Kolom
Mensikapi Hoak di Tahun Politik
Penulis : Fathin Hammam Dhomiri
(PDM Kab Tegal dan Direktur Kajian LeNTera)
Saat ini kita sedang memasuki, yang sering disebut dengan istilah tahun politik, karena pada 17 April 2019 nanti akan digelar pesta demokrasi untuk memilih DPRD Kab/Kota, DRPD Propinsi, DPR RI, DPD dan Presiden & Wakil Presiden.
Pemilu adalah salah satu implementasi dari kedaulatan rakyat dan perwujudan demokrasi di Indonesia.
Pemilihan adalah hajat Pemerintah, dan dilaksanakan oleh:
1. KPU dan Jajarannya ( KPU Provinsi, KPU Kab/ Kota, PPK, PPS)
2. BAWASLU dan jajarannya, Bawasprov, Panwaslu Kab/ Kota, Panwascam dan PPL
Namun sekalipun Pemilu merupakan hajat pemerintah, namun untuk menyukseskan Pemilu 2019 mendatang, semua komponen harus turut bersinergi aktif , baik unsur penyelenggara, Parpol , Ormas, aparat TNI- Polri, media dan kita semua masyarakat umum.
Suasana , tahun politik menjelang 17 April 2019 ini terasa mulai menghangat dan cenderung memanas, maka peran para tokoh masyarakat, tokoh agama sangat diperlukan dalam rangka memberi pencerahan dan pendewasaan dalam mensikapi perbedaan pilihan politik. Jangan sampai hanya karena berbeda pilihan mengakibatkan persaudaraan menjadi rusak dan terganggu.
Persatuan dan ukhuwah kita saat ini benar benar sedang di uji terutama karena kita sedang memasuki era digital (internet of think), dimana
Data pada tahun 2017 menunjukan bahwa di Indonesia: Pengguna internet mencapai 132,7 juta atau 52% dari jumlah penduduk Indonesia.
Pemilik akun medsos aktif, 129,2 Juta.
Dan rata rata menghabiskan waktu sekitar 8 jam perhari untuk online.
Kemajuan teknologi komunikasi dan derasnya arus informasi, membuat kita menjadi “obesitas informasi”, kelebihan menerima informasi sekaligus kita sangat mudah menjadi produsen dan distributor informasi. Maka jangan sampai jempol kita lebih cepat dari otak, hendaknya saring sebelum di sharing.
Menyadari kompleksitas masalah dan akan efek negatif dari perkembangan teknologi informasi, pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 19 tahun 2016 sebagai pengganti UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menjerat mereka yang menyalahgunakan media informasi sebagai alat untuk menyebar kebohongan (hoax), menipu, menghasut, menfitnah dan melakukan ujaran kebencian.
Ada sisi positif yang bisa kita dapatkan jika kita mengikuti berbagai informasi dan postingan yang beredar di berberbagai media sosial.
Namun tak dapat dipungkiri bahwa selain informasi yang benar, tak sedikit pula yang beredar di tengah masyarakat mengandung unsur kepalsuan (hoax).
Dalam buku “Fikih Informasi” yang diterbitkan oleh Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, di jelaskan bahwa kasus hoax pertama terjadi pada Nabi Adam AS, beliau sendiri pernah terpapar informasi hoax berisi godaan dari Iblis agar Adam AS dan isterinya, Hawa, berkenan memakan buah khuldi.
Akibat paparan informasi yang hoax tersebut menjadi penyebab bagi Adam AS dan Hawa untuk pindah dari kehidupan di surga, yang memiliki berbagai fasilitas penuh kenikmatan, menuju kehidupan dunia yang serba kekurangan.
Pada era yang lebih belakangan, yakni masa Nabi Muhammad SAW, beliau juga pernah terpapar informasi hoax, yakni berkembangnya isu tentang dugaan perbuatan keji antara Aisyah (isteri Nabi) dengan seorang sahabat, Safwan bin Mu’attal.
Keduanya tertinggal dari rombongan, sebab Aisyah harus mencari kalungnya yang hilang di tengah padang pasir. Kondisi tersebut membuat Aisyah dan Safwan terlambat tiba di Madinah. Namun isu hoax tersebut dikoreksi langsung oleh al-Quran (QS. Al-Nur: 11-22).
Mengingat semakin derasnya arus informasi dalam kehidupan umat manusia saat ini, maka hendaknya kita selektif dan kritis dalam menanggapi berita-berita yang tersebar di sosial media.
maka ada beberapa tips yang dapat dijadikan pegangan dalam menyeleksi benar tidaknya sebuah informasi.
Hendaknya kita melakukan “Tabayyun”, langsung (direct clarification) kepada seseorang yang dikaitkan dengan isu negatif yang berkembang terkait diri orang tersebut. Al-Quran telah memperingatkan pentingnya tabayyun ini:
” Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS. al-Hujurat: 6).
Disamping itu hendaknya penerima informasi tidak langsung percaya pada sebuah materi atau sumber informasi yang diperoleh, tetapi harus membandingkannya terlebih dahulu dengan sumber informasi yang mainstream lainnya. Misalnya, membaca atau mendengar suatu berita, tidak cukup dari satu portal berita atau satu TV saja. Namun, jauh lebih baik membandingkan dengan portal atau TV lainnya
Di antara ciri berita hoax yang bisa kita lihat antara lain , menggunakan kata-kata yang bombastis, sarkastis, dan sejenisnya. Mengatasnamakan sebuah lembaga yang tidak resmi dan menyuruh kita untuk menviralkan.
Perlu di ketahui, aktivitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya (poin 11-20, lihat Fatwa MUI tentang Media Sosial, No. 24/2017).
Akhirnya, kita semua hendaknya ikut berperan dalam mengajak masyarakat untuk bijak dan cerdas dalam bermedsos, menjaga kedamaian dan partisipasi aktif memberikan hak suaranya dalam Pemilu 2019, besar harapan semoga pemilu akan sukses tanpa ekses.
Wassalam
Penulis Artikel : Fathin Hammam Dhomiri
(PDM Kab Tegal dan Direktur Kajian LeNTera)
Disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) Yang Diselenggarakan oleh Polres Tegal , Senin, 4 Maret 2019