Kolom

Menunggu Visi Kalender Islam Menteri Agama Nasaruddin Umar

Menunggu Visi Kalender Islam Menteri Agama Nasaruddin Umar

Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar (Dosen FAI UMSU, Kepala OIF UMSU, dan Anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah)

PWMJATENG.COM – Menteri Agama era Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka telah dipilih yaitu Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, seorang ulama dan cendekiawan yang dikenal memiliki wawasan keagamaan dan toleransi yang luas. Menteri Agama ini juga merupakan imam besar Masjid Istiqlal Jakarta yang dalam kajian-kajian keagamaannya dikenal sejuk dan kerap menekankan dimensi esoteris-spiritualis. Secara kecakapan dan kecukupan wawasan keagamaan dan keindonesiaan Menteri ini sudah lebih dari cukup.

Dalam kaitan penentuan awal bulan hijriah (kalender Islam) diketahui Kementerian Agama Republik Indonesia memiliki tugas fasilitator yaitu memberi panduan dan pengumuman masuknya awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, yang diformalisasi dengan mekanisme sidang isbat. Secara praktis, tugas Menteri Agama periode ini tak kalah rumit dari Menteri Agama sebelumnya, hanya saja Menteri Agama sebelumnya (Yaqut Cholil Qoumas) tampak tidak terlalu ambil pusing dengan dinamika dan perbedaan dalam penentuan awal bulan. Menteri Agama yang lalu lebih menekankan moderasi dan toleransi sehingga secara substansi tampak tidak memprioritaskan unifikasi, baik lokal, regional, apalagi global.

Namun karena semangat ‘kebablasan’ salah satu personal di bawahnya, dalam hal ini salah satu anggota Tim Hisab Rukyat (THR), menyebabkan dinamika penentuan awal bulan di Indonesia terutama tahun 1444 H/2023 M ‘gaduh’ dan bahkan ‘rusuh’ hingga masuk ranah hukum. Namun karena Kementerian Agama waktu itu tak memberi suara dan teguran tegas, atau boleh jadi sudah diingatkan secara personal namun tak dihiraukan, menyebabkan persoalan tersebut terus mengemuka tajam dan akhirnya sekali lagi masuk ranah hukum. Tanpa bermaksud mengungkit apa yang terjadi tahun 1444 H/2023 M itu, fenomena itu terjadi tidak sepenuhnya tanggung jawab seorang personal anggota THR itu, namun juga karena regulasi dan arahan yang tidak tegas dari Kementerian Agama, sebab sekali lagi fungsi Kementerian Agama adalah fasilitator dan mengakomodir semua pihak tanpa berpihak.

Karena itu dalam konteks ini patut ditunggu apa visi kalender Islam Menteri Agama kali ini, apakah fokus pada unifikasi lokal, regional, atau global, atau diluar tiga opsi itu yaitu memberikan kebebasan kepada umat untuk mengikuti apa yang diyakini tanpa negara (Kementerian Agama) memberi intervensi. Prioritas manapun yang akan dipilih Kementerian Agama yang dipimpin Menteri Agama Nasaruddin Umar sejatinya akan ada tantangan dan dinamikanya karena ini kekhasan Indonesia.

Secara konsep diketahui ada beberapa konsep kalender yang berkembang di Indonesia terutama oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Selain itu ada juga metode Persatuan Islam, Al-Jam’iyatul Washliyah, dan lain-lain. Selain itu tak bisa dipungkiri juga terdapat kelompok-kelompok di masyarakat yang memiliki metode penentuan awal bulan yang berbeda seperti jamaah-jamaah tarekat yang tersebar di Indonesia.

Selain itu praktik-praktik unik juga kerap muncul seperti fenomena pasang-surut air laut, fenomena menelepon Tuhan, dan lainnya. Semua ini fakta dan dinamika di Indonesia, yang secara regulasi juga seharusnya berada dalam regulasi Kementerian Agama, artinya tugas Kementerian Agama adalah untuk dan kepada semua, bukan untuk dan kepada satu kelompok saja. Karena itu sekali lagi tugas Menteri Agama dalam hal ini tidak sederhana, karena itu pula akan riskan manakala disederhanakan dengan menyorot satu kelompok (organisasi) saja.

Baca juga, Makmum Masbuk Shalat Jumat, Harus Ganti Zuhur atau Cukup Sempurnakan Kekurangannya?

Dalam konteks posisi Kemenag RI yang untuk semua, Kemenag RI patut melihat dan menelaah konsep baru Muhammadiyah yaitu Kalender Hijriah Global Tunggal atau KHGT. Keputusan ini telah dikaji cukup lama oleh Muhammadiyah dan tahun 1446 H/2024 M diputuskan untuk diterapkan. Bagaimanapun Muhammadiyah telah melangkah jauh yang tak mungkin surut lagi. Konsepsi KHGT ini dimaksudkan dan ditujukan bukan hanya untuk unifikasi Indonesia namun juga untuk dunia yang manakala telah diterima, entah kapan waktunya, tetap saja akan diasosiasikan berasal dari Indonesia karena Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan yang berasal dari Indonesia. Karena itu Kementerian Agama mesti bijak dan arif melihat sikap, pilihan, dan ijtihad Muhammadiyah ini. Pilihan Muhammadiyah ini didasari kajian syar’i dan sains yang kuat, secara hukum ketata-negaraan tidak ada yang dilanggar dan pilihan itu merupakan  hak demokrasi dan kebebasan berijtihad-berpendapat.

Soal Kemenag RI tidak atau belum menyetujuinya itu hal lain, namun cara berbeda dan tak menyetujuinya itu hal lain lagi. Satu abad lebih kiprah Muhammadiyah sudah amat terbiasa dikritik baik secara beradab atau tidak beradab, karena itu cara berbeda dan cara mengkritik patut dimoderasi oleh negara, dalam hal ini oleh Kementerian Agama.

Secara strategis, Indonesia sesungguhnya harus mengambil ijtihad kalender global, apa saja konsep-kriterianya, yang mana sesungguhnya ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar yaitu ikut dan berpartisipasi dalam ketertiban dunia, dalam hal ini terkait ketertiban sistem penjadwalan waktu. Pilihan KHGT Muhammadiyah sejatinya mengadopsi secara utuh Putusan Turki 1438 H/2016 M yang notabenenya berasal dari konsensus dunia, karena itu Kemenag RI tak perlu sungkan juga untuk melirik dan mengakomodir konsepsi global ini, sekali lagi demi dan untuk maslahat umat baik secara lokal maupun global.

Kembali kepada Menteri Agama Nasaruddin Umar, dalam jejak rekamnya Menteri ini ternyata pernah menjabat Wakil Menteri Agama (tahun 2011 M-2014 M) dan pernah mengeluarkan statemen yang cukup menuai kontroversi terkait penentuan awal bulan. Sang Menteri menyatakan bahwa kelompok yang tak sama atau tidak mengikuti keputusan pemerintah sebagai tidak taat ulil amri. Atas pernyataannya ini menimbulkan polemik yang pada akhirnya beliau meminta maaf. Ingatan publik atas pernyataan ini tentu tidak mudah dilupakan, yang karena itu patut diwanti-wanti bahwa sang mantan Wakil Menteri yang kini menjadi Menteri ini untuk hati-hati dalam bernarasi dan terutama dalam mengambil kebijakan.

Rekam jejak lain sang Menteri ini saat ini adalah ia tercatat sebagai salah satu pimpinan (Rais) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama masa khidmat 2022-2027 M, yang artinya beliau adalah ‘orang’ NU. Secara regulasi tugas pokok dan fungsi sebagai Menteri Agama tentu seorang Menteri tidak terikat kepada organisasinya, namun sebagai pribadi tentu setiap orang tidak lepas dari paradigma dan kultur yang melekat dalam dirinya. Semua itu nanti akan terlihat dari keputusan dan kebijakan yang dipilih dan ditetapkan, yang karena itu patut dilihat dan dinanti. Saya pribadi berprasangka baik bahwa beliau akan amanah, arif, dan akomodatif. Wawasan keilmuan dan kajian-kajian keagamaan nan sejuk yang beliau sampaikan sekali lagi menjadi diantara alasannya. Saya mendoakan beliau sehat dan senantiasa diberi kekuatan menjalankan amanah yang besar ini, amin.

Artikel telah diterbitkan oleh OIF UMSU di website oif.umsu.ac.id.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE