Kontestasi Ideologi Politik di Muhammadiyah
Oleh : As’ad Bukhari, S.Sos., MA.*
PWMJATENG.COM – Pada prinsipnya Muhammadiyah bukanlah gerakan politik praktis maupun politik elektoral, akan tetapi memberikan kebebasan pada kader dan warganya masuk untuk terlibat dalam partai politik sebagai politikus berlatar belakang Muhammadiyah. Sejarah mencatat bahwa Kader Muhammadiyah bagian dari pelopor Partai Masyumi era orde lama dan Partai Parmusi era orde baru. Walaupun sebenarnya Kader Muhammadiyah itu berdiaspora di mana-mana termasuk ada di semua partai politik yang beragam.
Dalam politik praktis, sering kali dapat memisahkan yang sudah lekat atau pun melekatkan yang terpisah tergantung pada situasi dan dinamika politiknya. Sehingga sering kali terjadi perbedaan pilihan politik sekaligus masuk ke ranah kontestasi ideologi.
Ideologi politik yang masuk di lingkungan warga Muhammadiyah ini sangat beragam seperti marhaenis, sekuleris, liberalis, feodalis, kapitalis dan islamis. Ragam aktor tersebut tidak serta merta tertuju pada perilaku politik warga Muhammadiyah termasuk yang menjadi politisi, melainkan sebagai arah kiblat berpolitik praktis walaupun kiblat gerakan Islamnya tetap di Muhammadiyah. Ideologi politik oleh aktor marhaenis, sekuleris, liberalis, feodalis, kapitalis dan islamis ini sebenarnya terbagi dalam jumlah aliran yang sangat banyak pula. Marhaenis mudahnya sebagai jalan kiri, sekuleris, liberalis dan kapitalis sebagai jalan tengah dan islamis sebagai jalan kanan yang ada di tubuh Ideologi warga Muhammadiyah itu sendiri.
Berbagai sudut pandang politik maupun pilihan politik praktis warga Muhammadiyah itu, pada dasarnya bukan karena Persyarikatan Muhammadiyah melainkan karena partai politik pilihan mereka sendiri yang diejawantahkan melalui kepentingan praktis menjelang setiap pemilu 5 tahunan. Elit politik Muhammadiyah berusaha untuk menafsirkan sikap partai politik menjadi lebih berkemajuan atau berkemuhammadiyahan yang tergantung pada aktor elit politik itu sendiri.
Baca juga, Peran Perempuan dalam Politik Menurut Paradigma Islam: Tantangan dan Harapan
Selama ini, elit politik Muhammadiyah yang unggul dan populer adalah aktor yang paling banyak membantu masalah administrasi yang kemudian dibantu dengan kekuatan politik kekuasaan pada kursi jabatan yang diterima. Maklum, berpolitik di Indonesia itu masih gaya klasik dan feodal, sehingga masih sulit berdewasa menerima perbedaan atau kenyataan pahit di setiap masa yang cenderung akan terus terbawa emosi mendalam sekaligus luka lama yang tak berkesudahan. Hal ini membuat gerak kemajuan negara itu hanya menjadi ilustrasi semata layaknya blue print peta kemajuan Indonesia yang selalu diproyeksikan.
Kontestasi Ideologi politik di Muhammadiyah pada dasarnya terus terjadi tidak saat menjelang pemilu ataupun hiruk pikuk kekuasaan semata. Melainkan persaingan pengaruh untuk mendapatkan basis massa, basis suara, basis militansi, basis politik dan basis dukungan itu lahir serta tumbuh di tengah perebutan dalam persaingan Ideologi politik. Perlu dipahami bahwa, ketika kader partai sekaligus kader Muhammadiyah itu menyatu biasanya sulit menjadi seimbang dan itu hanya maqam individu pilihan terbatas saja, sisanya tentunya akan lebih banyak menjadi kader politik yang menjadi petugas partai di Muhammadiyah.
Sedangkan kader Muhammadiyah yang menjadi petugas Muhammadiyah di Partai politik itu selalu jalan buntu, tergantung kemampuan maqam kepentingannya kepada ketua umum partai politik dan kepada dewan pimpinan pusat di partai politik itu. Kontestasi Ideologi politik baik yang mengambil jalan arah kiri, tenagah dan kanan pada hakikatnya adalah sama mencapai tujuan kepentingan politik.
Dari sisi sejarah presiden dalam kemenangan partai politik yang ada di Muhammadiyah, era politisi yang ada di Muhammadiyah itu sebenarnya sudah dirasakan pada arah politik kiri dan tengah, sedangkan yang kanan itu belum pernah dirasakan akan tetapi gejolaknya paling sering dan besar di rasakan di Muhammadiyah. Hal itu dikarenakan dapat mempengaruhi Ideologi organisasi Muhammadiyah yang notabene sama-sama dalam aspek agama pada Islam atau pada pandangan keagamaan yang bersumber pada Al Qur’an dan As Sunnah walaupun berbeda tafsiran dan interpretasi.
Kontestasi Ideologi politik jalan kiri dan tengah di Muhammadiyah cenderung lebih aman dan bersahabat ketimbang Kontestasi Ideologi politik jalan kanan itu tadi yang hampir selalu dianggap beririsan. Ini membuktikan bahwa, agama di tenaga pusaran organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya lebih cenderung saling bertolak belakang keras lagi frontal. Cukup dramatis dan lemah jika dikaitkan pada persatuan Islam, satu barisan, harmonisasi umat dan juga sebagai umat terbaik.
Baca juga, Menumbuhkan Sikap Tawadhu untuk Mendapat Rahmat
Sudah saatnya Kontestasi Ideologi politik di Muhammadiyah itu justru menekankan pada kerekatan bersama secara berjamaah, bukan justru pada kerenggangan karena rebutan kursi jabatan secara berjamaah pula. Memang sulit dan hampir tak bisa dihindari, tapi di situlah tantangannya sebagai gerakan Islam berkemajuan, sebagai Islam moderat, dan sebagai organisasi yang mengedepankan kecerdasan intelektual secara seimbang dengan kecerdasan emosional mau pun kecerdasan spritual.
Membangun Indonesia, membangun bangsa, dan membangun Muhammadiyah itu tentu dengan banyak cara, banyak jalan dan banyak langkah yang tak hanya dibatasi ruang hampa politik praktis semata meskipun itu penting demi kekuasaan yang berkemaslahatan. Bagaimana pun kerasnya, rumitnya, gaduhnya, polemiknya, dinamisnya kontestasi ideologi politik di tubuh Muhammadiyah itu, maka kembalikan pada cita-cita dan sejarah organisasi persyarikatan Muhammadiyah. Hal itu agar tidak terjebak pada dualisme, polarisasi, konflik kepentingan maupun status quo yang tidak sehat dan juga sangat nir-adab.
Maka saatnya untuk menata hidup yang lebih baik menyambut masa depan Indonesia dan Muhammadiyah yang lebih berkembang serta lebih memberdayakan seluruh kalangan baik dari yang kecil, menengah dan atas. Dengan demikian semua dapat menemukan jalan kebersamaan dan kesepakatan yang dilakukan dengan islahul tajdid demi terwujudnya suatu negeri yang baldatun thaiyyibatun warabbun ghofur di negeri yang tercinta ini.
*Analis Kajian Islam, Pembangunan, dan Kebijakan Publik
Editor : M Taufiq Ulinuha