Khazanah IslamSejarah

Perempuan Bangsawan yang Memeluk Cahaya: Kisah Shafiyyah binti Huyay, dari Bani Nadhir Menuju Pelukan Islam

PWMJATENG.COM – Dalam sejarah Islam, banyak nama perempuan yang tercatat sebagai pejuang iman dan penggerak peradaban. Salah satu nama yang menonjol adalah Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab—seorang perempuan bangsawan dari kalangan Bani Nadhir, yang kemudian menjadi istri Rasulullah ﷺ dan termasuk dalam gelar mulia Ummul Mukminin.

Dalam kajian yang disampaikan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Muhammad Abduh Hisyam, dijelaskan bahwa para istri Nabi Muhammad ﷺ berasal dari berbagai latar belakang. “Bukan hanya bangsa Arab, tapi ada juga yang berasal dari keturunan Yahudi dan Mesir,” ujarnya. Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa Islam sejak awal telah bersifat inklusif dan tidak memandang suku atau ras sebagai penghalang kemuliaan.

Shafiyyah lahir dari keluarga terhormat Yahudi. Ayahnya, Huyay bin Akhtab, adalah pemimpin Bani Nadhir, suku Yahudi yang mendiami kota Madinah sebelum mereka terusir karena pengkhianatan terhadap Piagam Madinah. Ia tumbuh dalam lingkungan yang terdidik, terbiasa dengan kemewahan dan kekuasaan, namun juga sarat intrik politik dan kebencian terhadap Islam yang tumbuh di tanah Yatsrib.

Pertemuan Takdir di Khaibar

Perubahan besar dalam hidup Shafiyyah bermula dari Perang Khaibar pada tahun ke-7 Hijriah. Khaibar adalah benteng kuat kaum Yahudi yang menjadi pusat perlawanan terhadap kekuasaan Islam. Dalam perang itu, ayahnya, suaminya (Kinana bin Rabi’), dan beberapa kerabatnya terbunuh. Shafiyyah termasuk di antara tawanan perang yang kemudian dibawa ke hadapan Rasulullah ﷺ.

Di tengah kondisi penuh trauma, Rasulullah ﷺ memperlakukannya dengan lembut dan penuh hormat. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Jibril turun dan memberi isyarat bahwa Shafiyyah layak menjadi istri Nabi. Nabi Muhammad ﷺ lalu membebaskannya dari status tawanan dan mempersuntingnya sebagai bentuk penghormatan, bukan dominasi. Pernikahan ini bukan hanya ikatan pribadi, tapi juga simbol rekonsiliasi antara umat Islam dan keturunan Bani Israel.

Dari Duka Menuju Iman

Masuknya Shafiyyah ke dalam Islam bukan sekadar formalitas pernikahan. Ia memeluk agama Islam dengan keyakinan dan kesadaran. Dalam sebuah riwayat, ia mengisahkan bahwa sejak kecil ia sudah mendengar dari ayahnya tentang munculnya seorang nabi akhir zaman dari kalangan Arab. Bahkan, ayahnya sendiri pernah berkata, “Demi Allah, sungguh dia adalah nabi yang telah disebut dalam Taurat, tapi kami akan memusuhinya.”

Baca juga, Abduh Hisyam: Muhammad Saw. Nabi Agung dan Negarawan Ulung, Teladan Sepanjang Masa

Kesaksian itu menjadi titik awal refleksi panjang Shafiyyah. Setelah menyaksikan akhlak mulia Rasulullah ﷺ yang tidak membalas dendam atas apa yang dilakukan keluarganya, Shafiyyah justru merasa damai dalam pelukan Islam.

Ia pun menjadi bagian dari rumah tangga kenabian, hidup berdampingan dengan istri-istri Nabi lainnya. Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, Shafiyyah menunjukkan kedewasaan dan keteguhan hati dalam menyesuaikan diri.

Kehidupan sebagai Ummul Mukminin

Shafiyyah dikenal sebagai perempuan yang lembut namun tegas. Ia memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Dalam sebuah peristiwa, istri-istri Nabi lain pernah mengejeknya karena keturunan Yahudinya. Ia lalu mengadu kepada Nabi ﷺ. Rasulullah menenangkan hatinya dengan berkata, “Mengapa tidak kau balas saja dengan mengatakan, ‘Ayahku adalah Nabi Harun, pamanku adalah Nabi Musa, dan suamiku adalah Nabi Muhammad’? Tidak ada yang lebih mulia dari itu.”

Ucapan Rasulullah itu tidak hanya menjadi penegasan atas kehormatan Shafiyyah, tetapi juga pengakuan atas garis keturunan kenabian yang melekat padanya. Ia adalah perempuan yang membawa warisan Bani Israil namun hidup dalam cahaya Islam.

Kecintaan dan Kesetiaan

Shafiyyah menunjukkan kesetiaan yang dalam kepada Nabi ﷺ. Ketika beliau sakit menjelang wafat, Shafiyyah berkata sambil menangis, “Wahai Rasulullah, aku berharap aku yang sakit menggantikan engkau.” Ungkapan ini menunjukkan cinta tulus dari seorang istri kepada suaminya yang juga Nabi umat manusia.

Setelah Rasulullah wafat, ia hidup dalam kesederhanaan sebagaimana para istri Nabi lainnya. Ia tetap aktif dalam kehidupan umat, menyampaikan hadis dan menjaga amanah kenabian. Beberapa hadis diriwayatkan darinya dan menjadi bagian penting dari khazanah keilmuan Islam.

Wafatnya Sang Perempuan Mulia

Shafiyyah wafat pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia dimakamkan di pemakaman Baqi’, bersebelahan dengan para istri Rasulullah lainnya. Namanya tetap harum sebagai perempuan yang memilih iman di atas segala luka masa lalu.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE