
PWMJATENG.COM, Surakarta – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengambil langkah tegas dalam menciptakan lingkungan kampus yang inklusif dan bebas perundungan. Melalui Biro Kemahasiswaan, khususnya bagian Student Mental Health and Wellbeing Support (SMHWS), UMS menggelar webinar bertajuk “Lebih dari Sekadar Bercanda: Memahami dan Mencegah Perundungan di Lingkungan Kampus”.
Ketua SMHWS UMS, Partini, mengungkapkan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian UMS terhadap kondisi psikologis mahasiswa. Ia menilai perundungan sering dianggap sepele karena dibalut humor, padahal dampaknya sangat serius.
“Semoga webinar ini menjadi langkah awal untuk membangun kesadaran bersama, bahwa kampus adalah rumah belajar yang harus bebas dari segala bentuk bullying,” ujar Partini saat membuka acara, Rabu (28/5).
Webinar tersebut menghadirkan pemateri dari berbagai latar belakang, di antaranya Wiwien Dinar yang mengupas secara mendalam fenomena perundungan dan cyberbullying. Menurutnya, candaan yang terlihat ringan sering kali menjadi pintu masuk praktik kekerasan verbal.
“Kalimat seperti ‘Ih, jangan deket-deket dia, dia bau badan’ atau ‘Sis, bajumu kok itu-itu aja?’ mungkin terdengar lucu, tapi sebenarnya itu bentuk perundungan verbal,” jelas Wiwien.
Ia menekankan bahwa perundungan tidak hanya berbentuk fisik. Ucapan, gestur, bahkan sikap diam bisa menyakiti secara mendalam. Bullying, menurutnya, terjadi karena ada ketimpangan kekuasaan antara pelaku dan korban. Ketika pelaku merasa lebih kuat secara sosial, ekonomi, atau akademik, mereka cenderung meremehkan korban.
Wiwien juga menyinggung dampak panjang dari perundungan. Korban bisa mengalami gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, hingga menarik diri dari lingkungan sosial. Sementara pelaku berisiko mengulangi tindakan kekerasan di masa depan, bahkan menjurus pada tindak kriminal.
Baca juga, Ketentuan Terlambat dalam Salat Jumat: Apa Batasannya Menurut Syariat?
“Perundungan bisa membunuh rasa percaya diri seseorang. Kita harus membangun budaya kampus yang saling menghargai dan menjaga,” tegasnya.
Ia turut mengingatkan nilai-nilai moral dari ajaran Islam sebagai pedoman dalam membangun interaksi sehat di kampus. Wiwien mengutip ayat dari QS Al-Mujadilah yang mendorong semangat saling memberi ruang dalam menuntut ilmu, serta hadis Nabi SAW yang menyerukan untuk tidak menyakiti sesama Muslim dan menjaga hati dari amarah berkepanjangan.

Sementara itu, Yessy Elita, pemateri lain dalam webinar, menyoroti perundungan dari sudut pandang institusi pendidikan. Ia menyebut bahwa perundungan menjadi salah satu dari “tiga dosa besar” di perguruan tinggi, selain intoleransi dan kekerasan seksual.
“Yang menyedihkan, pelaku bullying di kampus sering kali adalah mahasiswa berprestasi. Mereka pintar, tapi empatinya rendah,” ungkap Yessy dengan nada prihatin.
Ia menjelaskan bahwa perundungan tumbuh subur karena relasi kuasa yang timpang, normalisasi kekerasan verbal, serta lemahnya sistem pelaporan di perguruan tinggi.
“Kalau kampus tidak serius menangani kasus ini, bukan hanya prestasi mahasiswa yang akan menurun, tapi juga reputasi lembaga bisa tercoreng,” tambahnya.
Menurut Yessy, peran kampus sangat penting dalam membangun atmosfer akademik yang sehat. Ia mendorong sivitas akademika untuk tidak diam saat menyaksikan perundungan. Mahasiswa dan dosen harus bersatu menciptakan ruang aman bagi semua.
Webinar yang berlangsung Sabtu (17/5) ini mendapat sambutan positif dari peserta. Diskusi berlangsung aktif dengan banyak peserta yang berbagi pengalaman dan harapan tentang kampus yang suportif dan bebas kekerasan.
Kontributor : Alfina
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha