Ketika Pegawai Persyarikatan Bekerja Sekadar Bekerja

PWMJATENG.COM – Dalam tubuh Persyarikatan Muhammadiyah, keberadaan pegawai menjadi tulang punggung administratif dan operasional yang sangat penting. Mereka menggerakkan roda organisasi dari balik meja, mengelola administrasi, dan memastikan kelangsungan pelayanan dalam berbagai amal usaha. Namun, belakangan ini muncul kegelisahan yang cukup beralasan: mengapa banyak pegawai Persyarikatan yang hanya bekerja sekadar menggugurkan kewajiban, tanpa terlibat aktif dalam gerakan dakwah yang menjadi ruh utama Muhammadiyah?
Fenomena ini bukan sekadar wacana pesimistis, tetapi kenyataan yang dapat diamati di berbagai tingkatan. Tidak sedikit pegawai yang menjalankan tugas dengan profesionalisme administratif, tetapi tampak abai terhadap misi ideologis dan nilai perjuangan Muhammadiyah. Mereka datang pagi, pulang sore, bekerja sesuai deskripsi tugas, namun nyaris tidak pernah hadir dalam kegiatan dakwah, pengajian, atau musyawarah Persyarikatan. Lebih menyedihkan lagi, sebagian tidak mengetahui sejarah Muhammadiyah, apalagi menyadari visi tajdid yang menjadi identitas gerakan ini.
Padahal, bekerja di lingkungan Muhammadiyah bukan sekadar soal rutinitas atau penghasilan. Ada nilai pengabdian dan dakwah yang semestinya menjadi roh dalam setiap langkah kerja. Muhammadiyah didirikan bukan untuk sekadar menjalankan institusi, tetapi untuk menebar risalah Islam yang mencerahkan, membebaskan, dan memajukan kehidupan umat. Pegawai yang berada di dalamnya idealnya menjadi bagian dari barisan dakwah, bukan hanya operator sistem.
Minimnya keterlibatan pegawai dalam aktivitas dakwah ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, lemahnya internalisasi nilai-nilai Muhammadiyah sejak awal mereka direkrut. Dalam banyak kasus, proses perekrutan pegawai lebih menekankan aspek keterampilan teknis ketimbang komitmen ideologis. Akibatnya, mereka yang direkrut sering kali tidak memiliki hubungan emosional maupun intelektual dengan Persyarikatan. Muhammadiyah bagi mereka hanyalah tempat bekerja, bukan medan perjuangan.
Kedua, kurangnya pembinaan pascarekrutmen. Setelah resmi menjadi bagian dari struktur amal usaha Muhammadiyah, banyak pegawai tidak mendapatkan pembinaan ideologis dan spiritual secara berkelanjutan. Kegiatan pengajian dan pengkaderan sering kali bersifat formalitas atau bahkan absen sama sekali. Alhasil, orientasi kerja mereka pun tetap pragmatis: sekadar melaksanakan tugas dan menunggu gaji setiap bulan.
Ketiga, faktor kepemimpinan yang kurang memberi keteladanan dan dorongan. Dalam beberapa kasus, pimpinan amal usaha atau pimpinan Persyarikatan di tingkat tertentu kurang menampakkan semangat dakwah dalam kepemimpinannya. Ketika pemimpin hanya fokus pada target-target administratif dan mengejar akreditasi atau capaian angka, maka tak heran jika pegawai pun turut tenggelam dalam atmosfer kerja yang transaksional.
Baca juga, One Muhammadiyah One Identity: Membumikan Brand Muhammadiyah di Semua Media Sosial
Padahal, sejarah Muhammadiyah mencatat bahwa gerakan ini dibesarkan oleh mereka yang bekerja tidak semata-mata karena gaji. Para tokoh seperti KH Ahmad Dahlan, KH Fakhruddin, Nyai Ahmad Dahlan, hingga para aktivis muda saat ini menghidupkan Muhammadiyah melalui kerja ikhlas, militansi ideologis, dan keteladanan moral. Mereka memadukan profesionalisme kerja dan aktivisme dakwah dalam satu tarikan nafas. Itulah yang membuat Muhammadiyah tidak hanya eksis sebagai organisasi, tetapi juga menjadi kekuatan perubahan di tengah masyarakat.
Lantas, bagaimana jalan keluarnya?
Pertama, proses rekrutmen pegawai harus dirancang ulang agar tidak hanya berorientasi pada kemampuan teknis, tetapi juga mempertimbangkan kecocokan nilai. Komitmen terhadap visi dan misi Muhammadiyah seharusnya menjadi syarat utama, bukan sekadar tambahan.
Kedua, perlu dilakukan pembinaan ideologis secara berkelanjutan. Setiap pegawai perlu dikenalkan secara mendalam pada nilai-nilai Islam berkemajuan, sejarah Muhammadiyah, dan pentingnya dakwah di era modern. Forum pengajian, kajian ideologi, hingga pelatihan kepemimpinan spiritual harus menjadi bagian dari budaya kerja.
Ketiga, kepemimpinan Persyarikatan di semua tingkatan harus menjadi teladan utama. Keteladanan tidak cukup ditunjukkan dengan pencapaian administratif, tetapi harus diwujudkan dalam komitmen dakwah yang nyata. Pemimpin yang aktif dalam pengajian, menjadi pembicara dalam kajian, atau terlibat langsung dalam aksi sosial, akan memberi pengaruh besar bagi bawahannya.
Akhirnya, menjadi pegawai Persyarikatan bukanlah pilihan karier biasa. Ini adalah panggilan dakwah. Pegawai Muhammadiyah semestinya tidak berhenti pada level administratif, tetapi turut menghidupkan cita-cita Persyarikatan sebagai gerakan Islam yang membawa perubahan. Seorang pegawai yang memahami hakikat ini akan bekerja tidak hanya dengan tangan, tetapi juga dengan hati dan iman.
Muhammadiyah bukan sekadar institusi, ia adalah gerakan. Dan setiap gerakan memerlukan orang-orang yang tidak sekadar hadir secara fisik, tetapi juga terlibat secara ideologis dan spiritual. Jika para pegawai mampu memadukan kerja profesional dengan semangat dakwah, niscaya Persyarikatan akan menjadi lebih kokoh dan relevan menjawab tantangan zaman.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha