Khazanah Islam

Jangan Mistifikasi Al-Qur’an: Petunjuk Hidup, Bukan Jimat atau Azimat

PWMJATENG.COM – Dalam sebuah pengajian, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Ibnu Hasan, menjawab pertanyaan yang cukup serius dari salah seorang jamaah. Pertanyaan itu menyentuh praktik yang umum terjadi di masyarakat: mistifikasi terhadap Al-Qur’an. Ibnu Hasan pun memberikan penjelasan mendalam dan menyentuh akar persoalan, yakni pemahaman keliru bahwa Al-Qur’an cukup dijadikan simbol, bukan sebagai pedoman hidup yang sejati.

Ia menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah sebagai hudā atau petunjuk hidup bagi umat manusia. Dalam pandangannya, keberadaan Al-Qur’an di tengah umat seharusnya seperti buku panduan yang disertakan ketika seseorang membeli perangkat baru—seperti mobil, mesin cuci, atau komputer. Buku petunjuk itu tak hanya disertakan sebagai formalitas, tetapi dibaca dan dijadikan panduan agar barang tersebut digunakan secara benar. Analogi ini, menurut Ibnu Hasan, sangat relevan dengan keberadaan Al-Qur’an.

“Al-Qur’an adalah petunjuk kehidupan, petunjuk dalam beribadah, dan petunjuk menghadapi dinamika hidup. Maka ia diturunkan sebagai petunjuk,” tegasnya. Ia mengutip ayat Al-Qur’an yang menegaskan fungsi ini:

هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

“Sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan batil).” (QS Al-Baqarah: 185)

Ibnu Hasan menyoroti kesalahan persepsi sebagian umat Islam yang memperlakukan Al-Qur’an secara magis dan mistis. Misalnya, meletakkan mushaf Al-Qur’an di lemari ruang tamu agar rumah terhindar dari gangguan setan, atau menggantungnya di atas pintu untuk penolak bala. Menurutnya, tindakan tersebut tidak memiliki dasar syar’i yang kuat dan bahkan bisa menjerumuskan kepada pemahaman yang tidak sesuai dengan spirit Islam.

“Jangan dikira setan takut kalau Al-Qur’an hanya ditaruh begitu saja. Setan bisa masuk sambil tertawa-tawa karena Al-Qur’an itu tidak dibaca, tidak dipelajari, dan tidak diamalkan,” ujarnya mengingatkan.

Ia juga mengkritisi praktik membaca ayat-ayat tertentu untuk tujuan pengasihan, pelarisan usaha, atau maksud-maksud lain yang bersifat duniawi dan mistik. Praktik seperti itu, kata Ibnu Hasan, tidak sesuai dengan fungsi utama Al-Qur’an.

Ia kemudian menjelaskan bahwa Al-Qur’an juga memiliki fungsi sebagai syifā’, yakni obat. Namun, ia menekankan bahwa makna “obat” ini lebih merujuk pada aspek ruhani dan kejiwaan. Al-Qur’an menyembuhkan hati yang rusak, membenahi akidah yang keliru, dan memberi pencerahan iman kepada mereka yang sebelumnya tersesat.

Dalam hal ini, ia merujuk pada firman Allah:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Al-Isra: 82)

Baca juga, Generasi Alpha dan Tantangan Pendidikan Islam di Era Teknologi Canggih

Namun, lanjutnya, bukan berarti Al-Qur’an lantas dibakar, dilarutkan, lalu diminum sebagai “obat” fisik. Ia mengingatkan, penyimpangan terhadap fungsi Al-Qur’an semacam itu malah akan menjauhkan umat dari makna substansial kitab suci tersebut.

“Al-Qur’an akan membuat setan takut ketika ia dibaca, diyakini kebenarannya, dan diamalkan dalam kehidupan. Bukan sekadar diletakkan di ruangan atau dibawa-bawa dalam bentuk fisik saja,” ujar Ibnu Hasan dengan nada serius.

Ia juga menegaskan bahwa membaca Al-Qur’an harus dilandasi keikhlasan dan harapan kepada Allah. Ketika seseorang membaca Al-Qur’an dengan tujuan mencari rahmat dan berkah dari Allah, maka rahmat dan berkah itu bisa datang dalam bentuk yang beragam dan tak terduga.

Namun ia memperingatkan bahwa jika seseorang membaca Al-Qur’an dengan niat yang salah, seperti dengan waktu, syarat, dan tujuan tertentu yang tidak ada tuntunannya dalam agama, maka amalan itu bisa menjadi sia-sia. “Tidak ada perintahnya membaca ayat tertentu untuk niat tertentu di waktu tertentu demi kepentingan tertentu. Maka tidak perlu dilakukan,” ujarnya.

Dengan nada yang menggugah, Ibnu Hasan menyampaikan bahwa Al-Qur’an bukanlah jimat atau benda keramat. Ia bukan azimat yang digantung di atas pintu atau diselipkan di dompet agar hidup selamat. Al-Qur’an adalah petunjuk hidup yang harus dibaca, dipahami, dan diimplementasikan dalam setiap aspek kehidupan.

“Namanya petunjuk, ya harus dibuka, dibaca, dan dipahami. Kalau tidak, bagaimana bisa menjadi petunjuk?” katanya. Ia kembali menegaskan analoginya: membeli mobil baru tanpa membaca buku petunjuknya akan menyebabkan mobil cepat rusak. Demikian pula dengan kehidupan manusia. Memiliki mushaf Al-Qur’an tapi tidak memahami isinya, sama artinya dengan menyia-nyiakan petunjuk hidup dari Allah.

Sebagai penutup, Ibnu Hasan berharap agar umat Islam tidak lagi terjebak dalam praktik mistifikasi terhadap Al-Qur’an. Menurutnya, nilai spiritual Al-Qur’an justru akan hadir secara nyata ketika dibaca dengan penuh kesungguhan, dipahami maknanya, dan diamalkan dalam kehidupan nyata.

“Kalau ingin mendapat berkah dan rahmat dari Allah, bacalah Al-Qur’an dengan niat tulus. Bukan untuk pelaris, bukan untuk pengasihan, tapi karena berharap ridha dan kasih sayang-Nya. Ketika itu terjadi, segala kebaikan akan datang,” pungkasnya.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE