Menakar Ulang Arah Pendidikan: Refleksi Konsep Pendidikan Muhammadiyah di Era Disrupsi

PWMJATENG.COM – Di tengah derasnya arus globalisasi dan Revolusi Industri 4.0, bahkan kini menginjak era 5.0, dunia pendidikan mengalami pergeseran paradigma yang signifikan. Pendidikan tak lagi sekadar ruang transformasi nilai, melainkan lebih condong pada pencapaian kognitif dan keterampilan pragmatis. Hal ini disoroti secara tajam oleh Sofyan Anif, Bendahara Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, dalam sebuah ceramah reflektifnya.
Menurut Sofyan, awal mula pendidikan memiliki misi mulia sebagai proses transformasi nilai. Pendidikan bukan sekadar mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), melainkan membentuk karakter dan nilai-nilai luhur yang bersumber dari agama, budaya, maupun adat istiadat masyarakat. “Dulu, konsep pendidikan selalu menekankan nilai sebagai fondasi. Namun kini, kita melihat pergeseran yang sangat nyata,” ujarnya.
Sofyan mencermati, sejak era globalisasi dan kebutuhan pasar kerja modern, pendidikan banyak diarahkan pada tujuan-tujuan pragmatis. Fokusnya hanya pada transfer of knowledge dan penguatan skill. Sekolah dinilai unggul jika menghasilkan lulusan dengan nilai tinggi, sementara aspek spiritual dan moral cenderung diabaikan. “Mindset ini membuat pendidikan menjadi bias. Ukuran favorit sekolah hanya dilihat dari nilai ujian semata,” tambahnya.
Padahal, jika menilik sejarah, Muhammadiyah sejak awal telah menawarkan paradigma pendidikan yang holistik. Kyai Haji Ahmad Dahlan, bahkan sebelum Muhammadiyah resmi berdiri pada 1912, telah mendirikan sekolah dengan misi yang mencakup empat kekuatan: intellectual quotient (IQ), spiritual quotient (SQ), social quotient (SoQ), dan emotional quotient (EQ).
Muhammadiyah, kata Sofyan, dengan konsisten mengembangkan pendidikan berbasis nilai ini sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. “Empat ranah ini merupakan basis dari pendidikan Muhammadiyah. Lulusan harus memiliki keunggulan intelektual, spiritualitas yang kuat, kepedulian sosial, dan kedewasaan emosional,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa jika pendidikan hanya mencetak individu cerdas secara akademik tanpa dibekali spiritualitas dan integritas, maka dampaknya bisa merusak. Ia mencontohkan, banyak koruptor berasal dari perguruan tinggi ternama, bergelar tinggi, bahkan cumlaude. Namun, karena tidak memiliki basis nilai yang kokoh, keilmuan mereka justru dimanfaatkan untuk menyalahgunakan wewenang.
Baca juga, Menemukan Uang di Jalan: Boleh Dipakai atau Wajib Dikembalikan?
Sofyan menyatakan, “Kepandaian yang tidak dibarengi dengan iman dan akhlak bisa berujung pada kehancuran moral.” Oleh karena itu, Muhammadiyah berupaya membangun sistem pendidikan yang seimbang antara dunia dan akhirat, antara materi dan ruhani.
Hal ini ditegaskan pula melalui tambahan predikat pada lembaga pendidikan Muhammadiyah seperti “PK” (Pendidikan Karakter) pada SMP, SMA, dan Madrasah Aliyah. Tambahan ini bukan sekadar label, melainkan sebuah komitmen terhadap konsep pendidikan holistik yang mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal. Sofyan melihat hasilnya mulai tampak, di mana sekolah-sekolah PK Muhammadiyah mampu mencetak prestasi yang tidak hanya akademis tetapi juga moral dan sosial.
Ia menegaskan pentingnya kembali ke paradigma pendidikan Islam yang seimbang sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur’an:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)
Ayat ini, kata Sofyan, mencerminkan keseimbangan yang menjadi prinsip utama pendidikan Muhammadiyah. Dunia dan akhirat harus berjalan seiring. Ilmu dan akhlak harus tumbuh beriringan.
Dalam konteks ini, Sofyan juga mengaitkannya dengan bulan Ramadan yang disebut para ulama sebagai Syahrut Tarbiyah (bulan pendidikan). Ramadan menjadi momen paling tepat untuk kembali meneguhkan ruh pendidikan yang sesungguhnya: mendidik jiwa, menahan diri, membangun karakter, dan memperkuat nilai-nilai spiritual dalam kehidupan.
Ia menuturkan bahwa puasa Ramadan tidak hanya menahan lapar, tetapi juga melatih kedisiplinan, kejujuran, empati sosial, dan kesabaran. “Inilah bentuk pendidikan sejati. Pendidikan yang membentuk manusia utuh, bukan sekadar pintar, tapi juga saleh dan berakhlak,” ucapnya.
Sofyan menutup ceramahnya dengan ajakan agar seluruh institusi pendidikan, khususnya Muhammadiyah, kembali menata arah pendidikan. “Pendidikan bukan hanya soal angka, tetapi soal makna. Bukan hanya soal kerja, tapi soal hidup. Maka kembalilah kepada ruh pendidikan sebagaimana diajarkan Rasulullah dan diteruskan oleh para pendiri Muhammadiyah,” tegasnya.
Kontributor : Aisyah
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha