Sopo Nandur Bakale Ngunduh
Sopo Nandur Bakale Ngunduh
Oleh : Rumini Zulfikar (Gus Zul) (Penasehat PRM Troketon, Anggota Bidang Syiar MPM PDM Klaten, Anggota Majelis MPI & HAM PCM Pedan)
PWMJATENG.COM – Setiap manusia memiliki potensi untuk melakukan perbuatan baik maupun buruk dalam hidupnya. Tindakan-tindakan tersebut dapat berdampak pada keluarga maupun lingkungan sekitarnya, yang sering disebut sebagai dosa sosial.
Menjelang senja, sebuah pesan WhatsApp masuk dari seorang ibu yang ingin bersilaturahmi. Pesannya berbunyi:
Ibu: “Gus, ada di rumah, tidak? Ini mau silaturahmi ke tempat jenengan.”
Penulis: “Monggo, Bu.”
Beberapa menit kemudian, ibu tersebut datang bersama anaknya. Saya menyambut mereka dan mempersilakan duduk sambil menikmati camilan sederhana dan air putih.
Ibu: “Gini, saya mau tanya. Kalau anak berbuat dosa, apakah orang tuanya ikut menanggung, Gus?”
Penulis: “Oh, begitu. Coba saya jawab sejauh yang saya tahu, Bu. Pada dasarnya, dosa yang dilakukan seseorang tidak bisa dibebankan kepada orang lain. Namun, jika orang tua tidak mengingatkan anaknya tentang perbuatan tersebut, maka orang tua juga dapat terkena dosa. Sebaliknya, jika orang tua sudah berusaha mengingatkan, maka tanggung jawab tersebut tidak lagi berada pada mereka. Ini pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak. Sebab, setiap perbuatan anak akan berdampak luas, baik pada dirinya sendiri maupun orang di sekitarnya. Ada ungkapan Jawa yang relevan: Sopo nandur, bakale ngunduh—apa yang ditanam akan dituai, baik itu kebaikan maupun keburukan.”
Ungkapan ini menggambarkan perjalanan hidup manusia. Seperti petani yang menanam padi atau buah-buahan, ia akan memanen sesuai yang ditanamnya. Demikian pula, orang yang menanam kejahatan atau dosa akan menerima konsekuensi dari perbuatannya. Hal ini sejalan dengan potensi manusia yang dapat memilih melakukan kebaikan atau keburukan.
Dalam Surah Ali Imran ayat 160, Allah berfirman:
“Siapa yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipatnya. Siapa yang berbuat keburukan, dia tidak akan diberi balasan melainkan yang seimbang dengannya. Mereka tidak dirugikan.”
Baca juga, Urgensi Ibu dalam Kaderisasi Generasi
Jika direnungkan, ayat ini menunjukkan bahwa perbuatan baik akan dibalas berlipat ganda, sedangkan perbuatan buruk hanya dibalas sesuai dengan kadar kesalahannya. Contohnya, membaca selawat sekali akan mendapat sepuluh kali lipat kebaikan. Sebaliknya, berjudi akan membawa dampak buruk, baik dari segi ekonomi, norma agama, maupun sosial. Dosa seperti ini sering menjadi problematika dalam interaksi sosial masyarakat.
Dalam konteks ini, penting memahami dosa sosial. Secara etimologi, dosa sosial adalah dosa yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia, termasuk pelanggaran terhadap hak asasi dan kebebasan orang lain.
Frederik Lewis Donaldson dalam artikelnya yang dimuat di Young India pada 22 Oktober 1925 menyebutkan tujuh dosa sosial, yaitu:
- Kekuatan tanpa kerja.
- Kesenangan tanpa hati nurani.
- Pengetahuan tanpa karakter.
- Perdagangan tanpa moralitas.
- Ilmu tanpa kemanusiaan.
- Agama tanpa pengorbanan.
- Politik tanpa prinsip.
Melakukan salah satu dari kategori di atas menempatkan seseorang sebagai pelaku dosa, baik dalam pandangan agama maupun norma sosial. Faktor yang memengaruhi terjadinya dosa sosial dapat berasal dari internal, seperti jauhnya seseorang dari nilai-nilai agama dan keluarga, maupun eksternal, seperti lingkungan dan pergaulan negatif.
Ada pepatah Jawa yang relevan, ojo nyedak kebo gupak—jangan mendekati kerbau yang kotor. Artinya, hindarilah orang-orang yang suka berbuat maksiat agar kita tidak ikut terpengaruh.
Sebagai generasi yang hidup di era modern dengan kecanggihan teknologi, penting bagi kita menjaga diri agar terhindar dari perilaku tidak terpuji. Dengan demikian, kita dapat menjadi individu yang berkontribusi positif bagi keluarga dan masyarakat.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha