Tokoh

Menghidupkan Wakaf Muhammadiyah: Dari Aset Menganggur ke Amal Produktif

PWMJATENG.COM – Dalam sebuah tausiyah yang disampaikan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Zakiyuddin Baidhawy, tersirat panggilan kuat untuk mereformasi tata kelola wakaf di lingkungan Muhammadiyah. Di hadapan jamaah pengajian, ia menguraikan potensi besar wakaf yang hingga kini masih terpendam akibat lemahnya manajemen dan kurangnya profesionalisme dalam pengelolaannya.

Zakiyuddin mengawali penjelasannya dengan mencontohkan kemajuan pesat Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu). Ia mengingat kembali perjalanannya sebagai anggota Dewan Syariah Lazismu Pimpinan Pusat pada tahun 2015. Saat itu, jumlah Kantor Layanan Lazismu baru mencapai 157 unit. Namun dalam kurun waktu tujuh tahun, jumlahnya melonjak drastis menjadi lebih dari 850 kantor di seluruh Indonesia.

“Perkembangan Lazismu luar biasa karena dikelola secara profesional. Ada struktur eksekutif, pembina harian, dan sistem kerja yang jelas,” katanya.

Namun, hal itu belum terjadi pada Majelis Wakaf dan Kehartabendaan Muhammadiyah. Menurutnya, rata-rata majelis wakaf masih bekerja sambilan, tanpa dukungan struktur eksekutif yang permanen. Akibatnya, banyak tanah dan aset wakaf Muhammadiyah yang tidak termanfaatkan dengan optimal, bahkan ada yang dibiarkan mangkrak bertahun-tahun.

Ia menegaskan bahwa selama ini belum ada sistem yang mendukung wakaf menjadi kekuatan ekonomi umat. “Sewaktu pengajian di PP Muhammadiyah lima tahun lalu, saya sudah menyarankan agar Majelis Wakaf diberi wewenang mengangkat eksekutif sendiri sebagaimana Lazismu. Wakaf butuh manajemen profesional,” ujarnya.

Lebih lanjut, Zakiyuddin menjelaskan keunggulan wakaf dibanding zakat. Zakat, menurutnya, hanya mencakup 2,5 persen dari harta yang telah mencapai nisab dan haul. Sementara wakaf dapat mencakup hingga sepertiga dari total kekayaan seseorang, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW:

“إِذَا مَاتَ الإِنسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ…”

“Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Ia menekankan bahwa pembangunan sekolah, rumah sakit, bahkan pusat bisnis sekalipun, lebih tepat jika didanai melalui wakaf. Namun, sering kali umat masih terpaku pada model wakaf konvensional yang terlalu terikat, atau dikenal sebagai wakaf muqayyad, seperti tanah yang diwakafkan hanya boleh digunakan untuk membangun masjid atau madrasah.

“Kalau bisa, bentuk ikrar wakafnya dibuat umum saja, misalnya untuk ‘amal usaha Muhammadiyah’. Dengan begitu, tanah itu bisa dipakai untuk bangun sekolah, toko, bahkan SPBU atau mal. Ini memudahkan nazhir untuk mengelola dan memproduktifkan aset wakaf,” jelasnya.

Baca juga, Tak Sekadar Organisasi, Muhammadiyah Adalah Paham Agama yang Memberikan Tuntunan bagi Umat Islam

Menurutnya, praktik semacam itu sudah dilakukan di negara lain. Ia mencontohkan Universitas Fatoni di Patani, Thailand Selatan. Universitas tersebut bekerja sama dengan lembaga filantropi Malaysia, Unity Group, untuk membangun mal besar bernama ASEAN Mall di atas tanah wakaf milik kampus. Selama 30 tahun, universitas mendapatkan 15 persen keuntungan, dan setelah itu seluruh properti menjadi milik penuh universitas.

“Kita ini kalah sama Thailand Selatan. Mereka bisa kelola wakaf menjadi sumber pendapatan berkelanjutan. Kita? Tanah wakaf dibiarkan nganggur. Kalau begitu, apakah masih bisa disebut sebagai ṣadaqah jāriyah?” tanyanya retoris.

Ia menyoroti keterbatasan kapasitas para nazhir—pengelola wakaf—yang sering kali tidak memiliki keahlian manajerial atau akses terhadap mitra strategis. Akibatnya, wakaf yang sejatinya menjadi amal berkelanjutan berubah menjadi aset mati. Padahal, menurutnya, wakaf adalah ibadah yang harus produktif.

“Saya kurang setuju dengan istilah ‘wakaf produktif’. Wakaf memang seharusnya produktif. Kalau tidak produktif, ya bukan wakaf yang benar,” tegasnya.

Ia mengutip kembali prinsip dasar wakaf dalam syariat Islam, bahwa harta pokok (ashlul māl) tidak boleh berkurang, tetapi hasil dari pengelolaan harta tersebut boleh dan harus disalurkan demi kemaslahatan umat:

“احْبِسِ الأَصْلَ وَسَبِّلِ الثَّمَرَةَ”

“Tahan pokoknya dan manfaatkan hasilnya.” (HR. al-Bukhari)

Melalui tausiyahnya, Zakiyuddin menekankan pentingnya pendidikan sejarah wakaf dalam peradaban Islam. Di masa lalu, wakaf telah digunakan untuk membangun pasar, rumah sakit, bahkan toilet umum yang menjadi solusi bagi masyarakat. Ia menyayangkan jika saat ini semangat dan kreativitas dalam memproduktifkan wakaf itu justru redup.

“Pernahkah kita mendengar ada orang yang wakaf untuk bangun toilet umum? Padahal, itu pun berpahala besar karena menjaga kebersihan dan menutup aurat,” katanya.

Menutup tausiyahnya, Zakiyuddin mengajak warga Muhammadiyah untuk kembali mereformasi semangat wakaf dengan manajemen yang modern dan profesional. Menurutnya, jika Muhammadiyah ingin terus berkontribusi bagi peradaban, maka wakaf harus menjadi motor utama pembangunan amal usaha.

“Kalau kita serius, wakaf bisa menjadi kekuatan ekonomi umat. Tapi kuncinya ada di manajemen. Tanpa itu, wakaf hanya jadi batu mati,” pungkasnya.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE