Jika Al-Qur’an Bukan Mukjizat, Mengapa Tak Ada yang Bisa Menandinginya?

Oleh: Kamil Sami Al Faruq (Santri & Peminat Kajian Tafsir)
PWMJATENG.COM – Salah satu bukti terbesar yang menegaskan kebenaran risalah kenabian Rasulullah ﷺ adalah turunnya Kitab Suci Al-Qur’an kepada beliau: wahyu ilahi yang bukan hanya menjadi pedoman hidup umat manusia, tetapi juga mukjizat yang tak tertandingi sepanjang masa. Al-Qur’an bukanlah karya manusia, bukan pula hasil dari kepiawaian sastra atau kelihaian retorika, melainkan kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya melalui perantara Malaikat Jibril ‘alaihis salam.
Al-Qur’an hadir di tengah-tengah bangsa Arab yang terkenal sangat fasih nan unggul baik dalam bidang bahasa maupun sastra. Di hadapan mereka, Kalamullah ini tampil dengan gaya bahasa yang memukau, struktur retorika yang indah, serta kedalaman makna yang tak pernah habis digali. Lebih dari itu, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir dalam al-Fushul Fi Shirah ar-Rasul, bahwasanya Al-Qur’an secara terbuka telah menantang para pakar bahasa dan maestro sastra pada zamannya untuk menghadirkan tandingan yang serupa, baik dalam bentuk satu kitab, sepuluh surah, maupun satu surah saja.
Dan tantangan tersebut terdokumentasi secara eksplisit dalam sejumlah ayat Al-Qur’an, antara lain:
- QS. At-Tur : 34
فَلْيَأْتُوا۟ بِحَدِيثٍ مِّثْلِهِۦٓ إِن كَانُوا۟ صَٰدِقِينَ
Artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.”
- QS. Hud : 13
أَمْ يَقُولُونَ ٱفْتَرَىٰهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا۟ بِعَشْرِ سُوَرٍ مِّثْلِهِۦ مُفْتَرَيَٰتٍ وَٱدْعُوا۟ مَنِ ٱسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ
Artinya: “Bahkan mereka mengatakan, “Dia (Muhammad) telah membuat-buat Al-Qur’an itu.” Katakanlah, “(Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya (Al-Qur’an) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
- QS. Al-Baqarah : 23
وَإِن كُنتُمْ فِى رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا۟ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ
Artinya: “Jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang apa (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah yang semisal dengannya.”
Syekh Nawawi al-Bantani, dalam karyanya Maraah al-Labid, menafsirkan kata mitslihi sebagai kemiripan dari segi sifat-sifat Al-Qur’an, seperti kefasihannya, keindahan struktur bahasanya, dan kandungan informasi tentang hal-hal ghaib yang dibawanya. Sementara Syekh Mutawalli asy-Sya‘rawi menguraikan bahwa makna mitslihi adalah: surah yang diturunkan kepada seseorang yang seperti Nabi Muhammad ﷺ, yakni sebagai individu yang tidak pernah berguru kepada siapa pun, tidak membaca, serta tidak tercatat terbiasa berbicara dengan gaya balaghah dalam fase manapun dari hidup beliau sebelum datangnya risalah.
Baca juga, Tawasul dan Wasilah: Jalan Mendekatkan Diri kepada Allah
Dari sinilah dapat dipahami bahwa jika kedua pendekatan tafsir ini dipertemukan, maka tantangan yang diajukan oleh Al-Qur’an menjadi jauh lebih kompleks bagi siapa pun yang meragukannya. Sebab, selain dituntut untuk menghadirkan tandingan dari aspek keunggulan Al-Qur’an itu sendiri, mereka juga harus melakukannya dalam kondisi personal yang memiliki keadaan serupa dengan Nabi Muhammad ﷺ. Dengan demikian, perpaduan antara keunggulan teks dan kemustahilan biografis inilah yang kemudian menjadikan mukjizat Al-Qur’an semakin sulit untuk disangkal dan tak tertandingi.
Tantangan yang semula dianggap hanya ditujukan kepada para ahli bahasa, ternyata justru meluas cakupannya. Al-Qur’an menantang seluruh manusia dan jin untuk menghadirkan tandingannya, bahkan jika mereka bersatu dan saling membantu sekalipun. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Ta‘ala:
قُل لَّئِنِ ٱجۡتَمَعَتِ ٱلۡإِنسُ وَٱلۡجِنُّ عَلَىٰٓ أَن يَأۡتُوا۟ بِمِثۡلِ هَـٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ لَا يَأۡتُونَ بِمِثۡلِهِۦ وَلَوۡ كَانَ بَعۡضُهُمۡ لِبَعۡضٖ ظَهِيرٗا
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.’” (QS. Al-Isra’: 88).
Selaras dengan pemaparan ayat di atas, catatan sejarah menunjukkan bahwa segala potensi dan kemampuan yang pernah dikerahkan untuk menandingi Al-Qur’an tidak pernah membuahkan hasil. Hingga kini, di tengah kemajuan intelektual modern, belum ada yang mampu menyaingi keindahan susunannya, kedalaman maknanya, maupun kekuatan hujjahnya. Kenyataan ini menjadi semakin mencolok mengingat para penentang Al-Qur’an turut memainkan peran aktif dalam mendiskreditkannya: menyebutnya dongeng orang terdahulu, menuduhnya sebagai rekaan manusia, serta berupaya keras membendung penyiarannya.
Akan tetapi, justru di tengah badai penolakan itu, lahirlah pengakuan-pengakuan yang semakin menguatkan posisi Al-Qur’an sebagai mukjizat. Yang menarik, seperti yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Ridha dalam bukunya Muhammad Rasulullah ﷺ, pengakuan tersebut tak jarang keluar dari lisan tokoh-tokoh besar yang memusuhi risalah kenabian itu sendiri. Mereka menyatakan bahwa apa yang mereka dengar dari lisan Rasulullah ﷺ bukanlah sihir, syair, atau tenung, melainkan sesuatu yang tidak mungkin diucapkan oleh manusia. Di antara mereka yang secara terbuka mengakui keagungan Al-Qur’an, baik yang akhirnya menerima Islam maupun yang tetap bersikukuh dalam penolakannya, ialah: ‘Utbah bin Rabi’ah, al-Walid bin al-Mughirah, Unais, Dhimad bin Tsa’labah, Umar bin Khattab, dan Tufail bin Amr ad-Dausi.
Demikianlah pengakuan-pengakuan yang bukan sekadar testimoni sejarah, melainkan jejak kejujuran hati yang tak mampu menolak kebenaran. Sungguh, sebagian orang bijak dari bangsa Arab, para pakar kefasihan dan seni balaghah, memeluk Islam seketika setelah mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an tanpa sedikit pun menentangnya. Mereka menyadari bahwa kebenaran lebih berhak untuk diikuti. Adapun sebagian lain yang hatinya diliputi penyakit, terus berupaya keras menghalangi manusia dari mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an karena takut bahwa kalam ilahi itu akan membekas dalam diri, lalu menuntun kepada keimanan.
Sampai hari ini dan seterusnya, Al-Qur’an tetap tegak berdiri, tak goyah diterpa zaman, tak gentar oleh tantangan. Mukjizatnya akan senantiasa berlangsung hingga hari akhir, menjadi bukti nyata atas kebenaran risalah yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ. Wallahu’alam.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha