Menjaga Eksistensi Keraton: Warisan Peradaban yang Tak Boleh Dilupakan

Menjaga Eksistensi Keraton: Warisan Peradaban yang Tak Boleh Dilupakan
Oleh : Rumini Zulfikar (Gus Zul) (Penasehat PRM Troketon, Anggota Bidang Syiar MPM PDM Klaten, Anggota Majelis MPI & HAM PCM Pedan)
PWMJATENG.COMย โย Bangsa Indonesia patut bersyukur dan berterima kasih kepada kerajaan-kerajaan (keraton) yang telah berjasa besar dalam perjalanan sejarah negeri ini. Kontribusi para sultan dan raja dalam membentuk jati diri bangsa tidak bisa dihapuskan begitu saja.
Indonesia adalah negara kepulauan yang membentang dari ujung Sumatra hingga Papua. Wajar jika di masa lalu, wilayah Nusantara dipenuhi oleh berbagai kerajaan besar, seperti Majapahit, Sriwijaya, Samudra Pasai, Demak, Banten, Cirebon, Kutai Kartanegara, Ternate, Tidore, dan lainnya. Setelah runtuhnya Kesultanan Demak Bintara, lahirlah dua kerajaan Islam besar yang masih eksis hingga kini, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat (berdiri tahun 1745) dengan raja pertamanya Sri Susuhunan Pakubuwono II, dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (berdiri tahun 1755) dengan raja pertamanya Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Keraton sebagai Pusat Peradaban
Keraton bukan sekadar bangunan fisik, melainkan pusat peradaban yang memainkan peran vital dalam urusan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Dalam pandangan masyarakat, titah raja atau sabda ratu menjadi pedoman hidup, sebab raja merupakan simbol pemimpin agama sekaligus pemimpin pemerintahan. Raja dipilih karena kemampuannya dalam ilmu agama dan kepemimpinan. Dalam budaya Jawa, raja dianggap sebagai sosok pinilih, yaitu orang terpilih.
Tiga Fungsi Utama Kraton
Pertama, kraton berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Dalam sejarahnya, kraton memiliki otoritas untuk mengatur urusan dalam negeri, membangun relasi politik, perdagangan, bahkan penyebaran agama Islam antarpulau dan antarbenua.
Kedua, kraton menjadi pusat kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, Kraton Surakarta pernah memiliki usaha seperti Pabrik Gula Manis Harjo dan berbagai lahan perkebunan, yang hasilnya digunakan untuk membiayai operasional kerajaan bahkan membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Baca juga, Menjadi Muslim Produktif di Era Rebahan: Mungkinkah?
Ketiga, kraton adalah pusat kebudayaan. Hal ini tampak dalam keberadaan Masjid Agung, alun-alun, pasar tradisional, seni tari, seni sastra, dan adat istiadat. Pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono VII, muncul pujangga besar Raden Ngabehi Ranggawarsita yang dikenal luas dan dimakamkan di Desa Palar, Trucuk, Klaten.
Perubahan Peran Pasca Kemerdekaan
Seiring berjalannya waktu, peran politik dan ekonomi kraton menyusut. Hanya Kraton Yogyakarta yang masih memiliki otoritas pemerintahan dalam bentuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sementara itu, status keistimewaan Kraton Surakarta belum diakui secara formal oleh negara. Kondisi ini diperparah oleh konflik internal yang belum menemukan titik temu hingga kini.
Kraton dan Perkembangan Islam
Peran kraton dalam menyebarkan dan melestarikan ajaran Islam tidak bisa diabaikan. Masjid Agung Surakarta dan Pondok Pesantren Jamsaren adalah bukti perhatian Sri Susuhunan Pakubuwono IV terhadap perkembangan agama. Beliau bahkan mendatangkan ulama dari Banyumas untuk memperkuat pendidikan Islam di wilayah keraton.
Hubungan kraton dengan Muhammadiyah juga terjalin erat. Sekolah Mambaโul Ulum yang berafiliasi dengan Muhammadiyah telah mencetak banyak tokoh Islam. Ketika Kongres Muhammadiyah digelar di Solo, Pakubuwono X memberikan kemudahan akses dan dukungan penuh. Beberapa tokoh Muhammadiyah seperti KH Tafsir (Ketua PWM Jateng) dan Sunanto (Ketua PP Muhammadiyah) bahkan dianugerahi gelar kebangsawanan dari kraton.
Merawat Warisan Leluhur
Sebagai masyarakat Indonesia, kita tidak boleh melupakan peran besar keraton. Memahami dan mempelajari sejarah bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi juga menjaga jati diri dan peradaban bangsa. Jika eksistensi keraton tidak dijaga, maka kita akan kehilangan akar budaya yang menjadi identitas bangsa.
Sudah saatnya membuka kembali lembaran sejarah, mendekatkan diri pada warisan leluhur, dan memperjuangkan agar keraton tetap menjadi pilar penting dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha