Relasi Dakwah dan Kekuasaan dalam Pandangan KH. Tafsir
Sebagaimana kita pahami bersama, dakwah merupakan salah satu dari tiga identitas yang menjadi ciri khas dari Persyarikatan Muhammadiyah. Adapun identitas pertama adalah Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah, dan ketiga Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (pembaharuan). Dalam perjalanannya, dakwah sendiri tidak bisa berdiri sendiri, atau dapat kita katakan bahwa dakwah membutuhkan support system yang mampu menopangnya. Lantas, apa saja supporting system yang diperlukan untuk mendukung kerja-kerja dakwah persyarikatan?
The Power of Nation Elite
KH. Tafsir pernah berkata bahwasanya kekuatan elit negara hanya terdapat pada tiga segmen, pertama adalah penguasa, kedua adalah pengusaha, dan yang ketiga adalah militer. Sehingga, menjadikan salah satu elit atau bahkan semuanya sebagai patron untuk menyokong dakwah persyarikatan, sangatlah mungkin terjadi. Kevin Phillips dalam American Dynasty juga menuliskan bahwa kesukesan George Bush merupakan hasil perpaduan kerjasama segmen bisnis, perminyakan dan industri militer.
Dengan kekuatan yang sangat besar dari ketiga segmen ini, dakwah persyarikatan dapat lebih mudah disampaikan ketika memiliki akses atau bahkan menaruh kader di dalam salah satu dari ketiga segmen tersebut. Menurut KH. Tafsir, Nabi Muhammad Saw. pun memerlukan dukungan kekuasaan untuk melancarkan dakwahnya.
Beliau berkata pada salah satu acara, “Jangan abaikan kekuasaan, sekaliber nabipun tidak lancar dakwahnya tanpa kekuyasaan. Maka nabi tidak bisa membangun dakwahnya di Mekah, karena tanpa dukungan penguasa. Nabi baru dapat membangun umat setelah di Madinah, setelah mendapat dukungan dari penguasa.”
KH. Tafsir menyampaikan, bahwa harapan Nabi tentang dukungan penguasa tertuang dalam do’a Nabi saat akan hijrah.
وَقُل رَّبِّ أَدْخِلْنِى مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِى مُخْرَجَ صِدْقٍ وَٱجْعَل لِّى مِن لَّدُنكَ سُلْطَٰنًا نَّصِيرًا
Dan katakanlah: “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.”
Pada potongan ayat terakhit Surat Al Isra’ ayat 80 di atas, KH. Tafsir mengartikan bahwa sulthoonan nashiiro adalah penguasa (pemerintah) yang menolong. Hal ini dibuktikan dengan boomingnya dakwah Nabi pasca hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Baca juga, Ngaji ke Kyai Dahlan 3
Namun, seringkali kekuasaan mendapatkan stigma negatif, hal ini disebabkan oleh beberapa oknum di dalam kekuasaan yang tidak amanah. Namun, menurut KH. Tafsir, “sekotor” apapun politik (kekuasaan), tetap penting.
Kemudian, hijrah Nabi menurut KH. Tafsir, jangan hanya dimaknai sebagai peristiwa keagamaan biasa saja. Melainkan lebih dari itu, peristiwa hijrah adalah peristiwa politik yang sudah melalui lobi-lobi politik selama kurang lebih dua tahun. Ia menambahkan bahwa elit Yatsrib ketika itu berusaha melobi Nabi untuk berpindah ke Yatsrib disebabkan Yatsrib yang notabenenya adalah daerah maju–bahkan lebih maju dari Mekan–namun sering dilanda konflik. Dan kemudian elit Yatsrib meyepakati bahwa yang dapat memimpin Yatsrib adalah orang yang Al Amin, dan itu ada dalam diri Nabi.
Maka, sangat tepat sekali apabila subjek dakwah memanfaatkan segmen lain sebagaimana penulis sampaikan di atas, untuk mempermudah dan memperluas dakwahnya. Atau, lahirkan kader-kader yang mampu diorbitkan pada ranah politik, dunia usaha maupun militer, dalam rangka mendukung usaha-usaha, kerja-kerja dakwah persyarikatan, dan agama.