Islam dan Budaya Hustle: Produktif atau Justru Melalaikan?

PWMJATENG.COM – Dalam beberapa tahun terakhir, istilah hustle culture atau budaya kerja tanpa henti menjadi tren di kalangan anak muda, khususnya generasi milenial dan Gen Z. Budaya ini mengusung semangat kerja keras sepanjang waktu demi meraih kesuksesan finansial, pengakuan sosial, dan pencapaian diri. Namun, dalam perspektif Islam, muncul pertanyaan penting: apakah budaya hustle ini mencerminkan nilai-nilai produktivitas Islami, atau justru menjauhkan manusia dari tujuan hidup sejatinya?
Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk bekerja dan berusaha secara maksimal. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)
Ayat ini menunjukkan pentingnya ikhtiar dalam kehidupan. Islam memandang kerja bukan hanya sebagai sarana mencari nafkah, tetapi juga sebagai bentuk ibadah apabila dilakukan dengan niat yang benar dan cara yang halal. Rasulullah SAW sendiri adalah sosok yang sangat aktif bekerja, bahkan sejak usia muda.
Namun, Islam juga menekankan pentingnya keseimbangan. Budaya hustle yang mengglorifikasi kerja tanpa jeda, tidur minimal, dan mengabaikan kehidupan pribadi serta spiritual, sangat mungkin bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam. Dalam banyak hadis, Nabi Muhammad SAW mengajarkan pentingnya menjaga hak tubuh, keluarga, dan waktu untuk beribadah.
Rasulullah bersabda:
إِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu, keluargamu memiliki hak atasmu, dan Tuhanmu memiliki hak atasmu. Maka berikanlah kepada masing-masing yang berhak, haknya.” (HR. Bukhari)
Dengan demikian, Islam tidak menolak produktivitas. Justru, Islam sangat mendorong umatnya untuk menjadi individu yang produktif dan bermanfaat. Namun, produktivitas yang Islami bukanlah kerja tanpa batas, melainkan kerja yang seimbang, bertujuan jelas, dan tidak melalaikan dari kewajiban akhirat.
Baca juga, Hasan Asy’ari Ulama’i: Meraih Keberkahan Hidup sebagai Muttaqun, Muhsinun, dan Shabirin
Budaya hustle bisa melalaikan apabila manusia terjebak dalam pencapaian duniawi semata, hingga melupakan akhirat. Hal ini diingatkan dalam firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)
Di sinilah letak perbedaan mendasar antara budaya hustle sekuler dengan kerja dalam Islam. Budaya hustle menempatkan kesuksesan materi sebagai tujuan utama. Sedangkan Islam mengajarkan bahwa dunia hanyalah jalan menuju kehidupan akhirat, dan kerja adalah bagian dari amal saleh jika disertai niat yang benar.
Muslim yang ideal adalah mereka yang bekerja keras namun tetap menjaga waktu salat, beristirahat cukup, berbuat baik kepada keluarga, dan tidak melupakan zikir serta ibadah. Dalam kerangka ini, produktivitas bukan semata-mata tentang output duniawi, tetapi juga tentang keberkahan dan orientasi akhirat.
Oleh karena itu, umat Islam perlu bijak menyikapi budaya hustle. Bekerja keras boleh, bahkan dianjurkan. Tetapi jangan sampai semangat kerja membuat kita lalai dari tujuan utama hidup: beribadah kepada Allah dan mencari rida-Nya.
Sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Kesimpulannya, Islam tidak anti kerja keras, tetapi menolak kerja yang melalaikan. Produktivitas dalam Islam harus bersifat seimbang dan membawa manusia lebih dekat kepada Allah SWT, bukan justru menjauhkan.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha