Indonesia dan menjadi bagian dari semangat silaturahmi sekaligus wujud berbagi rezeki saat Lebaran.
Berbeda dengan THR karyawan yang diatur secara resmi oleh peraturan pemerintah, THR untuk keluarga dan kerabat bersifat sukarela. Bentuknya pun beragam, mulai dari uang tunai hingga bingkisan, tergantung pada hubungan dan niat si pemberi. Biasanya, THR ini diberikan kepada orang tua, adik, keponakan, saudara dekat, hingga kerabat jauh yang telah dianggap seperti keluarga sendiri.
Tak ada aturan baku mengenai jumlah nominal, bentuk, maupun cara pemberiannya. Justru karena tidak terikat itulah, THR dalam lingkup keluarga terasa lebih hangat dan personal. Ia hadir murni sebagai bentuk perhatian, ungkapan terima kasih, atau sekadar upaya menyambung kembali tali persaudaraan yang mungkin telah lama merenggang.
Bagi orang tua atau mereka yang dituakan, THR sering kali dikemas dalam bentuk bingkisan. Apabila diberikan dalam bentuk uang tunai, kerap muncul rasa sungkan—ingin memberi dalam jumlah kecil terasa tak enak, namun memberikan jumlah besar pun tak selalu memungkinkan, terutama jika ada banyak pihak lain yang juga perlu dibagi. Oleh karena itu, pemberian dalam bentuk barang kerap dianggap lebih nyaman dan pantas.
Sementara itu, THR untuk anak-anak umumnya diberikan dalam bentuk uang tunai. Besaran nominalnya pun bervariasi, tergantung kedekatan hubungan dan kebijakan masing-masing pemberi. Semakin dekat hubungan kekerabatannya, umumnya semakin besar pula nominal yang diberikan. Sebaliknya, jika hubungan cukup jauh, jumlahnya cenderung lebih kecil, sering kali disertai senyum malu-malu dari si pemberi.
Baca juga, Syawal: Awal Baru Menuju Hamba yang Lebih Baik
Menariknya, anak-anak justru sering menjadi penerima THR terbanyak. Hal ini terjadi karena mereka memiliki banyak jalur penerimaan: dari orang tua, kakak, paman-bibi, hingga tetangga yang merasa memiliki kedekatan emosional. Semakin luas jejaring keluarga, semakin deras pula aliran THR yang diterima.
Sayangnya, THR anak-anak ini kerap cepat menguap. Sebagai uang “kaget,” tak jarang langsung habis dibelikan mainan, makanan, atau… dititipkan kepada orang tua dan kemudian menghilang tanpa jejak. Dalam masyarakat, hal ini sering disebut sebagai “investasi bodong”—uang yang dititipkan, tetapi tak pernah kembali.
Padahal, meskipun anak-anak belum sepenuhnya memahami konsep mengelola uang, tetap saja itu adalah hak mereka. Alangkah baiknya jika sejak dini, anak mulai diajarkan cara mengelola THR yang diterimanya. Sekecil apa pun jumlahnya, tetap dapat disisihkan—baik untuk ditabung maupun dikenalkan pada konsep investasi jangka panjang. Tujuannya bukan semata-mata agar anak menjadi kaya sejak kecil, melainkan agar mereka memahami bahwa rezeki perlu dijaga dan dikelola dengan bijak.
Sekilas terlihat sepele, tetapi dari kebiasaan kecil tersebut, anak dapat belajar bahwa ketika Allah memberi rezeki—bahkan secara cuma-cuma—kita pun memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya menghabiskannya. Sebagian boleh dinikmati, sebagian lainnya dapat digunakan untuk sedekah, dan sisanya dapat mulai dialokasikan untuk masa depan.
Dengan begitu, tidak ada lagi istilah “investasi bodong” dari uang THR anak. Yang ada adalah investasi sesungguhnya. Tentu, pemilihan instrumen investasi harus disesuaikan dengan kondisi. Di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini, misalnya, emas murni kerap dianggap pilihan yang relatif aman dan nilainya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Saham pun dapat menjadi alternatif, terlebih jika dibeli saat harga sedang rendah—meskipun tentu memiliki risiko lebih tinggi. Prinsipnya tetap: high risk, high return; low risk, low return.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha