PWMJATENG.COM, Surakarta – Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) semakin dikenal masyarakat sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan status gizi anak Indonesia. Sebelumnya dikenal sebagai “Makan Siang Gratis” saat kampanye pemilihan presiden, program ini kini diujicobakan di berbagai sekolah dan menunjukkan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak. Meski demikian, para ahli gizi menilai MBG bukanlah kebijakan baru.
Sejarah mencatat, kebijakan serupa telah diterapkan sejak 1997 melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1997 tentang Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS). Program ini melibatkan berbagai kementerian dan lembaga guna menyediakan makanan bergizi bagi anak sekolah dengan target pemenuhan 15% kebutuhan energi dan 10% kebutuhan protein harian mereka. Kebijakan ini kemudian berkembang melalui Permendagri Nomor 18 Tahun 2011 yang memperluas cakupan hingga balita bergizi kurang dan ibu hamil dengan Kurang Energi Kronis (KEK).
Pakar Ilmu Gizi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Mutalazimah, mengungkapkan bahwa sejak 2017, bentuk makanan tambahan terus mengalami perubahan, mulai dari biskuit balita hingga biskuit khusus untuk ibu hamil dengan kandungan gizi yang lebih disesuaikan. Namun, ia berharap MBG dapat menjadi penyempurnaan dari program sebelumnya dengan pendekatan lebih komprehensif.
“Dari perspektif ilmu gizi, MBG mencakup tiga aspek utama, yaitu Manajemen Penyelenggaraan Makanan (MPM), Gizi Masyarakat, dan Gizi Klinik. Ketiga bidang ini berperan penting dalam keberhasilan program ini,” ujarnya, Senin (3/2).
Dalam bidang MPM, perhatian utama adalah pengadaan bahan, pengolahan, hingga penyajian makanan yang aman dan bergizi. Standar keamanan pangan seperti ISO 22000 dan HACCP harus diterapkan guna menghindari kontaminasi yang dapat menyebabkan penyakit. Selain itu, menu yang disajikan perlu mempertimbangkan kebutuhan energi, protein, serta kearifan lokal.
Baca juga, Dua Pekan Pasca Longsor, Muhammadiyah Siapkan Skema Tembus Daerah Terisolir di Petungkriyono Pekalongan
“Dari sisi Gizi Masyarakat, MBG harus berkontribusi dalam menurunkan prevalensi stunting, KEK, dan anemia. Pemantauan status gizi melalui pengukuran antropometri dan kadar hemoglobin perlu dilakukan secara berkala,” tambahnya.
Sementara itu, dalam aspek Gizi Klinik, penting memastikan makanan yang disediakan sesuai dengan kondisi fisiologis individu, termasuk alergi, penyakit bawaan, dan interaksi zat gizi yang dapat memengaruhi metabolisme anak-anak.
Mutalazimah juga menyoroti peran Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) dalam implementasi MBG. Menurutnya, keterlibatan perguruan tinggi dapat diwujudkan melalui catur dharma, yakni pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, dan implementasi Al Islam Kemuhammadiyahan.
“Edukasi gizi, pelatihan keamanan pangan, serta penelitian mengenai daya terima program MBG merupakan langkah konkret yang dapat dilakukan akademisi guna mendukung program ini,” jelasnya.
Pengawasan ketat terhadap seluruh tahapan program, mulai dari produksi hingga evaluasi, menjadi faktor penting dalam keberhasilan MBG. Keterlibatan UMKM dan pemanfaatan potensi lokal juga diharapkan dapat mendukung keberlanjutan program ini.
“Jika seluruh aspek ini diterapkan dengan baik, MBG dapat menjadi elemen kunci dalam menciptakan generasi emas 2045. Mari kita dukung pemenuhan gizi seimbang bagi anak-anak Indonesia demi masa depan yang lebih baik,” pungkasnya.
Kontributor : Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha