Tokoh

Rekam Jejak Ilmu Falak KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari

Rekam Jejak Ilmu Falak KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari

Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar (Dosen FAI UMSU, Kepala OIF UMSU, dan Anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah)

PWMJATENG.COM – Rekam jejak ilmu falak KH. Ahmad Dahlan (w. 1923 M) dapat dilihat dari akurasi dan rekonstruksi arah kiblat yang ia lakukan di Masjid Besar Kauman, Masjid Kesultanan Yogyakarta. Rekonstruksi yang ia lakukan ini tidak lain menunjukkan bahwa ia memiliki keahlian dalam masalah ini. Melalui analisis dan perhitungan astronomis yang ia lakukan, arah kiblat masjid tersebut tidak mengarah persis ke Kakbah. Konon, instrumen yang digunakan KH Ahmad Dahlan adalah dengan menggunakan instrumen kompas  dan  peta  dunia.

Rekonstruksi arah kiblat ini dimulai dengan diskusi intensif dengan para ulama, terutama dengan kepala penghulu keraton yang dalam prosesnya terjadi dinamika. Praktis wacana pembaruan arah kiblat oleh KH. Ahmad Dahlan ini menjadi isu keagamaan yang banyak menyita perhatian dan pro-kontra banyak kalangan ketika itu. Apa yang ia lakukan membuat banyak kalangan ketika itu merasa tidak nyaman. Namun KH Ahmad Dahlan teguh dengan pendiriannya yang dilandasi ilmu pengetahuan. Dengan pengetahuannya dia tetap memalingkan arah kiblat Masjid kesultanan Yogyakarta ke arah yang sesungguhnya.

Menurut Haedar Nashir, KH Ahmad Dahlan memperkenalkan wacana pentingnya pelurusan kiblat pada tahun 1897 M. Hingga tahun 1898 M, wacana tersebut terus digulirkan dan menjadi isu keagamaan yang banyak  menyita  perhatian. Pro-kontra  mewarnai dan  mengiringi wacana tersebut. Setelah mengalamai berbagai musyawarah, tapi tidak menghasilkan kesepakatan, KH Ahmad Dahlan tidak merasa kecewa. Sebaliknya, ia merasa telah menyampaikan apa yang diyakini benar, meski pendapatnya belum sepenuhnya dapat diterima. KH Ahmad Dahlan bersyukur bahwa perdebatan dengan para ulama yang tidak bersetuju dengannya dapat berjalan dengan baik dan dilakukan dengan sopan tanpa ada hujatan.

Namun dalam peristiwa itu ada sebuah kejadian yang menyebabkan ketegangan, yaitu ditemukannya tiga garis kapur putih setebal 15 sentimeter di saf bagian depan  Masjid  Besar  Kauman  Yogyakarta, garis tersebut menunjukkan arah kiblat yang sebenarnya. Pada awalnya Kepala  Penghulu sangat  menyayangkan  peristiwa  tersebut, namun berdasarkan investigasi terbukti pelakunya bukan KH Ahmad Dahlan, tapi tiga oknum pemuda yang selama ini intens mengikuti perdebatan tentang arah kiblat sejak awal .

Strategi lain yang dilakukan KH Ahmad Dahlan untuk meyakinkan pihak keraton adalah dengan merenovasi dan memperluas langgar peninggalan ayahnya. Saf dari Langgar ini didesain menghadap ke arah kiblat yang diyakini benar. Namun hal itu kembali mengundang protes dari kepala Penghulu Keraton. Namun KH Ahmad Dahlan bertahan pada pendiriannya. Akhirnya kepala Pengulu memerintahkan pembongkaran paksa Langgar tersebut oleh warga masyarakat atas perintah Penghulu karena dianggap menimbulkan keresahan. Konon, KH Ahmad Dahlan membangun kembali Langgar tersebut dengan tidak menghadap ke kiblat, hanya saja baris safnya di dalam masjid menghadap ke arah kiblat.

Baca juga, Keputusan Musypimwil Muhammadiyah Jateng Tahun 2024

Adapun pengetahuan ilmu falak KH Ahmad Dahlan diantaranya didapat tatkala ia belajar di Makkah, ia belajar kepada sejumlah ulama diantaranya Syaikh Muhammad Asy’ari Bawean (ilmu falak), Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau w. 1334 H/1915 M), Syaikh Muhammad bin Umar an-Nawawi Banten (w. 1314 H/1897 M), dan Syaikh Muhammad Faqih Maskumambang (w. 1353 H/1937 M).

Adapun KH Hasyim Asy’ari (w. 1947 M), rekam jejak falaknya dapat dilihat pada tahun 1355 H ia mengirim surat kepada Mufti Mazhab Maliki di Makkah yaitu Syaikh Muhammad Ali bin al-Husain al-Maliki. KH Hasyim Asy’ari meminta penjelasan perihal dua risalah yang ditulis oleh dua orang tokoh, salah satunya Syaikh Muhammad Manshur bin Abdul Hamid Betawi (w. 1388 H/1968 M) seputar persoalan penetapan awal puasa. Menurut KH Hasyim Asy’ari persoalan ini kerap menjadi perdebata di kalangan ulama yang berpotensi memecah belah umat dan merenggangkan hubungan antar warga masyarakat. Syaikh Muhammad Ali bin al-Husain al-Maliki membaca dengan saksama dua risalah tersebut, berikutnya atas surat yang diajukan KH Hasyim Asy’ari ini menjadi latar belakang dia menulis karyanya yang berjudul “Maqashid at-Tahkim fi Bayan Tsubut Syahr ash-Shaum bi al-Hisab wa at-Tanjim”, dimana secara umum kitab ini membahas dan berisi penjelasan seputar persoalan penetapan awal bulan hijriah.

Adapun uraian singkat dalam kitab ini, yang merupakan jawaban atas pertanyaan KH Hasyim Asy’ari, dijelaskan bahwa dalam masalah ini ada dua pandangan atau kesimpulan yaitu, pertama, tidak wajib (tidak boleh) berpuasa atau menetapkan masuknya awal bulan hijriah dengan menggunakan pendapat ahli hisab (hasib, munajjim). Adapun pendapat kedua, dibolehkan menggunakan pendapat ahli hisab. Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki menguraikan argumentasi dua pendapat tersebut, demikian pula secara khusus ia membantah pendapat Syaikh Muhammad Manshur bin Abdul Hamid Betawi.

Untuk pandangan yang tidak membolehkan hisab, Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki berhujah berdasarkan hadis-hadis rukyat. Adapun pendapat Taqiyyuddin as-Subki (w. 756 H/1355 M) yang secara tegas membolehkan hisab, bahkan mengatakan bahwa hisab itu pasti (qath’iy) sedangkan rukyat itu meragukan (zhanny), menurutnya pendapat ini hanya dinyatakan oleh Taqiyyuddin as-Subki, sedangkan ulama-ulama dalam Mazhab Syafi’i lainnya tidak berpandangan demikian.

Sementara itu pendapat yang membolehkan hisab, dibantah oleh Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki dengan tiga argumen: pertama, bahwa analogi kebolehan penggunaan hisab dalam penentuan awal bulan dengan hisab dalam penentuan waktu-waktu salat pada dasarnya tidaklah tepat. Kedua, firman Allah, “wa bi an-najm hum yahtadun” (dan dengan bintang mereka mendapat petunjuk) [QS. An-Nahl (16) ayat 16], ayat ini bersifat umum dan tidak dimaksudkan sebagai metode dalam penetapan awal bulan hijriah. Ketiga, bahwa analogi kebolehan penggunaan hisab yang notabenenya zhanny dengan penentuan arah kiblat yang juga zhanny, menurutnya hal ini juga keliru.

Demikian sekilas rekam jejak falak KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. Wallahu a’lam.

Artikel telah diterbitkan oleh OIF UMSU di website oif.umsu.ac.id.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE