PWMJATENG.COM, Surakarta – Presiden Prabowo Subianto memanggil sejumlah pejabat tinggi Kejaksaan Agung, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hingga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ke Istana Negara. Pertemuan yang berlangsung tertutup ini menjadi sorotan publik. Apa agenda di balik pertemuan tersebut?
Dalam keterangan resmi yang dirilis oleh Biro Pers Istana pada Senin (13/1), pertemuan ini juga dihadiri oleh Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, dan Pelaksana Tugas Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh. Langkah ini disebut-sebut sebagai upaya memperkuat sinergi antar lembaga dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ketua Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia periode 2016–2018, Aidul Fitriciada Azhari, menilai bahwa langkah Presiden ini merupakan penegasan komitmen dalam memperkuat koordinasi penegakan hukum. “Pertemuan tersebut menunjukkan langkah tegas Presiden dalam memperkuat politik hukum pemberantasan korupsi. Penekanan ini penting, mengingat Kejaksaan Agung berada langsung di bawah Presiden,” ujar Aidul, Senin (20/1).
Aidul juga menyoroti capaian Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi yang dinilai lebih efektif dibandingkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Pada 2021 hingga 2023, Kejaksaan Agung berhasil menyelamatkan aset negara senilai lebih dari Rp11 triliun melalui jalur perdata. Selain itu, kerugian negara yang dipulihkan melalui jalur perdata mencapai Rp52 triliun, dan penyelamatan aset barang rampasan serta barang ciptaan bernilai Rp5 triliun,” jelas Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tersebut.
Namun, Aidul juga mengingatkan bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya bergantung pada satu lembaga saja. Sinergi antara Kejaksaan Agung, PPATK, dan KPK dinilai krusial untuk menciptakan pencegahan serta penindakan yang lebih efektif.
Aidul menegaskan bahwa Indonesia sudah memiliki instrumen yang lengkap dalam memberantas korupsi, mulai dari undang-undang, lembaga peradilan, hingga aparatur hukum mandiri seperti KPK dan PPATK. Namun, ia menyoroti masalah mentalitas dan budaya hukum yang menjadi penghambat utama.
“Meskipun substansi dan aparatur hukum kita sudah maju, perilaku hukum yang buruk justru merusak kepercayaan publik. Kasus korupsi yang melibatkan hakim, polisi, jaksa, dan pejabat menunjukkan hilangnya teladan dalam penegakan hukum. Akibatnya, hukum di Indonesia cenderung mengalami kemunduran,” paparnya.
Baca juga, Download Tanfidz Keputusan Musypimwil Muhammadiyah Jawa Tengah Tahun 2024
Aidul juga menyoroti betapa sistemik masalah korupsi di Indonesia. Mulai dari penyalahgunaan dana desa hingga pelanggaran di sektor lain, semuanya menunjukkan perlunya perbaikan mendasar. “Korupsi di Indonesia sudah menjadi masalah sistemik dari hulu hingga hilir. Untuk itu, kita memerlukan sinergi antar lembaga yang tidak hanya fokus pada penindakan, tetapi juga pada pencegahan dan reformasi sistem.”
Menurut Aidul, pemberantasan korupsi membutuhkan koordinasi lintas lembaga, termasuk Kejaksaan Agung, PPATK, dan KPK. “Dalam pemberantasan korupsi, tidak cukup hanya mengandalkan penindakan hukum. Diperlukan pencegahan awal, perbaikan sistem, reformasi birokrasi, dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat,” tegasnya.
Ia juga menyoroti krisis keteladanan yang menjadi tantangan besar. “Keteladanan dalam pemberantasan korupsi sangat minim. Banyak aparatur yang justru menyalahgunakan wewenang. Contohnya, pengelolaan dana desa senilai Rp1 miliar sering disalahgunakan oleh aparat desa. Ini menunjukkan lemahnya kontrol dan pengawasan di tingkat bawah,” imbuh Aidul.
Langkah Presiden Prabowo memanggil pejabat penting ke Istana menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah serius menangani masalah korupsi. Upaya ini diharapkan tidak hanya memperkuat penegakan hukum, tetapi juga mengubah paradigma pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dengan instrumen yang sudah lengkap, sinergi antar lembaga, dan kepemimpinan yang tegas, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperbaiki kondisi hukum yang selama ini dinilai merosot. Namun, tanpa perbaikan mentalitas dan budaya hukum, tantangan pemberantasan korupsi akan tetap besar. Seperti yang Aidul sampaikan, “Pemberantasan korupsi bukan hanya soal tindakan hukum, tetapi juga soal reformasi budaya dan mentalitas bangsa.”
Kontributor : Al
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha