
PWMJATENG.COM, Surakarta – Keanekaragaman budaya tidak sekadar menjadi kekayaan bangsa, tetapi juga jembatan untuk membangun perdamaian. Hal ini dirasakan langsung oleh Abdulrohim E-Sor, mahasiswa asal Thailand yang kini menempuh pendidikan Magister Pendidikan Bahasa Indonesia (MPBI) di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Dalam momentum peringatan World Day for Cultural Diversity for Dialogue and Development atau Hari Keanekaragaman Budaya Sedunia untuk Dialog dan Pembangunan, Rohim—sapaan akrabnya—berbagi cerita tentang bagaimana keberagaman budaya membentuk pemahaman dan toleransi lintas bangsa.
“Saya merasa banyak sekali perbedaan ketika pertama kali datang ke Solo. Bahasa, makanan, dan kebiasaan harian semuanya berbeda dari Thailand,” ujar Rohim, Rabu (21/5).
Namun, alih-alih merasa kesulitan, pria yang gemar mempelajari budaya ini justru menjadikan perbedaan itu sebagai tantangan yang menyenangkan. Dengan mengikuti program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di UMS, ia berhasil beradaptasi dengan cepat, baik dalam hal bahasa maupun kebudayaan lokal.
Program BIPA tidak hanya membantunya memahami struktur bahasa Indonesia, tetapi juga membawanya pada berbagai kegiatan budaya. “Warga Solo sangat ramah. Itu membuat saya merasa diterima dan nyaman tinggal di sini,” tambahnya.
Meski begitu, Rohim tidak memungkiri bahwa ia sempat mengalami kesulitan, terutama dalam menerima makanan Indonesia yang cenderung manis. “Awalnya saya bingung, kok semua makanan manis? Tapi kalau tidak makan, ya lapar. Lama-lama jadi terbiasa juga,” ujarnya sambil tersenyum.
Baca juga, Menjadi Pribadi Mulia: Jalan Menuju Jamal, Kamal, dan Jalal dalam Perspektif Islam
Tantangan lainnya datang dari perbedaan antara bahasa Indonesia formal yang diajarkan di kelas dan bahasa yang digunakan dalam keseharian. Bahkan, ia juga sempat kesulitan dengan bahasa daerah seperti Jawa. Meski demikian, kini ia sudah hafal beberapa kosakata Jawa seperti sampun, monggo, matur nuwun, dan leres.

Kecintaannya terhadap budaya membuat Rohim aktif mengikuti berbagai kegiatan budaya di kampus. Baru-baru ini, ia ikut menari tarian tradisional Indonesia bersama mahasiswa internasional lainnya dari Pakistan, Mesir, Malaysia, Laos, dan negara-negara lain. Dalam pertunjukan tersebut, para mahasiswa mengenakan pakaian tradisional seperti surjan dan jarik untuk pria, serta kebaya untuk wanita.
“Latihannya hanya sekali, lalu kami langsung tampil. Tapi itu pengalaman luar biasa,” jelasnya.
Tak hanya menyerap budaya Indonesia, Rohim juga aktif mengenalkan budaya Thailand kepada teman-teman kampusnya. Ia sering menceritakan kuliner khas seperti tom yam dan pad thai, serta festival Songkran—perayaan tahun baru tradisional di negaranya. Ia juga kadang diminta menuliskan nama teman-temannya dalam tulisan Thailand.
“Menurut saya, saling berbagi budaya itu penting agar kita saling memahami dan menghargai perbedaan,” ungkapnya.
Baginya, tinggal di Indonesia bukan berarti harus meninggalkan identitas budaya asal. Ia bahkan menyebut ajang International Cultural Academy Competition (ICAC) yang diselenggarakan UMS sebagai contoh wadah tepat untuk pertukaran budaya antarbangsa.
Kontributor : Maysali
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha