Pandangan Muhammadiyah tentang Hadits: Konsep, Kehujjahan, dan Akar Pemikiran (3)
Pandangan Muhammadiyah tentang Hadits: Konsep, Kehujjahan, dan Akar Pemikiran (3)
Oleh : Dr. Kasman Abdul Rohim, M.Fil.I. (Wakil Ketua PDM Jember, Dosen FUAH IAIN Jember)
Kalangan Mutakallimin
Tidak dapat dipungkiri, di kalangan mutakallimin mu’tazilah termasuk pendukung utama pendapat ketidakhujjahan hadis ahad dalam persoalan akidah. Abd al-jabbar ( 414 H ) salah satu tokoh mu’tazilah pada peralihan abad ke-4 H dan ke-5 H yang sebagian tulisannya sampai kepada kita, berkata : dan adapun sesuatu yang tidak diketahui benar dan tidaknya, seperti hadis ahad dan yang semacamnya, maka boleh diamalkan Jika memenuhi syarat-syaratnya. Adapun menerimanya dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keyakinan maka tidak boleh.
Pada bagian lain, Abd al-Jabbar juga berkata:
…. Di sini terdapat pokok yang lain, yaitu bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan secara ahad harus dilihat isinya. Jika isinya menyangkut amal perbuatan, maka hadis itu diamalkan kalau memenuhi syarat-syaratnya. Tetapi jika isinya menyangkut i’tiqåd (keyakinan), perlu dilihat: kalau sesuai dengan argumen-argumen akal, hadis itu diterima dan diyakini adanya, bukan karena hadis itu, tetapi karena argumen aqli. Sebaliknya, jika isinya tidak sejalan dengan argumen-argumen akal, maka wajib menolaknya dan menetapkan bahwa Nabi tidak mengatakannya. Seandainya Nabi mengatakannya, maka beliau mengatakannya dalam konteks menyampaikan persoalan itu dari orang lain. Ini jika tidak memungkinkan ditakwilkan secara benar. Jika memungkinkannya, maka harus ditakwilkan. Perincian masalah ini tempatnya di ushûl al-fiqh.
‘Abd al-Jabbar menerapkan manhaj-nya itu ketika berbicara tentang masalah melihat Allah (ru’yat Allâh). Di sini ‘Abd al-Jabbar mengomentari hadis-hadis yang dijadikan dasar kemungkinan melihat Allah di akhirat kelak: “jika hadis itu sahih dan terbebas dari kecacatan, maka sebagian besar hadis yang berbicara masalah itu termasuk hadîs âhâd. Hadîs âhîd termasuk hal yang tidak melahirkan ilmu (yang meyakinkan). Padahal persoalan yang kita bicarakan adalah persoalan yang menuntut kepastian dan ketetapan.”
Sama dengan ‘Abd al-Jabbar, Abu al-Husayn al- Bashrî (w. 436 H), tokoh mu’tazilah generasi sesudah ‘Abd al-Jabbar yang tulisan ushûl figh-nya juga sampai kepada kita, secara jelas mendukung pendapat pendahulunya itu.
Dalam hal ini, ia menulis sebagai berikut:
Ketahuilah bahwa riwayat itu bisa jadi sesuatu syariat dari Nabi Saw., atau bisa jadi tidak. Yang pertama, mungkin kita dituntut untuk menaatinya dengan keyakinan, maka kita tidak dapat menerima hadis ahad dalam masalah ini, sebaliknya kita tidak dituntut untuk menaatinya dengan keyakinan, tetapi dengan amal, maka kita dapat menerima hadis âhâd dalam persoalan ini jika memenuhi syarat-syaratnya.
Pada bagian yang lain, Abu al-Husayn menjelaskan bahwa hadis yang berbicara masalah i’tiqâd dapat diterima sepanjang bersesuaian dengan argumen aqliyah, dengan perkataannya:
…karena sesungguhnya akal adalah jalan kita untuk mengetahui (secara meyakinkan) terhadap kandungan khabar. Jika makna dhahir dari khabar itu tidak sesuai dengan tuntutan akal, maka yang dimaksud Nabi dalam hadits itu adalah makna tidak dhâhir-nya. Jika Nabi menyampaikan hal yang tidak masuk akal itu, maka sesungguhnya beliau menuntut orang itu untuk mentakwilkannya dan membawanya pada majaz, sehingga sesuai dengan dalil akal.
Baca juga, Telah Terbit! Download Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) 1446 H
Dengan demikian, sikap Mu’tazilah dalam konteks hadîs âhâd dapat dirinci sebagai berikut:
a. Jika persoalan tersebut termasuk hal yang dapat diterima oleh akal, hadis âhâd diterima tetapi keberadaan persoalan itu harus diyakini karena dalil aqlî, bukan karena hadis itu.
b. Jika persoalan dalam hadis âhâd tidak dapat diterima oleh akal, maka persoalan itu tidak dapat diterima; jika memungkinkan di-ta’wil-kan dapat di- tawil-kan, tetapi jika tidak memungkinkan mereka menolaknya dan memastikan Nabi tidak mengatakannya
Selain Mutazilah, pemikiran ketidakhujjahan hadis åhåd dalam persoalan aqidah juga ditemukan di kalangan Asy’ariyah, salah satu aliran teologi Islam yang sering diidentikkan dengan ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Banyak ulama terkemuka dari kalangan Asy’ariyah yang memiliki pemikiran yang sama dengan pemikiran Mu’tazilah di atas. Di antara mereka yang dapat disebutkan di sini ialah Al-Baqilânî, ‘Abd al-Qahir Al-Baghdadi, Al-Juwaynî, Al- Ghazali, Al-Razt, dan Al-Iji.128
Abu Bakr Al-Baqilânî (w. 403 H) dan ‘Abd al-Qahir al-Baghdadi (w. 429 H), dan Abu Hamid al-Ghâzâlî (450- 505 H) tidak secara eksplisit menolak kehujjahan hadîs âhâd. Al-Baqilânî menyatakan bahwa khabar al-wâhid, suatu khabar yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang, tidak mewajibkan ilmu, tetapi mewajibkan amal sepanjang khabar al-wahid tersebut diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Demikian pula dengan al-Baghdâdî, penulis kitab al-Farq bayn al-Firaq ini mengatakan “hadîs ahad, kalau sanad-nya shahih dan isi matan-nya tidak mustahil menurut akal, dapat mewajibkan amal perbuatan, tetapi tidak mewajibkan ilmu. Sementara al-Ghazali, salah seorang yang sangat berpengaruh di dunia Sunni, menyatakan bahwa khabar al-wahid tidak memberikan faedah bagi ilmu (keyakinan), dan itu sudah diketahui
Dengan sendirinya (dlariiri )…dan apa yang dikatakan ahli hadist bahwa Khabar Wahid mewajibkan ilmu, maka mungkin yang dimaksud ilmu dalam arti kewajiban mengerjakan karna dugaan (dhann) disebut juga ilmu. Meskipun tiga ulama tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan ketidakhujahan hadits Ahad dalam persoalan aqidah tetapi pernyataannya mengenai ketidafaedahan hadist Ahad dalam memberikan ilmu memberi petunjuk ke arah kecenderungan menolak hadis Ahad sebagai dasar membangun aqidah.
Jika Al-Baqilâni, Al-Baghdadi dan al-Ghazali tidak secara eksplisit menyebut menolak hadits åhåd sebagai hujjah dalam persoalan aqidah, beberapa ulama Ash’ariyah lainnya, seperti Al-Juwayni, Al-Râzî, dan Al-Iji, secara eksplisit menolaknya. Abû al-Ma’ali ‘Abd al-Malik al- Juwaynî (419-478 H), seorang imam Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawî (Imâm al-Haramayn), ketika menolak hadits لا تجتمع أمتي على الضلالة sebagai dasar bagi kehujjahan ijma’, menyatakan: “saya tidak melihat hadits itu dapat dijadikan pegangan, karena hadits itu termasuk hadits åhåd. Dalam persoalan-persoalan yang qath’i, hadits ahâd tidak boleh dijadikan dasar. Hal ini sudah berkali-kali disebutkan. Pernyataan ini menegaskan penolakannya pada kehujjahan hadits âhâd dalam persoalan aqidah karena aqidah termasuk persoalan yang qath’i, Selanjutnya, Imâm Fakhr al-Din Muhammad Al-Razî (w. 606 H), lebih tegas lagi menyatakan bahwa “berpegang dengan khabar al-wahid (hadits âhâd) dalam mengenal Allah SWT tidak boleh… karena hadits âhîd itu kebenarannya dinilai hanya dugaan (madınûnah). … Dikatakan ‘dugaan’ karena para perawinya bukanlah orang yang ma’sûm. Nashrun Minallahi Wa fathun Qarieb.
Editor : M Taufiq Ulinuha