
PWMJATENG.COM, Jakarta – Dalam peringatan Milad ke-93 Pemuda Muhammadiyah yang digelar pada Kamis malam, 8 Mei, di Jakarta, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyampaikan pesan mendalam yang menyentuh aspek spiritual, ideologis, dan praksis gerakan. Pidato yang disampaikannya dalam rangka Malam Tasyakur Milad ini bukan sekadar ungkapan syukur, melainkan juga seruan pembaruan dan penguatan visi kepemudaan Muhammadiyah di tengah zaman yang terus berubah.
Haedar menyampaikan selamat kepada seluruh kader Pemuda Muhammadiyah atas bertambahnya usia organisasi otonom tersebut. Dalam pesannya, ia menggarisbawahi pentingnya menjadikan momentum milad sebagai ajang refleksi sekaligus revitalisasi nilai-nilai perjuangan. “Pemuda Muhammadiyah harus semakin berkemajuan,” ujarnya.
Pernyataan tersebut bukan sekadar slogan, melainkan mengandung pesan agar gerakan kepemudaan ini tidak hanya aktif secara struktural, tetapi juga kontributif di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Haedar memberi apresiasi terhadap diaspora kader Pemuda Muhammadiyah yang telah mengisi ruang publik dalam berbagai bentuk, baik di ranah politik, jabatan publik, maupun posisi strategis lainnya di tengah masyarakat. “Itu semuanya merupakan jalan,” katanya, “tapi kiblat dari jalan itu adalah tujuan masing-masing dalam satu konteks keseluruhan kita bermuhammadiyah.”
Dalam konteks itu, Haedar mengingatkan agar setiap jalan yang ditempuh kader tetap bermuara pada cita-cita luhur Muhammadiyah. Artinya, keterlibatan kader dalam ruang-ruang publik harus menjadi wasilah (perantara) untuk memberi manfaat kepada umat dan bangsa, bukan sekadar sarana aktualisasi pribadi.
Ia menegaskan bahwa makna kepemimpinan di Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari akar nilai keislaman. Kepemimpinan yang ideal, menurut Haedar, adalah kepemimpinan profetik, yakni kepemimpinan yang mencerminkan misi kenabian. Ia merujuk pada pemikiran Kuntowijoyo yang menyebut model kepemimpinan ini sebagai kepemimpinan profetik, yaitu menggabungkan pengelolaan urusan agama dan urusan dunia secara seimbang. Haedar menjelaskan, “Fungsinya dua yang utama: mengurus agama dan menegakkan nilai-nilai agama, dan yang kedua mengurus urusan dunia.”
Baca juga, Keanekaragaman Hukum dalam Islam: Keteladanan Rasulullah dan Kebijaksanaan Para Sahabat
Secara terminologis, konsep tersebut sejalan dengan spirit ayat Al-Qur’an yang menekankan keterpaduan antara orientasi spiritual dan sosial. Firman Allah dalam Surah Al-Qashash ayat 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.”
Haedar mengajak seluruh kader agar menjalani peran masing-masing dengan keikhlasan yang tinggi. “Ikhlas adalah energi rohani,” ujarnya, seraya mengingatkan bahwa dalam perjuangan di Muhammadiyah, keikhlasan tidak boleh absen walau sejenak. Dalam Islam, keikhlasan merupakan syarat diterimanya amal sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ia menegaskan bahwa jabatan dan posisi yang diemban tidak boleh membuat kader merasa telah selesai memahami Muhammadiyah. Rasa puas dan merasa “khatam” terhadap paham Muhammadiyah justru bisa menjadi bentuk kejumudan yang membahayakan. “Saya khawatir perasaan itu hanya kamuflase, yang sebenarnya adalah kering atau mengalami penggerusan,” ujar Haedar. Hal ini menjadi pengingat penting bahwa gerakan Muhammadiyah menuntut dinamika pemikiran dan semangat pembaruan yang konsisten.
Haedar juga membedakan antara kepemimpinan biasa dan kepemimpinan dalam gerakan Islam. “Memimpin pergerakan Islam harus ada bedanya,” ujarnya. Kepemimpinan dalam Muhammadiyah bukan sekadar administratif atau struktural, tetapi juga spiritual dan ideologis. Itulah sebabnya, memimpin Pemuda Muhammadiyah atau organisasi otonom lainnya tidak cukup hanya bermodalkan manajerial, tetapi harus dilandasi dengan pemahaman nilai dan etika profetik.
Dalam pernyataannya, Haedar juga menekankan bahwa karakter khas Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan dan kemasyarakatan harus dijaga. Dua identitas ini bersifat integratif, sehingga perjuangan kader tidak boleh terjebak pada dikotomi agama dan dunia. “Dinamika dan dialektika di kepemimpinan Persyarikatan Muhammadiyah antara keduanya itu selalu ada,” katanya.
Maka dari itu, seluruh kader diaspora Muhammadiyah, di manapun mereka berada, diminta untuk tidak melupakan nilai-nilai dasar Kemuhammadiyahan. Nilai-nilai tersebut adalah pijakan moral yang harus senantiasa dipegang dalam mengurus urusan dunia maupun membela nilai-nilai agama.
Haedar menutup pesannya dengan harapan agar Pemuda Muhammadiyah terus mengukir prestasi, menjaga integritas, serta menjadi contoh dalam kehidupan sosial, politik, dan keumatan. Dengan semangat keikhlasan, kepemimpinan profetik, dan kesadaran ideologis, diharapkan Pemuda Muhammadiyah mampu menjadi penggerak perubahan yang konstruktif bagi bangsa dan umat.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha