
PWMJATENG.COM – Bulan Ramadan tidak sekadar momentum ibadah, tetapi juga kesempatan bagi umat Islam untuk membangun kembali peradaban yang berbasis spiritualitas, etika, dan ilmu pengetahuan. Dalam program Teras Ramadan, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, menyoroti pentingnya menjadikan Ramadan sebagai fondasi spiritual bagi umat Islam dalam membangun peradaban yang maju.
Menurutnya, dalam sejarah peradaban dunia, spiritualitas selalu menjadi pilar utama yang melahirkan etika. Dari etika tersebut, berkembang pula estetika, yang pada akhirnya berujung pada kemajuan teknologi. Teknologi, meskipun berada di lapisan terluar peradaban, memainkan peran penting dalam memberikan dampak besar bagi dunia. Oleh karena itu, Ramadan harus dijadikan momen untuk memperkuat spiritualitas yang kemudian bertransformasi menjadi etika dan etos kerja dalam membangun peradaban.
Saat ini, peradaban Islam menghadapi tantangan besar di berbagai bidang. Dalam ranah ilmu pengetahuan, umat Islam masih tertinggal dibandingkan peradaban lain. Di bidang olahraga, misalnya, jumlah negara Islam yang mampu meraih medali dalam Olimpiade masih sangat sedikit. Dalam ajang sepak bola, negara-negara Muslim bisa menjadi tuan rumah, seperti Qatar dalam Piala Dunia 2022, tetapi gelar juara tetap didominasi oleh negara-negara dari Amerika Latin dan Eropa, yang peradabannya berakar pada tradisi Yudeo-Kristiani.
Dalam bidang ekonomi, umat Islam juga masih tertinggal. Bahkan, dalam bidang militer, negara-negara Islam tampak lemah dalam menghadapi konflik global, seperti yang terjadi di Palestina. Abduh Hisyam menilai bahwa negara-negara Muslim belum memiliki keberanian dan kekuatan untuk membela sesama Muslim yang tertindas. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif untuk menjadikan Ramadan sebagai titik balik dalam membangun peradaban Islam yang lebih maju dan berdaya saing.
Dalam sejarah peradaban, spiritualitas sering kali menjadi pemicu lahirnya etos keilmuan. Peradaban Mesir Kuno, misalnya, berkembang pesat karena keyakinan spiritual mereka. Kepercayaan bahwa jenazah yang diawetkan akan memudahkan roh untuk kembali ke tubuhnya melahirkan etos keilmuan dalam bidang kimia dan arsitektur. Akibatnya, mereka berhasil membangun piramida yang megah dan mengembangkan teknik pengawetan jenazah melalui ilmu kimia.
Pelajaran ini seharusnya menjadi refleksi bagi umat Islam. Dalam ajaran Islam, konsep thaharah (mensucikan diri) sebelum salat mengajarkan pentingnya kebersihan. Jika nilai-nilai ini diinternalisasi dengan baik, seharusnya umat Islam menjadi komunitas yang paling bersih, baik dalam lingkungan pribadi maupun sosial. Namun, realitasnya masih banyak lingkungan berlabel Islam yang tidak mencerminkan nilai kebersihan, seperti sekolah-sekolah Islam dan toilet masjid yang kurang terawat.
Salah satu nilai penting dalam Islam yang perlu dikuatkan adalah konsep ihsan, yaitu beribadah kepada Allah dengan penuh kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Baca juga, Gelar Pesantren Digital, MPI PWM Jateng Hadirkan Produser TVMu dan Komisioner KPID, Ini Pesan Mereka!
Hadis ini menunjukkan bahwa puasa adalah ibadah yang bersifat personal, di mana hanya pelaku dan Allah yang mengetahuinya. Jika seseorang berpuasa tanpa ada yang mengawasi, berarti ia benar-benar melakukannya semata-mata untuk Allah. Inilah bentuk ihsan, yaitu kejujuran dalam beribadah tanpa mengharapkan pujian dari manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari, ihsan juga berarti menjaga etika dan kejujuran dalam segala aspek, meskipun tidak ada yang mengawasi. Seperti saat di perempatan jalan yang sepi, seorang Muslim tetap harus berhenti saat lampu merah menyala, meskipun tidak ada polisi. Kepatuhan terhadap aturan lalu lintas adalah bagian dari ihsan yang mencerminkan kedisiplinan dalam kehidupan bermasyarakat.
Ramadan juga dikenal sebagai bulan turunnya Al-Qur’an. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 185, Allah berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan batil).” (QS. Al-Baqarah: 185)
Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama ilmu pengetahuan dan petunjuk bagi umat manusia. Kata pertama yang diturunkan dalam Al-Qur’an adalah اقْرَأْ (Iqra’) yang berarti “bacalah.” Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menekankan pentingnya literasi dan pencarian ilmu.
Sayangnya, umat Islam saat ini masih tertinggal dalam budaya membaca dan literasi. Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, khususnya era Khalifah Al-Ma’mun, Islam mengalami puncak keemasan dalam ilmu pengetahuan. Saat itu, banyak buku dari Yunani dan India diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga literatur keislaman menjadi sangat kaya.
Di bulan Ramadan ini, semangat literasi seharusnya tidak hanya sebatas membaca Al-Qur’an dalam jumlah banyak (tahfiz), tetapi juga memahami maknanya (tafhim). Lebih dari itu, umat Islam harus membiasakan diri membaca literatur lain yang dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan wawasan, sebagaimana yang dilakukan oleh para ilmuwan Muslim di masa lalu.
Bulan Ramadan seharusnya menjadi momentum bagi umat Islam untuk memperbaiki diri dan membangun kembali peradaban yang kuat. Hal ini dapat dilakukan dengan tiga pilar utama:
- Memperkuat Spiritualitas – Ibadah di bulan Ramadan harus dijadikan sebagai landasan spiritual dalam membentuk karakter Muslim yang berakhlak mulia.
- Menjaga Etika dan Ihsan – Kejujuran dan kedisiplinan harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, baik dalam ibadah maupun interaksi sosial.
- Meningkatkan Literasi dan Keilmuan – Membudayakan membaca dan memahami ilmu pengetahuan sebagai kunci membangun peradaban Islam yang maju.
Dengan ketiga pilar ini, umat Islam tidak hanya menjadi lebih baik secara individu, tetapi juga mampu memberikan kontribusi nyata dalam membangun peradaban yang berdaya saing di kancah global. Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga bulan refleksi dan transformasi menuju peradaban Islam yang lebih maju.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha