TAADDUD
Hayati Nufus
Kepala Madrasah Ibtidaiyyah Muhammadiyah Bloran, Kerjo Karanganyar
Sore hari gerimis, secangkir lemon teh hangat bersama mendoan aku hidangkan menemani suami di beranda rumah.
“Jeng kamu sudah pernah baca aturan hukum poligami bagi ASN?” Suamiku mengawali obrolan, aku menggeleng, beberapa hari yang padat menjelang ujian nasional membuatku tidak sempat mengikuti hal-hal selain kegiatan siswa di sekolah.
“Kalau laki-laki semakin dipersulit untuk berpoligami lalu siapa yang akan menikahi para wanita yang jumlahnya lebih besar dari laki-laki?”Aku terdiam tidak menimpali. “Lihat jeng tidak hanya di negara-negara yang sedang dilanda kemelut politik, di Indonesia pun banyak janda dan anak yatim hidup terlantar lalu siapa yang akan mengambil tanggung jawab mengentaskan mereka dari masa depan yang tidak pasti?” Aku tercenung tidak juga menanggapi pertanyaan suamiku yang memang tidak perlu kujawab, ingatan tentang obrolan ringan dengan temanku beberapa pekan lalu seakan tergambar kembali.
“Bun, beberapa lelaki yang ingin melamarku rata-rata sudah beristri…!” Temanku seorang ibu muda yang sudah beberapa tahun hidup sendiri mengawali percakapan.”Kenapa sulit sekali ya menemukan pria mapan lajang dan cocok denganku?” Ku tatap wajahnya yang cantik ada gurat kesenduan tersimpan dalam matanya mendung dan murung, beberapa kali ia batal menikah karena alasan yang sama, calon suaminya sudah beristri.
Tema tentang taaddud ( poligami) selalu gayeng untuk diperbicangkan terutama oleh kaum Adam, sampai-sampai ada grup khusus yang topiknya kerap membahas tentang poligami. Tema yang tidak pernah kering untuk digali terkadang menimbulkan kelucuan yang menggelitik dan membuat senyum-senyum sendiri. Para emak di grup dibuat sering mengernyitkan kening atau mengelus dada saat obrolan para bapak agak menyerempet ke hal-hal yang berkaitan interaksi pasutri.
Kasus poligami seorang tokoh di penghujung tahun 2014 sempat membuat gonjang ganjing jagat nasional pasalnya sang tokoh memiliki follower dan pengagum yang cukup banyak terutama dari kalangan akhwat. Hujatan dan perundungan membanjiri sang tokoh setiap hari hingga ia memilih untuk ujlah dari keramaian publik. Anehnya masyarakat kita sudah terbiasa dengan berita dan tayangan kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh publik figur atau rakyat awam, kehebohannya tidak sedahsyat tokoh pertama, sebuah prilaku ambigu dalam tataran masyarakat religius yang mayoritas penduduknya muslim.
DR. Quraish Shihab ulama tafsir pengarang Tafsir Al Misbah pernah mengibaratkan bahwa poligami itu seperti emergency exit dalam pesawat terbang yang hanya dibuka saat keadaan darurat, bisa dibayangkan bila pintu darurat itu dibuka paksa saat pesawat sedang mengudara, ancaman bahaya dekompresi akan terjadi yaitu perbedaan udara bertekanan tinggi dalam kabin pesawat akan mendesak dan melempar penumpang keluar pesawat.
Sebuah cerita menarik dikisahkan oleh Irfan Hamka putra ulama besar Buya Hamka di bukunya berjudul ‘Ayah”. Suatu hari ada seorang perempuan muda ditemani ibunya mengadu pada Buya Hamka tentang kemelut rumah tangganya memohon diberikan nasehat. Setelah sembilan tahun membangun bahtera rumah tangga dan telah dikarunia lima orang anak ternyata sang suami menikah diam-diam, dapat dibayangkan betapa remuk redamnya hati perempuan itu hingga ia berniat ingin bercerai dengan suaminya.
Buya tercenung beberapa saat kemudian bertanya pada perempuan itu apakah ia dan suaminya shalat? Perempuan itu menjawab bahwa mereka sama-sama taat menjalankan ibadah shalat. Buya bertanya tentang alasan sang ibu muda itu minta cerai, sambil menahan tangis ia bercerita bahwa selama sembilan tahun rumah tangganya sangat baik hanya saja suaminya memiliki hasrat sex yang berlebih sehingga hampir setiap hari ia minta dilayani, sayangnya sang ibu muda yang berprofesi sebagai guru itu tidak bisa mengimbangi hasratnya dan sering menolak keinginan suaminya dengan berbagai alasan, akhirnya karena sebab itu pertengkaran demi pertengkaran sering terjadi, klimaksnya sang suami minta izin untuk menikah lagi.
Dua bulan setelah kejadian sang suami jarang pulang ke rumah dan perempuan itu mendapat kabar bahwa suaminya telah menikah sirri dengan teman sekantornya.
“Ananda tahu bahwa perceraian itu adalah perbuatan halal namun tidak disukai Allah?” Buya memulai nasehatnya. “Perceraian akan membawa banyak penderitaan tidak hanya pada pelakunya tapi juga pada anak yang kehilangan pegangan dan dua keluarga yang rusak hubungan silaturahminya.” Selanjutnya Buya menerangkan bahwa ada dua tipe laki-laki memiliki kondisi seperti yang dialami suami ibu muda itu, lelaki pertama adalah lelaki beriman yang takut pada Allah, dia tidak ingin melakukan hal-hal yang dimurkai Allah, dia juga tidak ingin kehilangan keluarganya sedangkan istrinya tidak mau dimadu maka jalan pintas yang ia lakukan untuk menyalurkan hasrat biologisnya yang berlebih ialah menikah sirri dan itu boleh. Sedangkan tipe yang kedua adalah laki-laki yang tidak takut pada Allah apalagi pada istrinya ia akan mengambil jalan pintas dengan berzinah untuk melampiaskan sahwatnya.
Buya melanjutkan nasehatnya bahwa ada juga istri yang tidak takut pada Allah dan juga pada suaminya, ia cenderung mengijinkan suaminya selingkuh dari pada menikah lagi, dan mungkin bila ada kesempatan ia pun akan melakukan hal serupa. Simpulannya istri yang memberi peluang suami berzina maka dosanya sama dengan perbuatan suaminya. Akhir nasehat Buya berpesan bahwa beliau dilarang untuk menganjurkan perceraian oleh agama tapi juga tidak berhak untuk menyarankan sang ibu muda untuk sabar dan bertahan, semuanya diserahkan padanya untuk memutuskan bergantung pada keimanan yang dimilikinya.
Empat bulan berlalu perempuan muda itu kembali bersilaturahmi bersama lima orang anaknya dan seorang laki- laki, saat berpamitan ia berkata , ” Buya saya lebih takut pada Allah daripada takut dimadu.”
Syariat memberi kelonggaran pada laki-laki untuk menikah lebih dari satu istri, dua, tiga sampai empat. (QS. An Nisa:3) Syariat juga memberi rambu-rambu bila tidak dapat berbuat adil maka sebaiknya satu istri sudah cukup, prinsipnya poligami bukan pintu yang dibuka lebar-lebar sehingga semua orang bebas keluar masuk namun juga bukan pintu yang dikunci rapat sehingga tidak dapat dilalui. Menurut penulis mengambil dari berbagai sumber, boleh atau tidaknya poligami tergantung kondisi pelaku dan situasi yang menyertainya, bisa jadi ia berhukum mubah, sunnah, wajib bahkan haram.
“Jeng kok ngalamun?” Suamiku menjawil daguku, aku tersenyum menoleh padanya dan berkata parlahan, ” Apa Mas berniat untuk mengentaskan salah satu dari mereka?” ” Ha…ha…ha …suamiku tergelak perlahan, sambil mengusap kepalaku ia berkata, ” Melihatmu murung saja aku tidak sampai hati…, kecuali…!” “Kecuali apa?”tidak sabar aku memotongnya. ” Kecuali kau memaksanya…, ha…ha…!” Ia kembali tergelak, sambil bersungut-sungut kucubit lengannya perlahan, berbisik dalam hati, “Semoga bukan aku ya Allah!”
_______
Kerjo, Rajab 1441 H