Makna Mendirikan Salat: Antara Rutinitas dan Transformasi Diri

PWMJATENG.COM – Dalam satu sesi pengajian di hadapan jamaah Muhammadiyah Jawa Tengah, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Jumari, menyampaikan pesan reflektif yang menggugah kesadaran spiritual: sudahkah salat yang kita lakukan memberi dampak nyata dalam kehidupan sehari-hari?
Jumari membedakan antara melaksanakan shalat dan mendirikan salat. Ia mengatakan, banyak orang menunaikan salat secara fisik dan ritual, bahkan dengan tata cara (kaifiah) yang sempurna, tetapi tidak semua dari mereka mengalami perubahan kepribadian yang signifikan. Padahal, menurutnya, seseorang yang benar-benar mendirikan salat adalah mereka yang menunjukkan transformasi dalam sikap, karakter, dan orientasi hidupnya.
Untuk mengukur apakah seseorang sudah termasuk golongan yang mendirikan salat, Jumari mengemukakan tiga indikator utama. Pertama, adalah senantiasa ingat kepada Allah—baik di dalam maupun di luar salat. Ia merujuk firman Allah dalam surah Ṭāhā ayat 14:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Ṭāhā: 14)
Menurutnya, mengingat Allah (dzikrullah) tidak berhenti ketika bacaan salat selesai. Justru, tanda utama orang yang mendirikan salat adalah hidupnya selalu berada dalam kesadaran ilahiah. Hal ini tercermin dari sikap hati-hati dalam bertindak karena merasa diawasi oleh Allah yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lengah. “Kalau diawasi pimpinan saja kita tidak berani ceroboh, apalagi ini Allah langsung yang mengawasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, orang yang selalu mengingat Allah juga menunjukkan kepercayaan diri yang kuat. Ia yakin bahwa dalam setiap persoalan hidup, ia memiliki sandaran yang Maha Kuat—yaitu Allah. “Bukan karena punya kenalan di pusat, tapi karena punya dekengan Gusti Allah,” katanya.
Indikator lain dari ingat kepada Allah adalah kerendahan hati. Orang yang senantiasa sadar akan peran Allah dalam setiap keberhasilan tidak akan pernah menyombongkan diri. “Tidak mungkin ada keberhasilan tanpa izin Allah,” tutur Jumari.
Indikator kedua dari orang yang mendirikan shalat adalah menjauhi maksiat. Hal ini merujuk pada firman Allah:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt: 45)
Jumari menegaskan bahwa salat lima waktu yang dilakukan dengan penuh penghayatan akan menjadi benteng moral yang kokoh. Bahkan ketika muncul godaan untuk berbuat dosa, ingatan terhadap shalat terakhir yang baru saja dilakukan akan menahan diri dari pelanggaran. “Kalau masih nekad maksiat padahal rajin salat, itu artinya kita ‘ampuh’ di hadapan Allah, dalam arti negatif,” ujarnya.
Baca juga, Menghidupkan Wakaf Muhammadiyah: Dari Aset Menganggur ke Amal Produktif
Indikator ketiga adalah tidak kikir dan tidak pelit terhadap rezeki yang dimiliki. Dalam hal ini, Jumari mengutip ayat Al-Qur’an dari surah Al-Ma’ārij:
إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا، إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا، وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا، إِلَّا الْمُصَلِّينَ
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah. Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan, ia kikir. Kecuali orang-orang yang mendirikan shalat.” (QS. Al-Ma’ārij: 19–22)
Dari ayat ini, ia menjelaskan bahwa orang yang mendirikan salat tidak akan menjadi pribadi yang medit atau enggan berbagi. Sebaliknya, mereka akan menjadi dermawan dan terbuka dalam menyalurkan hartanya kepada yang membutuhkan.
Lebih lanjut, Jumari menyambungkan makna mendirikan shalat dengan ayat lain:
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
“Dan dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka, mereka infakkan.” (QS. Al-Baqarah: 3)
Ia menekankan bahwa rezeki bukan hanya berupa materi yang diperoleh dari usaha, tetapi juga mencakup segala karunia Allah, baik lahir maupun batin. Rezeki yang sejati, kata Jumari, adalah rezeki yang ngerejekeni—yaitu memberikan manfaat bagi sesama dan tidak hanya berhenti pada satu titik.
Menurutnya, rezeki yang berputar akan mendatangkan keberkahan dan menjadikan anugerah Allah tersebar luas. Bentuknya bisa berupa utang piutang yang produktif, sedekah, zakat, hadiah, dan pemberdayaan ekonomi lainnya. Sebaliknya, jika seseorang menutup perputaran rezeki—misalnya dengan sengaja tidak membayar utang atau menahan harta untuk kepentingan pribadi—maka itu bertentangan dengan nilai-nilai Qurani. “Kalau rezeki kita mandek, tidak mengalir, berarti tidak sesuai dengan kehendak Allah,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan bahwa anak dan istri juga termasuk rezeki. Oleh karena itu, mereka harus diberi ruang untuk berkembang agar keberadaannya memberi manfaat, tidak hanya bagi keluarga tetapi juga untuk masyarakat luas.
Akhirnya, Jumari mengingatkan bahwa semua indikator tersebut hanya mungkin diwujudkan jika seseorang memiliki iman kepada yang gaib. Iman ini menjadi dasar dari mendirikan shalat yang benar, yang pada gilirannya membentuk karakter sosial dan spiritual yang unggul.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha