Kolom

Rahmat, Barokat, dan Taubat Menurut Profesor M. Amin Abdulllah

Rahmat, Barokat, dan Taubat Menurut Profesor M. Amin Abdulllah

Oleh: Ikhwan Saifudin (Sekretaris PC Pemuda Muhammadiyah Kunduran Blora)

PWMJATENG.COM – Jika bulan Ramadan diibaratkan sebagai sebuah keluarga, maka “ayah” dalam keluarga tersebut adalah Ramadan. Bulan Ramadan yang penuh dengan limpahan rezeki diibaratkan sebagai seorang “ibu sholihah.” Keluarga ini hendak berkunjung ke rumah setiap Muslim yang menjalankan ibadah puasa. Bulan Ramadan membawa kebahagiaan, kegembiraan, dan keberkahan, yang diibaratkan sebagai dua anaknya yang selalu menemani, yaitu “Buka” dan “Sahur.” Selain itu, keluarga ini juga membawa tiga cucunya yang istimewa, yaitu “Rahmat,” “Barakat,” dan “Taubat.” Mereka akan tinggal di rumah orang yang berpuasa selama 29 atau 30 hari. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita menyambut mereka dengan penuh penghormatan, penghargaan, dan keikhlasan karena Allah Ta’ala.

Setelah 30 hari berlalu, keluarga tersebut akan berpamitan dan pergi secepat kilat menggunakan jet pribadinya yang bernama “Idul Fitri.” Mereka meninggalkan penghuni rumah dengan berbagai kesan dan kenangan mendalam. Bagi mereka yang menjalankan Ramadan dengan keikhlasan, akan mendapatkan keutamaan yang luar biasa besar, yakni predikat “Muttaqin,” serta harapan untuk bisa bertemu kembali di Ramadan berikutnya. Sekarang, mari kita bahas tiga “cucu” yang dibawa oleh keluarga tersebut, yaitu Rahmat, Barokat, dan Taubat.

Rahmat

Yang pertama adalah Rahmat. Kata ini sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia dan sering muncul dalam berbagai konteks. Salah satu yang paling dikenal adalah konsep Islam Rahmatan lil ‘Alamin, yang menggambarkan bagaimana Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Bahkan, dalam pembukaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, disebutkan, “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.”

Sifat rahmat memiliki peran mendasar dalam kehidupan. Setiap Muslim, baik yang sudah tua maupun masih muda, laki-laki atau perempuan, dari kalangan awam hingga elite, berpendidikan atau tidak, kaya maupun miskin, santri atau abangan, semuanya dituntut untuk mengembangkan sikap penuh kasih sayang, keramahan, kelembutan, serta kepedulian terhadap sesama. Jika sifat ini tidak ditanamkan sejak dini, berbagai bentuk konflik akan mudah muncul, baik dalam hubungan dengan orang lain maupun dalam diri sendiri. Dua sifat utama Allah yakni; al-Rahman dan al-Rahim, menjadi sumber inspirasi utama bagi manusia Muslim dalam mengembangkan kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama. Prinsip ini tidak hanya berlaku dalam Islam, tetapi juga dianut oleh pemeluk agama lain yang berusaha menanamkan nilai-nilai kebaikan ini melalui pendidikan maupun program sosial kemasyarakatan.

Barokat

Cucu kedua yakni Barokat atau berkah sering kali hanya dipahami sebagai doa dan harapan, bukan sebagai prinsip hidup yang terwujud dan terejawantahkan dalam praktik sehari-hari. Banyak orang berdoa agar rezekinya diberkahi, tetapi cara mereka mencari dan mengumpulkan harta terkadang tidak selaras dengan doa yang mereka panjatkan. Bahkan, jika berbicara tentang keberkahan secara menyeluruh dalam kehidupan, sering kali praktiknya jauh panggang dari api.  

Dalam konteks ibadah puasa dan pendidikan spiritual, bukan hanya doa yang menjadi perhatian utama, tetapi juga bagaimana keberkahan diwujudkan dalam tindakan nyata. Islam mengajarkan bahwa infak, sedekah, dan zakat bukan sekadar bentuk kedermawanan, melainkan sarana untuk menyucikan harta dan menambah keberkahan dalam kehidupan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: 

”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. At-Taubah: 103) 

Baca juga, Tuntunan Idulfitri Menurut Fatwa Tarjih Muhammadiyah: Dari Malam Takbiran hingga Salat Id

Dalam kehidupan sosial, keberkahan bukan hanya diukur dari banyaknya harta, tetapi dari manfaat yang dapat diberikan kepada orang lain. Hidup yang penuh keberkahan berarti mampu memberikan manfaat bagi sesama, melindungi, membantu, dan memiliki mentalitas kelimpahan (abundant mentality), bukan sifat kikir atau egois. Keberadaan seseorang yang berlimpah barakah seharusnya menghadirkan rasa aman bagi orang di sekitarnya, bukan menjadi beban atau ancaman bagi mereka. Rasulullah SAW bersabda: ”Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”(HR. Ahmad) 

Keberkahan hidup juga berkaitan dengan bagaimana kita memperlakukan kelompok lain yang berbeda dari kita. Sikap santun, kepedulian, dan kasih sayang terhadap mereka merupakan indikator sejauh mana kehidupan kita benar-benar diberkahi. Puasa mengajarkan setiap Muslim untuk melakukan refleksi mendalam: apakah hidup kita telah membawa keberkahan bagi orang lain? Jika belum, apa penyebabnya? Apakah cara kita beragama sudah benar dan sesuai dengan ajaran yang hakiki? Ibadah puasa tidak hanya sesuatu yang transendental (imaanan) tetapi juga evaluasi diri (ihtisaban), yakni keberanian untuk mengintrospeksi dosa-dosa pribadi dan sosial yang telah dilakukan sepanjang tahun, lalu berusaha memperbaikinya. Rasulullah SAW bersabda: 

”Barang siapa yang berpuasa Ramadan dengan penuh keimanan dan muhasabah (introspeksi diri), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari & Muslim). Dengan demikian, ibadah puasa bukan hanya ritual tahunan, tetapi sarana untuk meningkatkan kualitas diri dan menumbuhkan keberkahan dalam kehidupan sosial.

Taubat

Cucu ketiga Taubat memahami makna taubat sering kali terasa sulit, terlebih lagi ketika berbicara tentang taubatan nasuha, yaitu taubat yang sungguh-sungguh. Bagi sebagian orang, konsep ini bahkan terasa hampir tidak terjangkau. Mengapa Islam menganjurkan umatnya untuk bertaubat setiap hari? Hal ini tidak terlepas dari sifat dasar manusia yang rapuh, baik secara biologis maupun psikologis. Manusia mudah terpengaruh oleh emosi, kemarahan, dan berbagai kelemahan lainnya yang membuatnya rentan terhadap kesalahan dan dosa. 

Keterbatasan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Tidak ada seorang pun yang mampu sepenuhnya melepaskan diri dari keterbatasan ini, baik dalam hal ilmu, harta, usia, maupun pengalaman hidup. Pendidikan yang berkembang dalam budaya manusia merupakan upaya untuk mengurangi dampak keterbatasan tersebut. Meskipun tidak selalu berhasil secara sempurna, ada kelompok masyarakat yang mengalami kemajuan, namun ada juga yang masih tertinggal. 

Dalam realitas seperti ini, Islam dan agama-agama lain, termasuk budaya lokal, menawarkan konsep taubat, “repentance”, permintaan maaf, “tepo seliro” (tenggang rasa), serta kesadaran akan batas-batas kemampuan manusia agar tidak melampaui batas dan terjerumus dalam kesombongan. Kesadaran akan keterbatasan ini dapat mengurangi sifat angkuh dan congkak dalam diri manusia.  Taubat yang sejati adalah taubat yang dilakukan dengan penuh ketulusan dan kejujuran di hadapan Allah SWT. Selain itu, taubat juga berfungsi untuk menjaga kesehatan mental seseorang serta memperkuat harmoni sosial dalam masyarakat. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: 

”Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.”(QS. An-Nur: 3 1). Dengan demikian, taubat bukan hanya sebatas ritual spiritual, tetapi juga sarana refleksi diri yang membantu manusia tetap berada dalam keseimbangan hidup, baik secara individu maupun dalam kehidupan sosialnya.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE