Krisis Identitas Muslim Urban: Antara Tradisi, Modernitas, dan Spiritualitas

PWMJATENG.COM – Fenomena krisis identitas kian mencolok di kalangan Muslim urban. Di tengah arus globalisasi, modernitas, dan derasnya perkembangan teknologi, banyak Muslim perkotaan yang mengalami kegamangan dalam menyeimbangkan nilai-nilai tradisi, tuntutan modernitas, dan kebutuhan spiritualitas. Kondisi ini bukan sekadar persoalan gaya hidup, melainkan persoalan eksistensial yang menyentuh akar keimanan dan cara pandang terhadap kehidupan.
Muslim urban hidup dalam lingkungan yang serba cepat, kompetitif, dan pragmatis. Nilai-nilai tradisional yang dahulu menjadi rujukan moral dan spiritual perlahan tergeser oleh standar-standar baru yang dibentuk oleh kapitalisme dan sekularisme. Akibatnya, banyak Muslim mengalami kebingungan identitas: antara menjadi modern dan tetap Islami, antara menjaga akar tradisi dan menjawab tantangan zaman.
Krisis ini diperparah dengan minimnya pemahaman agama yang mendalam. Banyak Muslim yang mengenal Islam sebatas ritual, tetapi kehilangan makna spiritual yang seharusnya menghidupkan ibadah. Masjid hanya menjadi tempat formal untuk salat Jumat, bukan pusat penguatan iman dan ilmu. Di sisi lain, kehidupan modern menuntut produktivitas dan efisiensi, sehingga nilai-nilai kontemplatif dalam Islam seperti tafakur, dzikir, dan muraqabah mulai terpinggirkan.
Padahal, Islam sejatinya adalah agama yang seimbang antara dunia dan akhirat, antara jasmani dan ruhani. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَـٰكُمْ أُمَّةًۭ وَسَطًۭا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan.”
(QS. Al-Baqarah: 143)
Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam diposisikan sebagai ummatan wasathan—umat yang moderat, tidak ekstrim ke kanan atau ke kiri, dan mampu menjadi penengah antara dua kutub ekstrem. Inilah fondasi teologis yang seharusnya menjadi pegangan dalam menyikapi tantangan zaman.
Baca juga, Tanggung Jawab Ilmuwan dalam Islam: Mengamati Alam Semesta sebagai Bentuk Ibadah
Namun, jalan menuju keseimbangan itu memerlukan kesadaran kolektif. Muslim urban perlu menghidupkan kembali tradisi keilmuan dan spiritualitas. Majelis taklim, halaqah, kajian rutin, dan komunitas keislaman di tengah kota harus dihidupkan kembali sebagai ruang pembentukan identitas. Di sana, nilai-nilai tradisi dapat diwariskan dan nilai-nilai modern dapat dikaji secara kritis dalam bingkai keislaman.
Selain itu, Muslim urban juga perlu menanamkan kembali kesadaran spiritual sebagai fondasi hidup. Bukan sekadar menjalankan rutinitas ibadah, tetapi meresapi makna dari setiap gerak dan doa. Rasulullah ﷺ bersabda:
«إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى»
“Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengajarkan bahwa spiritualitas bukan hanya soal aktivitas lahiriah, tetapi niat dan kesadaran batin yang menyertainya. Dalam konteks Muslim urban, ini berarti mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam segala aspek kehidupan—di tempat kerja, di ruang publik, dan dalam relasi sosial.
Akhirnya, krisis identitas Muslim urban hanya dapat diselesaikan dengan pendekatan yang utuh: memadukan pemahaman agama yang mendalam, keterbukaan terhadap perubahan, dan peneguhan spiritualitas pribadi. Tradisi bukan untuk dibekukan, modernitas bukan untuk ditolak, dan spiritualitas bukan untuk disingkirkan. Ketiganya perlu dirangkai dalam satu tarikan napas kehidupan yang Islami.
Dengan demikian, menjadi Muslim di tengah kota bukanlah beban, melainkan peluang untuk menunjukkan wajah Islam yang adaptif, inklusif, dan transformatif. Identitas Muslim urban bukan tentang memilih antara masa lalu atau masa kini, tetapi tentang bagaimana menjadikan keduanya sebagai jalan menuju masa depan yang lebih beradab dan bermartabat.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha