Oleh : Dr. H. Ahwan Fanani, M.Ag.*
Fenonena Musik Islami di Indonesia
Pagi ini, 9 Juli 2023, Pimpinan PDM Kota Semarang dikukuhkan di Balai Kota Semarang. Pengukuhan ini menandai awal kepemimpinan PDM Kota Semarang untuk mengemban amanah Musyda lalu. Pelantikan yang bertempat di Balai Kota menjadi simbol positioning Muhammadiyah sebagai mitra Pemerintah dan sebagai unsur pembangunan daerah secara aktif dan kritis.
Yang menarik dari pengukuhan ini adalah sambutan musik yang menyambut peserta. Suara rebana mendayu-dayu melewati pintu-pintu Hall Balai Kota sehingga terdengar hingga halaman Balai Kota. Suara itu membuat suasana semarak. Lagu yang dibawakan oleh Group Rebana dan Qasidah dari SMA Muhammadiyah 1 Semarang adalah lagu-lagu selawat yang merdu. Lalu pada waktu jeda, tampillah anak-anak dari SD 8 Muhammadiyah dengan tari-tarian Nusantara, yang merangkum beberapa lagu dan tarian khas Indonesia.
Terkait musik selawat, diakui atau tidak setelah berakhirnya era nasyid tahun 1990-an, genre musik selawat menjadi tren musik Islami di Indonesia pada tahun 2000-an ini. Jika nasyid tahun 1990-an diramaikan dengan grup-grup Malaysia, seperti Saujana, Raihan, Anugerah, atau Nadamurni, maka tren selawat ini lebih diwarnai para musisi Indonesia sendiri. Lagu selawat yang dahulu identik dengan rebana, saat ini divariasi dengan elekton hingga sentuhan musik metal.
Genre musik selawat ini sebenarnya bukan barang baru, tetapi lebih merupakan revitalisasi dari trend musik lama. Syair “Sama Rasa Sama Rata” yang ditulis Mas Marcokartodikromo, tokoh Sarekat Islam Semarang tahun pada tahun 1918 dan diterbitkan pada koran Sinar Djawa, menunjukkan bahwa seni rebana berkembang di kalangan Sarekat Islam. Salah satu bait puisi itu mengatakan:
Doeloe kita soeka krontjongan,
Tetapi sekarang soeka terbangan,
Dalam S.I. Semarang jang aman,
Bergerak keras ebeng-ebengan.
Terbangan atau bermain rebana sejak lama erat kaitannya dengan musik Islami kalangan masyarakat muslim. Tradisi Pembacaan Maulid Diba dan Barzanji menjadi akar dari tren genre musik selawat. Kesenian ini terikat dengan praktik keagamaan di masyarakat.
Setelah sempat mengalami sentuhan musik dangdut lewat genre qasidah modern pada tahun 1980-an, maka genre musik selawat sempat tenggelam. Genre tersebut muncul kembali pada paruh akhir 1990-an dengan munculnya Hadad Alwi dan Sulis lewat label Cinta Rasul. Lalu disusul oleh Mayada, Wafiq Azizah dan lainnya hingga menjadi semarak pada saat ini.
Mempertanyakan Genre Musik Muhammadiyah
Muhammadiyah yang pada kelahirannya menekankan kepada semangat kembali ke Al-Quran dan Sunnah serta ilmu pengetahuan harus diakui cukup tertinggal dalam bidang kesenian. Semangat berseni di Muhammadiyah dipengaruhi oleh genre musik Islami yang sedang menjadi tren. Saat qasidah modern mengemuka, warga Muhammadiyah turut menikmati dan menyanyikannya. Saat genre nasyid berkembang, warga Muhammadiyah pun turut menikmatinya. Demikian pula saat genre selawat kembali berjaya, warga Muhammadiyah turut menyambutnya. Di sekolah atau Ma’had Muhammadiyah diajarkan kesenian rebana.
Prinsip Muhammadiyah dalam kesenian adalah keterbukaan untuk menikmati musik Islami. Tidak jarang semangatnya adalah ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Semangat tersebut berbanding terbalik dengan posisi Muhammadiyah sebagai first mover atau trendsetter dalam bidang pendidikan, kesehatan dan layanan sosial di kalangan masyarakat muslim. Genre musik Muhammadiyah jika bisa disimpulkan adalah genre musik Islami apa pun yang enak didengar dan sedang “ngetrend.” Warga Muhammadiyah merasa memiliki terhadap musik yang mewakili nilai Islam.
Namun, nasib sebagai penikmat dan pengikut tren musik Islami itu menyisakan satu pertanyaan: “apakah sumbangsih Muhammadiyah pada seni Islami?” Pertanyaan ini tidak bermaksud untuk mengabaikan perhatian sebagian kalangan warga Persyarikatan terhadap seni dan kebudayaan. Ada sekolah Muhammadiyah yang bahkan menjadikan kesenian sebagai muatan lokal dalam pendidikannya. Peringatan Milad Persyarikatan pun tidak jarang diramaikan dengan pagelaran wayang kulit.
Baca juga, Zakat Profesi Jangan Diingkari
Namun, hingga sekarang sulit untuk menemukan kontribusi Muhammadiyah terhadap kesenian, selain sebagai pihak yang menikmati atau menggunakan produk kesenian Islami yang populer di masyarakat. Bisa dikatakan bahwa genre musik Islami Muhammadiyah tidak bergenre atau tidak bermazhab. Berbeda dengan prinsip tidak bermazhab di Majelis Tarjih yang menjadi manhaj dengan perangkat konseptual jelas dan operasional, posisi tidak bergenre dalam musik Islami Muhammadiyah lebih disebabkan oleh perhatian yang relatif baru terhadap seni dan budaya di Muhammadiyah.
Lahirnya sastrawan besar Buya Hamka atau sederet arti yang berlatar Persyarikatan belum membentuk satu tren tersendiri. Dalam bidang seni dan budaya, Muhammadiyah relatif tertinggal dibanding gerakan Islam kampus yang lahir tahun 1970-an, yang berhasil mendorong lahirnya sastra Islami oleh Sahabat Pena dan genre musik nasyid. Semangat berkesenian di Muhammadiyah, meski secara praktik sudah lama karena dahulu Kiai Ahmad Dahlan mengajar muridnya dengan alat musik, namun sebagai satu kesadaran fungsi kesenian sebagai alat dakwah masih tertinggal.
Bibit Telah Tertabur
Rasa dan keindahan adalah akar dari kesenian. Dalam Islam, kesenian berkembang kuat di kalangan tasawuf dan masyarakat bawah yang kuat dipengaruhi budaya rasa. Genre selawat juga berkembang dari budaya rasa, yaitu rasa cinta dan pujian kepada Nabi Muhammad dan para orang saleh. Kesenian modern pun tidak lepas dari perhatian kepada cinta, kesedihan, kebahagiaan, dan pergulatan jiwa manusia.
Muhammadiyah awalnya berkembang dari budaya ilmu, akal, dan nash. Hal itu bisa dimaklumi karena ketika masyarakat muslim terlalu sarat budaya rasa, maka ilmu pengetahuan kurang berkembang. Dengan datangnya peradaban modern, umat Islam pada awal abad ke-20 masih tertinggal dibandingkan umat lain. Untuk mengejar ketertinggalan itu, pengenalan budaya ilmu yang rasional dan budaya nash yang kuat mampu mendorong perubahan.
Namun tahun 1980-an mulai menguat kembali kebutuhan kelas menengah dan kaum terdidik akan asah rasa dan penemuan jati diri melalui agama. Hal itu mendorong tumbuhnya gerakan Islam kampus dan sufisme perkotaan. Di tengah arah pembangunan nasional yang menekankan pada pembangunan ekonomi dan IPTEK, maka kaum menengah merindukan kehangatan dan keindahan rasa.
Kondisi itulah yang melatari adaptasi pendekatan Irfani, yaitu pendekatan rasa, sebagai satu pendekatan yang tidak terpisah dari pendekatan bayani (budaya nash) dan pendekatan burhani (budaya akal dan ilmu). Seiring dengan adaptasi pendekatan Irfani, Muhammadiyah juga mengakui kepentingan dakwah kultural sebagai sarana dakwah dan sebagai salah satu perwujudan budaya irfani.
Baca juga, Rahasia Kematian
Rumusan pendekatan Irfani dan budaya kultural adalah bibit paling nyata untuk pengakuan dan pengembangan seni-budaya di Muhammadiyah. Berbagai praktik kesenian, yang sebelumnya masih menimbulkan keraguan di kalangan warga Persyarikatan, semakin terbuka ditampilkan di kalangan warga. Kesenian semakin kuat diapresiasi, bahkan dalam perhelatan Muktamar Muhammadiyah pun diperkenalkan theme song.
Sudah barang tentu, bibit itu tidak bisa diharapkan berbuah cepat dalam waktu singkat. Namun sekali ditanam, bibit itu akan menemukan jalannya sendiri untuk berkembang dan berbuah sejalan dengan perkembangan kedewasaan berkesenian warga Muhammadiyah. Namun, bibit itulah yang akan turut menggembirakan hati warga untuk bergerak dan menarik hati umat untuk lebih bergembira dalam menyemarakkan dakwah.
Pertanyaan mengenai genre kesenian Muhammadiyah memang patut untuk mulai dikemukakan. Pertanyaan ini mungkin tidak akan terjawab dalam waktu singkat, tetapi mungkin pada saatnya akan menemukan jawaban. Jawaban itu akan menandai perubahan posisi Muhammadiyah sebagai penikmat dan pengikut menjadi trendsetter kesenian Islam.
*Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah
Editor : M Taufiq Ulinuha