Penjual Es Teh, Dongeng ‘Habib’, dan Kultur Tidak Setara
Penjual Es Teh, Dongeng ‘Habib’, dan Kultur Tidak Setara
Oleh : Rudi Pramono, S.E. (Ketua MPI PDM Wonosobo)
PWMJATENG.COM – Kultur tidak setara dalam keberagamaan kita, apakah berpengaruh? Sehingga para ulama, kyai dipanggung tersebut–bahkan dalam sebuah video yang lengkap terlihat seorang kyai yang di segani di Jawa Tengah–semua tertawa bahkan seorang pimpinan ponpes sangat keras tertawanya ngakak sampai menggoyangkan tubuhnya semuanya seenaknya menggoblok-goblokkan, menghina merendahkan dan mentertawakan seorang penjual es teh.
Ketika seorang santri harus ta’dzim kepada gurunya itu wajib, adab lebih penting dari ilmu, diajarkan dalam Kitab Ta’lim Muta’alim namun sulit kita hindari untuk tidak mengatakan dalam sungkem ada keyakinan ‘ghaib, mistis’ ngalap berkah dengan mencium-cium telapak tangan dari sang kyai, termasuk sebagai washilah setelah meninggal.
Ketidaksetaraan yang awalnya baik dalam konteks adab sebagai bagian penting dari ajaran Islam, namun sesungguhnya manusia tidak maksum tidak lepas dari hawa nafsu, tanpa sadar bisa mempengaruhi manusia merasa lebih alim, lebih saleh, lebih pintar karena nasab, ilmu, amal merasa lebih tinggi dari yang lain, sehingga muncul ucapan spontan dari Ketum sebuah ormas Islam terbesar : “..orang goblok tidak usah tanya-tanya dalil, ikuti saja..” begitu kurang lebihnya, yang kemungkinan diikuti oleh muridnya tersebut.
Baca juga, Menemukan Akidah Muhammadiyah di Antara Asy’ariyah dan Atsariyah
Dalam ‘kasus viral’ tentang ketidaksetaraan karena menganggap jamaah itu bodoh atau dibodohi dengan cerita dongeng, khayalan, khurafat tentang ‘habib’ yg bisa memadamkan api neraka, menghentikan pesawat terbang, mengadakan les privat hafalan Qur’an di alam kubur, mengusir malaikat Munkar dan Nakir yang akan menanyai orang yang meninggal, minta-minta uang untuk Nabi Muhammad, memperlihatkan ‘rambut dan sandal’ Rasulullah untuk dapat uang, kyai meniup air aqua/habib memasukkan jarinya ke air aqua maka air itu akan barokah dan doa terkabul bila diminum, siapa yang tidak hormat kepada habib, salatnya tidak sah dan pasti tidak masuk surga, kasus pelecehan santri oleh kyainya dll adalah fenomena membahayakan aqidah dimana manusia merasa lebih tinggi dari manusia lain karena tradisi kultus dan taqlid yang ujung-ujungnya merendahkan, membodohkan bahkan bisa dugaan penipuan.
Muhammadiyah mendidik umat untuk rasional, setara dan cerdas, tidak kultus dan taqlid, menghormati kyai/ulama/sesepuh adalah wajib dalam konteks adab. Hanya ketakwaan yang membedakan manusia disisi Allah SWT, bukan nasab tapi kasyab, bukan keturunan tapi kemampuan, kita pasti menghormati kalau memang dzuriyah Nabi tapi secara masuk akal dengan mengacu pada Al Qur’an dan As Sunnah. Tauhid mengajarkan kesetaraan, semua manusia yang berbeda-beda adalah satu dan sama ciptaan Allah SWT.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha