Kolom

Salam Lintas Agama: Kontroversi, Fatwa MUI, dan Pertarungan Akidah

Salam Lintas Agama: Kontroversi, Fatwa MUI, dan Pertarungan Akidah

Oleh : Dwi Taufan Hidayat (Ketua Lembaga Dakwah Komunitas Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Bergas, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Semarang)

PWMJATENG.COM – Penggunaan salam lintas agama yang semakin marak di kalangan pejabat dan tokoh politik Indonesia telah menimbulkan perdebatan panjang di kalangan umat Islam. Salam yang pada dasarnya merupakan ucapan yang mengandung doa dan harapan kebaikan, kini kerap disampaikan dengan variasi yang tidak hanya berasal dari tradisi Islam. Fenomena ini, yang dalam beberapa kasus disandingkan dengan kepentingan politik, menimbulkan kecemasan terkait pengaruhnya terhadap identitas dan akidah umat Islam. MUI, sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam memberikan fatwa keagamaan, menanggapi hal ini dengan sebuah fatwa yang mengharamkan salam lintas agama.

Fatwa MUI dan Perspektif Akidah Islam

Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa, secara tegas melarang umat Islam untuk mengucapkan salam dari agama lain yang mengandung doa. Fatwa tersebut mengutip dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis untuk memperkuat argumentasi mereka. Salah satunya adalah surat Al-Mumtahanah ayat 8:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Ayat ini menunjukkan bahwa dalam berinteraksi dengan non-Muslim, Islam menganjurkan sikap adil dan baik, namun tidak mengharuskan umat Islam untuk mengikuti praktik ibadah atau doa agama lain, seperti salam lintas agama yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Selain itu, hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” adalah salam yang diperintahkan dalam Islam sebagai bentuk doa dan kehormatan antar sesama Muslim. Dengan demikian, salam lintas agama yang diucapkan dengan doa atau ungkapan khas agama lain, dapat dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap akidah lain yang bertentangan dengan prinsip tauhid dalam Islam.

Pendapat Tokoh yang Menentang Salam Lintas Agama

Tokoh penting, diantaranya Anwar Abbas (Ketua PP Muhammadiyah), menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap salam lintas agama. Menurut Anwar, ucapan salam adalah bagian dari ibadah dalam Islam, yang tidak bisa disamaratakan dengan praktek agama lain. Menurutnya, memberikan salam yang diucapkan dengan doa kepada non-Muslim bertentangan dengan keimanan dan mengancam kekhususan ajaran Islam.

Baca juga, Islam dan Perubahan Iklim: Tanggung Jawab Manusia dalam Melindungi Bumi

Anwar Abbas menambahkan bahwa salam dalam Islam bukanlah sekadar ucapan selamat, melainkan sarana untuk mendoakan keselamatan dan kesejahteraan dalam pengertian yang lebih dalam, yang seharusnya hanya berlaku antar sesama umat Muslim.

Sikap ini juga didukung oleh MUI, yang menekankan bahwa umat Islam seharusnya menghindari salam lintas agama karena bisa menodai prinsip-prinsip akidah yang telah ditetapkan dalam syariat. Pengucapan salam yang datang dari agama lain, dengan doa dan maksud tertentu, dapat mencampuradukkan keimanan dan membingungkan umat Islam mengenai batasan dalam menjalankan ibadah.

Evaluasi Pandangan yang Mendukung Salam Lintas Agama

Di sisi lain, ada pula pendapat yang mendukung salam lintas agama dengan alasan menjaga nilai toleransi dan hubungan antar umat beragama. Mereka berpendapat bahwa salam lintas agama adalah bentuk penghargaan terhadap sesama manusia tanpa melihat perbedaan keyakinan. Beberapa politisi dan tokoh pemerintah memandang bahwa pengucapan salam lintas agama merupakan simbol kerukunan dan menunjukkan sikap terbuka terhadap keberagaman.

Namun, pendapat ini seringkali dipertanyakan, karena ada yang berargumen bahwa praktik ini bisa menyebabkan umat Islam kehilangan identitas dan mengarah pada relativisme agama. Pendapat ini cenderung tidak sepenuhnya memperhatikan konteks akidah dalam Islam yang mengajarkan kejelasan dalam batasan berinteraksi dengan agama lain.

Kesimpulan: Toleransi Tanpa Mengorbankan Akidah

Fenomena salam lintas agama menunjukkan adanya benturan antara nilai toleransi antar umat beragama dengan prinsip-prinsip akidah dalam Islam. Fatwa MUI menegaskan bahwa meskipun umat Islam dianjurkan untuk berlaku baik dan adil terhadap non-Muslim, tetap ada batasan yang harus dijaga dalam berinteraksi, terutama terkait dengan praktek ibadah yang bersifat eksklusif dalam agama Islam.

Penting untuk diingat bahwa toleransi dalam Islam tidak mengharuskan penghilangan perbedaan keyakinan, melainkan penghormatan terhadap hak hidup dan martabat sesama. Oleh karena itu, salam yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang mengandung nilai-nilai keimanan yang tidak mencampuradukkan doa dan harapan dengan agama lain, agar umat Islam tetap menjaga identitas keimanan dan tidak terjebak dalam praktik sinkretisme agama yang bisa merusak kesucian tauhid.

Kritik terhadap salam lintas agama ini bukan hanya berasal dari fatwa MUI dan para ulama, melainkan juga dari tokoh-tokoh yang menekankan bahwa praktik keagamaan harus jelas dan tidak bisa dipolitisasi demi kepentingan tertentu.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE