Kolom

PILIHAN KITA

Hayati Nufus (MIM Bloran Kerjo, Karanganyar)

BANYAK orang merasa alergi ketika bicara politik, karena politik dianggap sesuatu yang kotor dan harus dijauhi. Ketika musim kampanye tiba sebagian masyarakat kita cenderung acuh tak acuh pada pilihan politiknya. Sejak memilih pemimpin di level paling bawah seperti rt, rw, kepala desa sampai presiden partisipasi masyarakat dalam mendorong terpilihnya pemimpin yang diharapkan sangatlah minimalis. Ambiguitas antara keinginan mendapatkan pemimpin yang baik dan ikhtiyar berbanding terbalik sehingga banyak peluang untuk mendapatkan pemimpin yang baik menjadi terlewatkan.

Kita baru sadar salah memilih ketika kehidupan semakin berat, harga kebutuhan pokok semakin tinggi , lapangan kerja semakin sempit, perbedàan antara orang kaya-miskin makin lebar dan aspirasi umat tidak terwadahi.

Bersabar dan menunggu satu periode adalah pilihan paling rasional bila kita berniat mentalak bain para pemimpin yang abai dalam menunaikan amanat dan aspirasi rakyat.

Faktanya ketika perhelatan politik digelar kembali kita menjadi orang yang amnesia dan lupa pada rekam jejak para pemimpin oportunis disebabkan oleh politik uang atau sembako yang dibagikan ke depan pintu rumah kita.

Peristiwa 212 membuka mata umat Islam untuk aktif bergerak mengambil peran lebih besar dalam kepemimpinan di setiap tingkatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika kita abai pada peran politik ini maka kita hanya akan menjadi penonton dan objek penderita sepanjang masa.

Menurut penulis ada hal substansi yang harus direkonstruksi dari paradigma kita terhadap politik. Selama ini ada sebuah kekuatan besar yang berusaha mereduksi politik dari dasar keyakinan dan keberagamaan kita, sejatinya ini adalah penyesatan yang nyata. Politik yang berdiri di luar keyakinan membuat kita apatis dan tidak bersungguh-sungguh dalam memperjuangkannya. Kita kehilangan kesempatan untuk menjadi aktor yang bisa mewarnai hitam putihnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Dampak buruk yang lain adalah kepentingan umat sebagai populasi mayoritas tidak terakomodasi sebagai akibat para pemangku kebijakan adalah kelompok yang secara ideologis sangat jauh dengan cita-cita umat.

Kasus kriminalisasi ulama, pelecehan Al Qur’an oleh politisi, pembubaran ormas Islam, apresiasi pada LGBT, reklamasi pantai di Jakarta Utara, proyek Meikarta dll adalah beberapa contoh kasus tentang kepada siapa para pemangku kekuasaan berpihak. Bicara politik, berpikir politik, memiliki konsen yang kuat pada politik bukan hanya urusan dunia ansich tetapi ia adalah salah satu jembatan menuju hayatan thoyyibah di dunia dan akhirat.

CERDAS MEMILIH
Manusia lebih dimuliakan Allah dari segenap makhluk-Nya karena manusia diberi modal akal dan hati untuk berpikir, menimbang dan memilih. Kebebasan untuk memilih tidak diberikan kepada para malaikat walaupun mereka memiliki kesucian di atas manusia. Malaikat didesain untuk taat dan patuh pada perintah Allah dan tidak pernah sedikit pun mereka menentang maupun melalaikan perintah Nya (maksiyat). Manusia dengan modal hidup yang dianugerahkan Allah mampu melesat mencapai puncak kesempurnaan insan kamil, suatu derajat yang melampaui derajat para malaikat, namun di sisi lain ia pun sangat berpeluang untuk menjadi lebih buruk dari binatang ternak bila salah dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya.

Al Qur’an memberi panduan yang jelas begaimana kita menentukan pilihan-pilihan dalam hidup di dunia seperti kalam Allah berikut:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
(Q.S.28:77).
Menurut penulis ayat ini memberikan gambaran besar pada kita tentang bagaimana mengarahkan kemudi hidup kita sesuai dengan semangat ayat yaitu kehidupan berdimensi ukrowi atau akhirat yang harus menjadi tolak ukur dalam setiap karya dan amal. Tafsir Al Misbah menerangkan tekanan redaksional yang berbeda pada kalimat pertama menggunakan kalimat aktif saat menyuruh mencari kebahagiaan akhirat dan kedua menggunakan kalimat pasif saat menyuruh mencari kenikmatan dunia. Artinya kehidupan akhirat itu memiliki nilai lebih tinggi dibanding dengan dunia maka harus menjadi peioritas dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidup.

Pun dalam kontek pilihan politik yang momennya akan kita jelang di tahun 2018 ini. PILKADA, PILEG dan PILPRES adalah saatnya bagi kita untuk memilih pemimpin dengan lebih cerdas agar kita tidak melulu menjadi korban petualang politik. Umat ini harus disadarkan tentang potensi besar yang dimiliki untuk mendorong lahirnya pemimpin yang mampu membawa umat kepada kehidupan yang lebih sejahtera di segala bidang kehidupan.

Menjadi pemilih yang cerdas dimulai dengan beberapa hal berikut:
1. Niat yang ikhlas karena Allah.
2. Kesamaan visi dan ideologi calon pemimpin
3. Mengabaikan politik uang
4. Memilih calon dari partai yang rekam jejaknya tidak menyakiti umat Islam.
5. Aktif mensosialisasikan tentang pemilu bersih, jujur, adil dan bertanggung jawab.
6. Aktif mengawal pelaksanaan pemilu.

Sebentar lagi, saatnya akan tiba untuk mengoreksi dan memperbaiki prilaku politik umat dengan menyambut PILKADA 2018. Umat harus dibangunkan dari mimpi dan tidur politik. Umat harus didorong untuk berpartisipasi aktif memaknai demokrasi dengan memilih pemimpin seperti kriteria di atas.
Jangan lagi ada jargon, ngaji dan politik tidak boleh dicampur atau urusan negara jangan dicampur dengan urusan agama. Tapi ruh agama kita harus ada disetiap keputusan politik.
Termasuk, keputusan kita memilih Pemimpin Daerah.
Wallahu a’lam.
_____
Kerjo 6 Januari 2018

Aji Rustam

Jurnalis MPI PWM Jateng, Wartawan Seniour TribunJateng

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE