
PWMJATENG.COM – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, dalam sebuah pengajian Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Sruweng menegaskan pentingnya keluarga sebagai tiang utama kehidupan umat dan bangsa. Menurutnya, kekuatan sebuah bangsa sangat bergantung pada kekuatan keluarga-keluarga yang membentuknya. Dengan kata lain, membangun bangsa yang kuat harus dimulai dari penguatan keluarga sebagai unit terkecil masyarakat.
Dalam konteks pembinaan anak, keluarga memegang peranan sentral dalam menanamkan nilai-nilai moral dan etika, terutama melalui kebiasaan sederhana sehari-hari seperti saat makan bersama. M. Abduh mencontohkan, penanaman etiket makan yang sopan—seperti tidak membuat suara berlebihan saat mengunyah atau menelan makanan—merupakan pendidikan awal yang harus diberikan dalam keluarga. “Anak-anak harus diajarkan agar tidak ‘kelontang-kenting’ saat makan, karena itu bukan hanya soal sopan santun, tapi juga wujud penghormatan terhadap makanan dan orang yang menyajikannya,” ujarnya.
Pentingnya pembiasaan makan bersama dengan doa juga menjadi sorotan. Beliau mengisahkan pengalamannya di sebuah sekolah di Jepang, di mana siswa diajak membaca doa bersama sebelum makan. Doa tersebut bukan hanya meminta keberkahan makanan, tetapi juga memohon agar kesehatan dan kepandaian yang diperoleh dapat digunakan untuk beribadah dan berbuat kebaikan kepada sesama. Hal ini sekaligus menanamkan nilai spiritual dalam aktivitas sehari-hari. Dengan membiasakan anak untuk memimpin doa makan, keluarga dan sekolah dapat berperan sebagai media sosialisasi nilai-nilai keislaman secara praktis.
Selain etiket makan, aspek pengelolaan makanan juga menjadi bagian penting dari pendidikan keluarga. M. Abduh mengingatkan agar anak-anak diajarkan mengambil makanan sesuai kebutuhan agar tidak terjadi pemborosan yang disebut dalam Islam sebagai israf (kemubaziran). Dia mengutip firman Allah dalam Al-Qur’an yang mengingatkan bahwa pemborosan adalah perbuatan setan:
إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوا۟ إِخْوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِين
“Innal mubazzirina kanu ikhwanasy-syayathin” (Sesungguhnya orang-orang yang boros itu saudara-saudara syaitan). (QS. Al-Isra: 27).
Baca juga, Tak Sekadar Organisasi, Muhammadiyah Adalah Paham Agama yang Memberikan Tuntunan bagi Umat Islam
Meskipun umat Islam sering merasa berdosa jika meninggalkan salat, menurut beliau, masih banyak yang belum menyadari bahwa membuang makanan juga termasuk dosa. Pengalaman saat berkunjung ke sebuah sekolah di Singapura memperkuat pelajaran ini, di mana kepala sekolah secara tegas mengingatkan para tamu untuk mengambil makanan secukupnya dan menghabiskannya agar tidak terjadi pemborosan. Kejadian ini menunjukkan betapa pentingnya menanamkan disiplin dan kesadaran terhadap nilai-nilai Islami dalam pengelolaan makanan sejak usia dini.
Fungsi keluarga dalam konteks pembinaan anak tidak hanya terbatas pada pendidikan etika dan pengelolaan makanan, melainkan juga mencakup kaderisasi dan penanaman ruh perjuangan Muhammadiyah. M. Abduh mengingatkan bahwa kelangsungan perjuangan Muhammadiyah sangat bergantung pada keluarga sebagai tempat pertama mengenalkan anak-anak pada organisasi ini. Ia menegaskan pentingnya mengajak anak-anak memahami apa itu Muhammadiyah dan mengapa orang tua aktif di dalamnya. “Kalau orang tua aktif di Muhammadiyah tapi anak-anak tidak tahu, bahkan tidak peduli, maka kaderisasi tidak akan berjalan,” ujarnya.
Selain itu, pembentukan karakter juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan pergaulan anak. M. Abduh mengutip pepatah Arab yang menekankan bahwa karakter seseorang dapat dilihat dari teman-temannya. Jika berteman dengan orang yang rajin ngaji dan rajin membaca buku, anak akan terpengaruh untuk menjadi baik dan pintar. Sebaliknya, pergaulan yang buruk akan membawa pengaruh negatif. Hal ini memperkuat pentingnya anak-anak bergabung dalam komunitas yang mendukung nilai-nilai baik dan keislaman, agar dapat saling menguatkan.
Pengawasan terhadap penggunaan media cetak dan elektronik juga menjadi perhatian penting dalam keluarga modern. Menurut M. Abduh, kecenderungan anak-anak saat ini untuk terlalu lama memandang layar ponsel berdampak negatif. Ia menyebutkan contoh dari Australia, di mana DPR telah menetapkan larangan bagi anak di bawah usia 16 tahun untuk memegang ponsel, guna mendorong anak kembali aktif secara fisik dan sosial seperti bermain dan membaca. Hal ini menunjukkan perlunya pengaturan dan pendampingan orang tua agar anak tidak kecanduan gadget dan tetap tumbuh sehat secara fisik dan mental.
Dalam aspek perlindungan anak, M. Abduh juga menekankan hak anak perempuan yang harus diperhatikan, termasuk perlindungan dari kekerasan dan pemenuhan hak pendidikan. Anak perempuan harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang, tidak kalah penting dibandingkan anak laki-laki. Kekerasan, termasuk kekerasan seksual, menjadi ancaman nyata yang harus dicegah melalui pendidikan dan kesadaran keluarga serta masyarakat.
Terakhir, ia mengingatkan agar keluarga juga menanamkan rasa peduli kepada tetangga dan lingkungan sekitar dengan cara yang ihsan, yakni berbuat baik dan memberikan kebahagiaan bagi orang lain. Konsep islah (perbaikan) dan makruf (perbuatan baik) harus terus dijaga sesuai dengan nilai-nilai agama dan kebiasaan baik masyarakat. Sikap ihsan dalam hubungan sosial ini memperkuat ikatan ukhuwah dan menciptakan kehidupan yang harmonis.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha