Menimbang Tuntunan Syariat dalam Manasik Haji: Muhammadiyah Tegaskan Pentingnya Pemurnian Ibadah
PWMJATENG.COM, Surakarta – Dalam sebuah kajian yang diselenggarakan oleh BPSDM UMS, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah, Yayuli, mengangkat isu krusial seputar pelaksanaan manasik haji. Ia menegaskan bahwa ibadah haji tidak boleh dilandaskan pada tradisi semata, melainkan harus sesuai dengan tuntunan syariat Islam yang sahih. Dalam pandangannya, praktik turun-temurun yang tidak berdasar dalil yang kuat perlu dikaji ulang, bahkan ditinggalkan jika terbukti menyimpang dari ajaran Nabi ﷺ.
“Tarjih Muhammadiyah berupaya membersihkan ibadah dari unsur bid’ah yang menyimpang,” tegas Yayuli. Pernyataan ini mencerminkan semangat tajdid atau pembaruan dalam beragama, yang menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah sejak awal berdirinya.
Kajian tersebut juga menyoroti peran vital para pembimbing haji. Yayuli mengingatkan bahwa pemahaman dangkal terhadap manasik dapat menyebabkan kekeliruan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, para pembimbing diharapkan membekali jamaah dengan pemahaman yang tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga substansial secara syar’i.
Dalam konteks ini, Yayuli merekomendasikan buku Manasik Haji dan Umrah yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid sebagai rujukan utama. Buku tersebut disusun berdasarkan pendekatan tarjih dan istinbath (penggalian hukum) yang mendalam. Ia menjelaskan bahwa buku ini bukan sekadar panduan teknis, melainkan juga sebagai upaya memberikan dasar keilmuan yang kuat bagi jamaah.
Yayuli mencontohkan beberapa praktik manasik yang biasa dilakukan masyarakat namun tidak memiliki dasar dari Nabi ﷺ. Salah satunya adalah ritual simbolik tambahan yang tidak dikenal dalam syariat, seperti pembacaan doa-doa tertentu yang tidak bersumber dari hadis sahih.
Baca juga, Dukung Pemerintah tapi Tetap Kritis! Muhammadiyah Tegaskan Sikap Politik di Tengah Dinamika Kebangsaan
Sesi diskusi yang berlangsung di akhir kajian pun memberikan ruang untuk pertanyaan kritis dari peserta. Kuswaji Dwi Priyono, seorang dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta, mempertanyakan posisi Muhammadiyah terkait pelaksanaan ibadah Tarwiyah, yakni bermalam di Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah, yang merupakan bagian dari sunnah Rasulullah ﷺ.
Kuswaji menyayangkan belum adanya langkah formal dari Muhammadiyah kepada pemerintah untuk mendorong fasilitas bagi jamaah yang ingin menjalankan Tarwiyah. Ia menilai bahwa pelaksanaan sunnah tersebut patut difasilitasi demi meneladani manasik Rasulullah ﷺ secara utuh.
Menanggapi hal itu, Yayuli menjelaskan bahwa Muhammadiyah secara tarjih memang menganjurkan pelaksanaan Tarwiyah. Namun, pihaknya juga mempertimbangkan aspek kemaslahatan. “Secara tarjih, Muhammadiyah tidak melarang Tarwiyah, bahkan menganjurkan jika mampu. Namun pemerintah memiliki pertimbangan logistik dan keamanan, terutama untuk menghindari kemacetan atau risiko lainnya,” ungkap Yayuli.
Ia menekankan bahwa pelaksanaan Tarwiyah bukanlah kewajiban, melainkan sunnah. Oleh karena itu, keputusan untuk melaksanakannya diserahkan kepada kebijakan pembimbing haji dan kesiapan jamaah. Dalam pandangan Yayuli, semangat menjalankan sunnah tidak boleh mengalahkan kewajiban atau menyebabkan mudarat.
“فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ”
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghābun: 16)
Mengutip ayat tersebut, Yayuli menyimpulkan bahwa prinsip kehati-hatian dan kemampuan fisik jamaah harus menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan manasik. Apalagi dalam ibadah haji, aspek keselamatan dan kelancaran menjadi bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah yang tidak boleh diabaikan.
Kontributor : Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha
