BeritaKolom

Lemahnya Kaderisasi Ulama

Lemahnya Kaderisasi Ulama

Oleh : Gus Zuhron Arrofi*

PWMJATENG.COM – Rasanya tidak perlu merasa rendah diri kalau harus mengakui bahwa produsen ulama dalam Muhammadiyah mengalami minus yang agak serius. Ulama dalam konteks ini dimaknai sebagai orang yang memiliki keluasan ilmu di bidang fiqih, usul fiqih, tafsir Al Qur’an, paham ilmu hadis,  Bahasa Arab, kalam, sejarah, menguasai sumber-sumber primer tanpa meninggalkan corak pemikiran dan keberagamaan ala Muhammadiyah. Di luar konteks itu Muhammadiyah cukup memanen banyak hal dan patut dibanggakan. Ribuan guru, dokter, perawat, ahli farmasi, teknokrat, ekonom setiap tahun diproduksi oleh mesin pendidikan Muhammadiyah.

Muhammadiyah tampak jauh tertinggal bila dibandingkan dengan NU yang memiliki stok ulama berlimpah dan berdiaspora dalam banyak sektor kehidupan. Santri menjadi ikon yang sangat melekat pada kaum sarungan ini. Bahkan pasca reformasi NU berhasil mentransformasikan gerakan kultural sarungan yang semula dianggap ndeso, bodoh dan miskin menjadi gerakan yang mampu memerankan dan menjadi kunci pada wilayah-wilayah strategis keumatan dan kebangsaan. Ada politisi santri, birokrat santri, pejabat santri, pengusaha santri, seniman santri, musisi santri, olahragawan santri, budayawan santri dan tentu saja santri yang sangat piawai dalam meracik  dinamika dakwah untuk pencerahan ummat. NU mempunyai ribuan pesantren sebagai lumbung kaderisasi dan ideologisasi.

Baca juga, Hisab: 1 Ramadan 1445 H Jatuh pada 11 Maret 2024, 1 Syawal Jatuh pada 10 April 2024

Bagaimana dengan Muhammadiyah.?  Tampaknya sampai detik ini Muhammadiyah belum mempunyai mesin produksi ulama yang efektif dan efisien. Untuk sementara yang dianggap ikonik hanyalah Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) yang jumlahnya sangat terbatas dan peminatnya cukup memprihatinkan. Lahirnya pesantren baru (termasuk MBS) kebanyakan tidak bervisi sebagai kawah condrodimuko untuk menghasilkan para ulama andal, melainkan mengikuti tren pasar yang sedang booming.

Pesantren yang menawarkan hafalan Al Qur’an berkembang bak jamur di musim penghujan. Bukankah tren semacam ini  (bukan berarti tidak baik dan mulia) sebagai bentuk kemunduran tradisi intelektual dalam Muhammadiyah. Bukan gaya Muhammadiyah berlomba memperbanyak hafalan. Genuinitas gerakan ini dibangun oleh pendirinya dengan paradigma sedikit hafalan, memperdalam pemahaman dan memperbanyak amal salih (baca sejarah pengajaran Al Ma’un dan Al Ashr).

Baca juga, Memahami Kaidah Ushuliyah

Lebih miris lagi sebagian ulama-ulama muda yang muncul dalam Muhammadiyah biasanya karena lulusan Timur Tengah yang basis keilmuan dan ideologinya kuat pada kelompok salaf. Mereka bergabung dengan Muhammadiyah karena dapat pekerjaan di Muhammadiyah atau secara kebetulan sama-sama tidak yasinan dan tahlilan. Tetapi paradigma berpikir dan jiwa gerakannya sama sekali bukan Muhammadiyah. Oleh karenanya kita sering menjumpai para sarjana itu justru mengantitesa paham keagamaan Muhammadiyah yang selama ini sudah mainstream. Hal ini terkadang berimbas pada rusaknya tatanan jamaah yang sudah mapan.

Agaknya tidak berlebihan jika persoalan yang satu ini sudah harus menjadi prioritas utama. Produksi ulama yang mumpuni wajib menjadi agenda strategi gerakan agar marwah Persyarikatan terus terjaga. Ulama yang menguasai segala lini keilmuan keagamaan, piawai dalam mendialogkan kepada umat dan tidak kehilangan cita rasa keagamaan ala Muhammadiyah yang rasional, progresif dan spiritual.

*Cendekiawan Muslim, Sekretaris MPKSI PWM Jawa Tengah

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE