Islam Berkemajuan Vs Islam Berkemunduran
Islam Berkemajuan Vs Islam Berkemunduran (Belajar dari Buku Gerakan Islam Berkemajuan Karya Prof Haedar Nashir Halaman 56 – 62) (I).
Oleh : Arif Jamali Muis, M.Pd. (Sekretaris PWM DIY, Wakil Ketua BP Lazismu PP Muhammadiyah, & Staff Khusus Menteri Pendidikan, Dasar, dan Menengah RI)
PWMJATENG.COM – Pada saat Risalah Islam Berkemajuan diputuskan dalam Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Surakarta tahun 2022, muncul beberapa pertanyaan bahkan dari warga Muhammadiyah sendiri. (1) Kenapa Islam yang ditambah embel-embel berkemajuan? Kalau ada Islam berkemajuan pasti ada Islam Islam berkemunduran?!
Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si. menuliskan dalam bukunya (2024), “Pertanyaan itu wajar tumbuh bila pola pikirnya hanya bermain di aspek istilah atau bahasa, lebih–lebih jika ditarik secara dialektika yang berlogika sederhana atau verbal”.
Lebih lanjut Prof. Haedar menuliskan Islam sebagai agama atau ajaran sama sekali tidak tidak mengandung unsur yang mengajarkan kemunduran, ketertinggalan, kejumudan, dan kebodohan; akan tetapi sebaliknya, mengajarkan banyak sekali aspek berkemajuan. Kalaupun ada kemunduran atau kejumudan tentulah itu diakibatkan dari umat Islam itu sendiri. Islam mahjubun bil-muslimin, Islam itu tertutupi oleh umat Islam sendiri.
(2) Apakah dengan adanya “Islam berkemajuan” menjadikan umat Islam terbagi-bagi ke dalam kelompok, golongan, dan aliran?
Baca juga, Hidup Adalah Tiga Fase: Merencanakan, Menjalani, dan Melepaskan
Islam sebagai ajaran memang utuh dalam satu kesatuan wahyu Allah Swt. yang dibawa oleh Nabi Adam As. hingga Nabi akhir zaman, Muhammad Saw., yang membawa kebenaran mutlak dan absolut. Tetapi Islam dalam tafsir dan pemahaman maupun praktik keagamaan bersifat multigram atau banyak penafsiran atau tidaklah tunggal.
Menarik pergulatan pemikiran Ahmad Wahib yang ingin mencari hakekat Islam. Menurut Ahmad Wahib yang ia ketahui adalah Islam menurut Hamka, Islam menurut Nashir, Islam menurut Abduh, yang dia cari Islam menurut Allah sang pembuatnya. Maka menurut Ahmad Wahib, belajar Islam langsung studi dari Al Qur’an dan Sunnah. Tetapi Ahmad Wahid pun terjebak dalam subjektifitasnya sendiri, sebagaimana yang dia sampaikan, “Tapi orang lainpun akan beranggapan bahwa yang kudapat itu adalah Islam menurutku sendiri. Tapi biarlah yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kupahami itu adalah Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu”.
Pernyataan Ahmad Wahib ini sejatinya dia memutlakan pendapatnya dan bahkan terlalu berani mengklaim bahwa yang dipahami adalah Islam yang benar menurut Allah. Ketika Ahmad Wahib tidak ingin Islam dikapling-kapling justru terjebak pada pengakaplingan yang bias dan subjektif.
Nah persoalan klaim ini yang menjadi persoalan kita dalam interaksi beragama dalam tubuh umat Islam. Sikap untuk terus belajar dan memajukan Islam dan umat Islam tanpa merasa benar sendiri dan tetap terbuka dengan pemikiran-pemikiran tentang keIslaman dari berbagai sumber adalah sikap terbaik dan selanjutnya kita serahkan kepada pembuat Islam yang sejati Allah Swt., pemilik kebenaran yang Haqiqi. Wallahua’lam Bishawab.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha