Kolom

Teologi Pembebasan Kholid Miqdar

Teologi Pembebasan Kholid Miqdar

Oleh: Muhammad Fikri Hidayattullah (Dosen Artificial Intelligence Politeknik Harapan Bersama)

PWMJATENG.COM – Di tengah hiruk-pikuk pagar laut yang menghebohkan, publik Indonesia dibuat terkesima oleh seorang lelaki paruh baya dengan penampilan sederhana bernama Kholid Miqdar. Beliau merupakan nelayan dari Desa Kronjo, Kecamatan Pontang, Serang, Banten. Banyak pihak yang sama sekali tidak menduga sosok nelayan yang sehari-hari hidup melaut mampu memiliki wawasan intelektual yang cukup solid. Kholid pertama kali dikenal luas oleh publik ketika tampil di salah satu acara televisi yang membahas mengenai isu pagar laut. Dirinya dengan piawai menyusun kata dan merangkainya dalam argumen yang terstruktur ketika menolak pagar laut di area perairan Tangerang. 

Penolakan Kholid terhadap pagar laut tersebut semata merupakan sebuah pembelaan terhadap nasib kawan-kawannya sesama nelayan sekaligus perlawanan terhadap korporasi. Bahkan Kholid pernah menyampaikan siap berjuang melawan korporasi dan mengkoordinir perlawanan dengan mengerahkan masyarakat Banten jika negara tidak kunjung mengambil tindakan. Begitu setidaknya klaim yang disampaikannya pada beberapa kesempatan.

Kholid yang kini telah menjelma menjadi ikon perjuangan para nelayan dan masyarakat tertindas dalam melawan kuasa oligarki memang sangat unik. Selain karena wawasannya yang luas, sisi religiusitasnya juga menarik untuk dikaji. Berkali-kali Kholid menyampaikan bahwa perjuangannya dilandaskan atas keimanan kepada Allah SWT. Landasan keimanan tersebut menjadi modal utamanya untuk melawan kuasa modal para oligarki. Keimanan yang menumbuhkan keberanian sekaligus melahirkan perjuangan tanpa tendensi politik tertentu.

Pada sesi diskusi dengan Mahesa al-Bantani, Kholid menyatakan bahwa secara kasat mata yang dilawannya adalah raksasa (oligarki), namun dalam pandangan aqidah dan keimanan para oligarki ini bukan siapa-siapa, sama-sama makhluk [1]. Untuk itulah, Kholid mengajak kepada rekan-rekan seperjuangannya agar menjadikan landasan aqidah sebagai modal utama dalam perjuangan. Aqidah yang kuat akan menumbuhkan keberanian tanpa rasa takut terhadap makhluk.

Pada momen lain Kholid Miqdar sempat ditanya, kenapa sebagai seorang nelayan begitu berani mengungkap masalah pagar laut yang menyebabkan dirinya harus mendapatkan ancaman dan tekanan dari berbagai pihak. Jawaban Kholid masih sama, tidak berubah. Dengan penuh percaya diri beliau mengatakan, “Kan sudah saya bilang, selain Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT) semua kekuasaan yang ada di muka bumi ini (akan) lenyap dan punah. Harta, ketenaran, kehebatan, kesaktian dan kekuasaan selain dari Allah (akan) punah. …. Bagi saya kematian itu seperti telur yang menetas. Ketika saya mati berarti saya telah berpindah ke alam yang lebih luas, tidak terkungkung lagi oleh jasad.” [2]

Teologi Pembebasan: Ketika Tuhan dan Marx Bergandengan Tangan

Fenomena perjuangan Kholid ini mengingatkan kita kepada Gustavo Gutiérrez, seorang teolog Katolik asal Peru. Beliau menulis sebuah buku berjudul A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation [3]. Gutiérrez memiliki jasa besar dalam menyusun gagasan teologi yang berorientasi pada perjuangan sosial dengan lebih sistematis. Teologi inilah yang kemudian dikenal dengan istilah teologi pembebasan.

Teologi pembebasan lahir sebagai aliran pemikiran teologis yang menekankan pembelaan terhadap kaum miskin dan tertindas. Teologi ini berkembang pada tahun 1960-an dan 1970-an sebagai respons terhadap ketidakadilan sosial, kemiskinan, serta penindasan politik yang melanda banyak negara Amerika Latin. Pada tahun 1966 di Argentina terbentuk organisasi Sacerdotes para el Tercer Mundo (Romo-Romo untuk Dunia Ketiga). Di Peru lahir Organisasi Nasional untuk Integrasi Sosial (ONIS) pada tahun 1968. Golconda muncul di Kolumbia pada tahun 1968 juga. Sementara orang-orang awam yang melibatkan diri dalam gerakan perjuangan rakyat pun semakin bertambah. Mereka menafsirkan ulang Injil sesuai dengan praktik-praktik kehidupan nyata mereka, dan menemukan bahwa Marxisme merupakan suatu kunci untuk memahami kenyataan yang mereka hadapi dan sebagai panduan bagi aksi-aksi pembebasan [4].

Baca juga, Lazismu Jateng Targetkan Perolehan Himpunan Rp143 Miliar! Strategi ZIS dan Qurban Tahun Ini Disusun Matang

Penggunaan metode analisis sosial Marxisme dalam teologi pembebasan untuk memahami ketimpangan ekonomi, eksploitasi kelas, dan struktur sosial yang menindas mengakibatkan teologi ini mendapatkan penentangan dari sejumlah pihak, tak terkecuali beberapa gereja konservatif. Meskipun para teolog pembebasan menegaskan bahwa mereka tetap berlandaskan iman Kristen. Mereka tidak mengadopsi Marxisme secara keseluruhan, terutama aspek materialisme ateistik dan penolakan terhadap agama. Di sisi lain gejala ini juga memunculkan syak wasangka para penganut ideologi Marx. Jangan-jangan itu semua hanya ‘muslihat’ gereja dalam rangka menahan laju serbuan komunisme. Di mana pada saat bersamaan Marxisme-Komunisme merupakan musuh gereja.

Ada sebuah pertanyaan fundamental, jenis Marxisme macam mana yang diadopsi oleh para teolog pembebasan ini? Michael Löwy dalam bukunya Marxisme et Théologie de la Libération menyebutkan bahwa referensi yang digunakan para teolog pembebasan bukan buku-buku teks dialektika materialisme ala Soviet, juga bukan dari Partai-Partai Komunis di Amerika Latin. Mereka lebih tertarik dengan Marxisme Barat yang sering disebut Neo Marxisme [5].

‘Teologi Pembebasan’ Kholid Miqdar

‘Teologi Pembebasan’ ala Kholid Miqdar nampaknya tidak menggunakan analisis Marxisme. Murni dibangun atas kesadaran iman sebagai landasan etik dan motivasi. Sebagaimana halnya teologi al-Ma’un yang dikembangkan di Muhammadiyah untuk kepentingan filantropis. Motivasi perjuangan Kholid malah ada kemiripan dengan reformulasi konsep tauhidnya Hasan Hanafi [6]. Dimana dalam konsepsi tersebut berisi seruan Hasan Hanafi untuk merealisasikan ajaran tauhid dalam menyelesaikan problem-problem sosial yang terjadi.

Kholid pernah menyitir sebuah ungkapan dalam Bahasa Jawa, “setuhune ingsun iku wujud tunggal, menenge ning putih” [7]. Setelah itu beliau memaknai ungkapan tersebut dengan mengatakan bahwa pada hakikatnya manusia itu adalah wujud tungal. Diamnya seorang insan dalam cahaya (kesucian) mampu menampung seluruh sifat Allah. Setelah sifat-sifat Allah tertampung, selanjutnya adalah mempraktikkan seluruh sifat Allah tersebut di atas permukaan bumi. Pandangan semacam ini sangat relevan dengan gagasan Hasan Hanafi. Hasan Hanafi memiliki pandangan bahwa sebagai seorang yang beriman kepada asma’ul husna yang di antaranya adalah al-‘Adl (Allah Maha Adil), maka bentuk realisasi keimanannya adalah menegakkan keadilan sosial di tengah kehidupan manusia. Gagasan ini tentu berbeda jauh dengan sikap sebagian orang yang lebih mementingkan nafsu sebatas memperdebatkan asma’ dan sifat Allah dibanding merealisasikannya dalam kehidupan sosial.

Pengaruh Ajaran Tasawuf

Namun, ada keunikan lain lagi dari ungkapan “setuhune ingsun iku wujud tunggal, menenge ning putih”. Jika ditelisik lebih dalam lagi ungkapan semacam ini bukan berasal dari pemikiran rasional para filsuf kiri ataupun Hasan Hanafi sendiri, melainkan lebih dekat ke arah mistisme Jawa (Kejawen) atau tasawuf. Beberapa naskah yang menyajikan konsep spiritualitas semacam ini bisa ditemukan di antaranya pada Serat Centhini, Serat Wedhatama karangan K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, dan kitab tasawuf berbahasa Jawa, Ushul al-Ma’rifat karya Syaikh Haji Muhammad Siroj al-‘Arif Billah  [8].

Disebutkan dalam salah satu bait Serat Centhini:

Dene Apngal ênggonnira, dadya wahananing Dat-i, yèku upama samodra, kalawan ombakirèki, sayêkti wahananing, umbak punika pan manut, saêrèhing samodra.

(Pada gilirannya penjabaran Dzat setelah melalu Sifat, Asma’ sampai pada Af’al. Maka penjabaran Dzat kepada Af’al seumpama samudera dengan ombaknya. Ada samudera maka ada perilaku atau perbuatan dari samudera itu. Dan segala perilaku ombak tidak lain adalah atas perintah samudera. Adanya ombak karena namanya samudera, disebut samudera karena sifatnya demikian (berombak), sifatnya demikian karena adanya dzat samudera itu, yakni air. Demikianlah maka Dzat, Sifat, Asma dan Af’al tidak dapat dipisahkan. Sesungguhnya dalam Dzat-lah semua itu terkandung, tetapi jika tidak menjabarkan diri dalam bentuk Af’al kita tidak dapat mengenali-Nya.) [9]

Baca juga, MPKS PWM Jateng Gelar Rakor Panti Asuhan, Bahas Sinergi dan Ekonomi Produktif!

Di dalam Serat Wedhatama memuat informasi empat jenis sembah yang harus ditempuh oleh setiap manusia, yaitu sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa. Empat jenis sembah tersebut dikenal dengan catur sembah. Sembah raga mengacu pada aktivitas ragawi seperti shalat dan ibadah ragawi lainnya. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan dengan memanfaatkan air sebagai sarana penyucian diri, baik sebelum, saat atau sesudah kegiatan sembah raga dilangsungkan. Sembah cipta mengacu pada aktivitas batin berupa pengendalian diri. Sembah cipta juga dikenal sebagai sembah kalbu karena menyangkut kalbu atau batin seseorang. Aktivitas sembah yang kedua ini berupa pengendalian diri melalui panca indera. Sembah yang ketiga adalah sembah jiwa. Sembah jiwa mengacu pada aktivitas ke-jiwa-an. Aktivitas pada sembah ini berupa pengendalian diri dengan selalu eling lan awas atau ingat dan waspada. Sembah yang terakhir adalah sembah rasa.  Sembah ini merupakan hasil kulminasi dari ketiga sembah sebelumnya yang membawa insan menuju kepada ketajaman batin.Dengan terbukanya mata batin akan menjadikan pribadi manunggal menjadi satu wujud. Dengan manunggal menjadi satu wujud terasa pertanda alam tanpa lagi petunjuk, segalanya merupakan pertanda hingga memahami hakikat dari sangkan paraning dumadi yaitu hubungan asal-usul dan tujuan suatu kejadian [10]. Ajaran catur sembah dalam Serat Wedhatama  tersebut jika diamati memiliki korelasi yang sangat kuat dengan ungkapan “setuhune ingsun iku wujud tunggal, menenge ning putih” yang menekankan pada aspek penyucian jiwa manusia hingga mencapai kesadaran ilahiah.

Setelah menelaah dua serat dalam literatur Jawa tersebut mungkin terbesit dalam pikiran adanya kesamaan dengan ajaran tasawuf Islam. Memang benar, tidak salah. Irfan Afifi penulis buku ‘Saya, Jawa dan Islam’ menilai bahwa ajaran-ajaran yang terangkum dalam literatur Jawa, terutama yang berkaitan dengan aspek sufistiknya, lebih banyak dipengaruhi oleh tradisi Islam Timur Tengah . Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa filsafat-ajaran Jawa merupakan percikan pemikiran sufisme Ibnu Arabi [11].

Tasawuf Progressif sebagai Landasan Etik

Orientasi tasawuf sebagai landasan etik dan motivasi perjuangan Kholid Miqdar juga akan dijumpai dalam pernyataannya tentang hakekat kematian. Kholid menganggap kematian bukan akhir segalanya, melainkan perpindahan ke alam yang lebih merdeka yang tidak terkungkung oleh jasad. Penyataan Kholid ini sangat erat dengan ungkapan yang beredar di kalangan sufi, “an-nasu niyamun fa idza matu intabahu” (manusia sesungguhnya tengah tertidur, apabila maut datang barulah mereka tersentak sadar) [12]. Begitu juga jika ditilik keberanian yang melekat pada diri Kholid seakan tak takut dengan kekuatan apa pun di dunia ini, juga mengingatkan dengan konsep ma’rifat dalam tasawuf. Dimana seseorang yang telah mencapai level ma’rifat menandakan dirinya telah mendapatkan pengetahuan suci (scientia sacra) dari Tuhan karena telah bersih jiwa dan kalbunya. Sehingga membuat dirinya tak lagi risau terhadap segala ancaman dan beban hidup berupa kesedihan, kemalangan dan kesengsaraan. La khaufun ‘alaihim walahum yahzanun. Bukankah selama ini Kholiq Miqdar selalu terlihat gagah berani dalam melawan korporasi-oligarki tanpa sedikit pun mengendur?

Dari sekian analisis, nampaknya –menurut hemat kami– posisi tasawuf sebagai motif penggerak Kholid dalam berjuang lebih dominan. Meskipun di sisi lain kita jumpai pula adanya irisan dengan ideologi lain yang menjadi dasar perjuangan sosial. Jika memang benar tasawuf sebagai penggerak perjuangan lelaki Banten ini, maka hal ini mengingatkan kita kepada Syaikh Abdul Karim al-Bantani, seorang guru sufi yang menggerakkan perlawan petani Banten kepada pihak Belanda pada tahun 1888 M. Yang mana beliau juga berasal dari Pontang, Kabupaten Serang. Tempat yang sama dimana Kholid juga berasal.

Wallahu ta’ala a’lam bishshawab.

Referensi:

Ambil Hikmahnya Youtube Chanel. “PAK KHOLID : INI ALASAN SAYA BERANII MELAWAN KEKUATAN BESAR ITU.” Youtube, 2025. https://www.youtube.com/shorts/kSVzzkXit3Y.

Embruter Mania Youtube Chanel. “KETIKA PAK KHOLID NELAYAN GABUNG DI LIVE NYA MAHESA AL BANTANI.” Youtube, 2025. https://www.youtube.com/watch?v=gX0i7FcXwZU&t=142s.

Emroni. Historisitas Dan Normativitas Tasawuf DanTarekat. Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2014.

Febriyantsiana, Herry. “Kitab Ushulul Ma’rifat Edisi Jawi.” Kompasiana, 2013. https://www.kompasiana.com/heryfebriyanto/552f9f7d6ea83441018b45ab/kitab-ushulul-ma-rifat-edisi-jawi.

Gutiérrez, Gustavo. A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation. 3rd ed. New York: Maryknoll, N.Y., Orbis Books, 1973.

Ismanto, Taufik. “Konsep Spiritulitas Dalam Serat Wedhatama: Perspektik Metafisika-Sufistik Seyyed Hossein Nasr.” Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2023.

Lowy, Michael. Teologi Pembebasan. 1st ed. Yogyakarta: INSISTPress dan Pustaka Pelajar, 1999.

Marie, Bambang Khusen Al. “Kajian Centhini (210:4-9): Pengertian Dzat, Sifat Dan Af’al (2),” 2022. https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/03/17/kajian-centhini-2104-9-pengertian-dzat-sifat-dan-afal-2/.

Prawira Negara, Muhammad Adres, and Muhlas Muhlas. “Reformulasi Konsep Tauhid: Studi Analisis Pemikiran Hassan Hanafi.” Islamadina : Jurnal Pemikiran Islam 23, no. 2 (2022): 133. https://doi.org/10.30595/islamadina.v23i2.13415.

Putra, Darma. “Protes Pak Kholid Nelayan Terhadap Pagar Laut,” 2025. https://www.facebook.com/ekha.sukra/videos/2000439267129728. Setyawan, Dedy. “Ajaran Hidup Orang Jawa Dalam Serat Wedhatama.” Universitas Negeri Malang, 2016.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE