Kolom

Tawaran Tambang Ormas: Antara Etis dan Pragmatis

Tawaran Tambang Ormas: Antara Etis dan Pragmatis

Oleh : Rudi Pramono, S.E. (Ketua MPI PDM Wonosobo)

PWMJATENG.COM – Tawaran tambang ke ormas keagamaan menjadi ujian berat bagi ormas Islam, di satu sisi sangat menggiurkan akan mendatangkan pundi-pundi dana yang besar untuk menggerakkan organisasi dan membangun umat, namun disisi lain ada tantangan terkait kapasitas ormas keagamaan dalam mengelola tambang.

Organisasi keagamaan yg beridentitas Islam maupun agama yang lain meskipun punya amal usaha yang banyak, secara umum masyarakat memandang ormas keagamaan itu adalah gerakan dakwah (pengajian) mengajak kepada kebaikan dan nilai-nilai moral, maka pertimbangan yang pertama kali seharusnya pertimbangan etis bukan pragmatis/hasil guna.

Pertimbangan etis akan membuat ormas berpikir soal kapasitas apakah kita mampu mengelola tambang itu? Suatu unit kegiatan penggalian dan pengelolaan sumber daya alam karunia Ilahi yang tidak mudah, membutuhkan hightech namun juga highrisk (resiko tinggi) : kerusakan alam, sarat korupsi, konflik sosial dengan lingkungan adat, perubahan iklim yang berdampak pada tanaman pokok (beras), perlu mencari sumber-sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan, dll adalah hal-hal etis yg harus didahulukan daripada yang pragmatis : keuntungan yang didapat. Kita hormati NU yang langsung tancap gas menerima konsesi tambang itu seperti dikatakan Gus Yahya karena ‘butuh’ dana besar untuk organisasi dan kemaslahatan umat, bagi beliau persoalan kemampuan dan risiko lingkungan itu nanti ada pihak-pihak yang diberi tanggung jawab sepenuhnya.

Bagi Muhammadiyah yang selama ini taglinenya sebagai gerakan dakwah Islam Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid bersumber kepada Al Qur’an dan As Sunnah, meniscayakan pertimbangan etik sebagai yang pertama dan utama : soal baik buruk, benar salah, manfaat madharat juga kemampuan dan integritas melaksanakan pekerjaan tersebut. Selain itu sejarah Muhammadiyah bukanlah sejarah perjuangan yang berawal dari ‘pemberian atau memanfaatkan yang bukan miliknya’. Tradisi Muhammadiyah amal usaha itu dari bawah, didirikan karena kebutuhan lingkungan sekitar, mandiri dengan spirit keagamaan dan kemajuan. Dalam mengambil keputusan di Muhammadiyah ada mekanisme kolektif kolegial ada ijtihad jama’i melibatkan banyak orang dengan berbagai disiplin ilmu baik ilmu agama maupun ilmu-ilmu pengetahuan umum. Para praktisi, pengamat, akademisi, ahli diundang untuk memberikan pendapatnya juga ulama/ahli agama tentang fiqih sumber daya alam, teologi lingkungan, dll). Selain itu juga analis politik karena selalu ada sisi politik dari sebuah kebijakan pemerintah apalagi di era rezim sekarang ini yang dinilai banyak pengamat terjadi abuse of power dan hilangnya fatsoen politic

Baca juga, Ibadah Haji dan Persamaan Nilai Kemanusiaan

Terkait dengan masalah Tambang, mungkin ada yang berpendapat sifat heroik ormas keagamaan dengan semangat Jihad fisabilillah menjadi energi dalam mengatasi masalah Tambang termasuk mencari inovasi energi terbarukan yang ramah lingkungan, namun tidak cukup, semua butuh ilmu, pengetahuan dan pengalaman. Alangkah indahnya kalau sebuah ormas kegamaan melalui Badan Usaha yang profesional bisa mengatasi semua masalah itu, namun kalau malah ‘ikut larut dan tenggelam’?

Ada sebuah Hadist Nabi riwayat Ibnu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ diterangkan : “Dua Golongan manusia jika keduanya baik akan baik seluruh manusia, dan jika keduanya rusak akan rusak seluruh manusia. Mereka adalah para Ulama dan Umara” juga sebuah hadis Riwayat Bukhari : “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya” menjadi pengingat kita untuk berhati-hati. Organisasi keagamaan bagaimanapun juga merupakan representasi dari Ulama (pewaris para nabi) karena di dalamnya ada ulama, kiai, ustaz dalam berbagai disiplin ilmu agama, pembawa risalah kebenaran sah kebaikan. Sedangkan Umara adalah para pemimpin, teknokrat, pelaksana pemerintahan baik yang ada di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Keduanya harus bersinergi dalam ranah berbeda tapi tujuan sama untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Ulama dan Umara dalam agama dipisah karena ranah yang berbeda, Ulama adalah ‘akumulasi etika dan moral keagamaan’, sedangkan Umara adalah ‘akumulasi public service’. Yang menjadi persoalan ketika ulama sekaligus menjadi Umara, keduanya menyatu sehingga tidak ada yang mengontrol secara moral dan etik, bahkan ikut berebut jabatan, terlena menikmati akumulasi kapital dan menjadikan agama sebagai alat legalisasi kebijakan yang salah. Ketika keduanya sudah rusak semuanya maka seperti hadis tersebut, rusaklah seluruh manusia dan hancurlah peradaban bangsa ini ke depan.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE