IMMku Sayang, IMMku Malang
IMMku Sayang, IMMku Malang
Oleh : Muhammad Taufiq Ulinuha (Instruktur Madya IMM Jateng; Eks-Trainer DAP IMM Sulsel 2022)
PWMJATENG.COM – Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai salah satu organisasi otonom Muhammadiyah memiliki peran penting dalam membentuk kader intelektual Islam yang berdaya saing. Namun, di balik berbagai prestasi dan pencapaian yang telah diraih, IMM tidak lepas dari problematika struktural dan kultural yang menghambat optimalisasi peran dan fungsi organisasi.
Permasalahan ini bukan hanya menjadi kendala bagi internal organisasi, tetapi juga dapat memengaruhi perkembangan para kader IMM. Oleh karena itu, penting untuk memahami lebih dalam problematika struktural dan kultural yang ada, serta mencari solusi untuk mengatasinya.
Problematika Struktural dalam Organisasi
Struktur organisasi IMM yang berjenjang dan birokratis sering kali menjadi salah satu kendala utama. Struktur yang hierarkis, meskipun dirancang untuk menciptakan tata kelola yang teratur, sering kali menjadi penyebab lambannya pengambilan keputusan. Menurut Robbins dan Judge (2013), organisasi dengan struktur hierarkis cenderung menghadapi masalah dalam komunikasi antar-jenjang dan koordinasi yang kurang efektif.
Di tingkat akar, cabang dan komisariat IMM sering kali menghadapi kendala dalam hal sumber daya, baik itu finansial maupun tenaga. Banyak kader yang merasa terbebani oleh tuntutan organisasi, sementara mereka juga harus menyelesaikan tanggung jawab akademis. Akibatnya, banyak program kerja yang hanya bersifat seremonial tanpa substansi yang jelas.
Lebih lanjut, ketergantungan yang tinggi terhadap birokrasi juga membuat banyak kader merasa teralienasi dari proses pengambilan keputusan. Hal ini menciptakan jarak antara pengurus pusat dan kader di tingkat akar rumput. Teori pengelolaan organisasi oleh Mintzberg (1979) menegaskan bahwa struktur organisasi yang terlalu birokratis dapat mengurangi inovasi dan fleksibilitas, dua elemen yang penting dalam menjaga vitalitas organisasi.
Problematika Kultural dalam Organisasi
Selain masalah struktural, problematika kultural juga menjadi isu yang tak kalah penting. Kecenderungan untuk mempertahankan tradisi dan kebiasaan lama sering kali menjadi penghambat perubahan dalam IMM. Budaya organisasi yang terjebak dalam rutinitas dan pola pikir lama mengakibatkan resistensi terhadap inovasi dan transformasi. Teori budaya organisasi yang diungkapkan oleh Edgar Schein (2010) menyatakan bahwa perubahan dalam organisasi tidak akan terjadi tanpa adanya perubahan budaya.
Baca juga, Sukses Digelar! 91 Peserta Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji Lakukan Praktik Lapangan di Boyolali
Lebih jauh lagi, ada kecenderungan di beberapa struktur kepemimpinan IMM untuk menjadikan politik internal sebagai arena perebutan kekuasaan. Hal ini sering kali mengarah pada konflik kepentingan yang berdampak buruk pada kekompakan dan soliditas organisasi. Kepemimpinan yang berorientasi pada kelompok atau faksi tertentu juga menjadi penghalang dalam membangun solidaritas yang kuat di kalangan kader.
Budaya ini bukan hanya melemahkan kohesi internal, tetapi juga menciptakan suasana yang kurang kondusif bagi pengembangan potensi kader. Dalam jangka panjang, problematika kultural ini dapat merusak citra organisasi, baik di internal Muhammadiyah maupun di kalangan mahasiswa secara umum.
Solusi dan Refleksi
Untuk mengatasi problematika struktural dan kultural yang ada, IMM perlu mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan adaptif. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah desentralisasi dalam pengambilan keputusan. Menurut Robbins dan Coulter (2014), desentralisasi dapat meningkatkan partisipasi kader dalam pengambilan keputusan, mempercepat proses kerja, dan mengurangi ketergantungan pada birokrasi.
Selain itu, IMM perlu mereformasi budaya organisasi dengan mengadopsi nilai-nilai inovasi dan keterbukaan. Kader IMM harus diberi ruang untuk berinovasi dan menciptakan program-program yang relevan dengan perkembangan zaman tanpa terjebak dalam rutinitas lama yang tidak produktif. Transformasi budaya organisasi ini juga harus didukung oleh pemimpin yang memiliki visi inklusif dan berorientasi pada pengembangan potensi kader.
Menurut teori kepemimpinan transformasional yang dikemukakan oleh Bass dan Riggio (2006), pemimpin yang mampu menginspirasi dan memberdayakan anggotanya dapat menciptakan perubahan positif dalam organisasi. IMM memerlukan pemimpin yang tidak hanya berorientasi pada kekuasaan an sich, tetapi juga berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan intelektual, spiritual, dan humanitas para kader.
Ikhtisar
IMM sebagai organisasi mahasiswa yang berperan besar dalam pengembangan intelektual Islam harus mampu mengatasi problematika struktural dan kultural yang ada. Dengan melakukan reformasi pada struktur organisasi dan budaya internal, IMM dapat bergerak lebih dinamis dan adaptif terhadap perubahan zaman. Penting bagi setiap kader IMM untuk reflektif terhadap kondisi organisasi saat ini dan terus berupaya menciptakan ruang bagi inovasi, keterbukaan, dan partisipasi aktif di setiap jenjang organisasi. Dan satu lagi, kader IMM harus menjaga moral dan akhlak, karena dua hal ini adalah entitas inti yang harus dimiliki oleh kader IMM, sekalipun dia harus menggadaikan segala hal yang dimilikinya, termasuk jabatan dan harta.
Editor : Ahmad