Ibnu Djarir: Hari Santri dari Falsafah Pancasila
BEBERAPA waktu lalu PBNU mengusulkan kepada Presiden Jokowi agar merealisasikan penetapan Hari Santri sebagai hari besar nasional. Usulan tersebut berkait janji Jokowi pada kampanye pilpres. Sepintas, ide tersebut menggembirakan umat Islam Indonesia karena keberadaan santri dan peranannya diakui oleh pemerintah.
Namun ada juga suara-suara miring yang seolah mencemoohkan ide tersebut. Istilah santri menunjuk komunitas pemeluk agama Islam. Bukankah mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam? Bahkan jumlah umat Islam Indonesia terbesar dibanding umat Islam di negara-negara lain.
Umat Islam Indonesia terdiri atas varian-varian, sebagaimana umat-umat beragama lain. Pada zaman Belanda dibesar-besarkan perbedaan antara umat Islam mutihan dan umat Islam abangan karena penjajah mempunyai taktik divide et impera. Mutihan berasal dari Bahasa Arab muthiían, artinya orang yang menaati (ajaran agamanya), sedangkan abangan dari kata abaían artinya orang yang tidak menaati (ajaran agamanya).
Semenjak bangsa Indonesia memasuki masa kemerdekaan, perbedaan antara keduanya itu makin lenyap. Dari segi politik, umat Islam sejak Pemilu 1957 memasuki berbagai partai politik. Tersebar di berbagai partai politik itu, umat Islam tetap memelihara agamanya. Bahkan di partai mana pun mereka berupaya menyalurkan aspirasi keislamannya.
Partai yang ternyata membawa manfaat bagi umat Islam tentu mempunyai daya tarik terhadap mereka. Bila nanti benarbenar telah ditetapkan Hari Santri sebagai hari besar nasional tentu rakyat akan menghargai semua pihak yang memperjuangkannya. Pengertian suatu kata sering mengalami perubahan makna sesuai dengan pemahaman masyarakat. Misalnya kata-kata hostes, pengembang, dan pendekar.
Hostes semula artinya adalah nyonya rumah (hostess), tetapi sekarang artinya wanita yang menerima, menjamu dan menghibur tamu-tamu di kelab malam, bar, hotel, dan tempat hiburan lainnya. Pengembang artinya semula adalah orang yang mengembangkan, sekarang artinya kontraktor perumahan.
Pendekar artinya semula adalah orang yang pandai pencak silat, tetapi sekarang artinya pemimpim yang berani membela kaumnya atau pahlawan, seperti dalam kalimat, “Ibu kita Kartini pendekar bangsa”. Demikian juga halnya dengan kata santri. Kata santri erat kaitannya dengan kata pesantren.
Semula memang santri bermakna orang-orang yang mempelajari agama Islam di tempat tinggal khusus yang kemudian disebut pondok pesantren, karena mereka mondok di situ. Pelajar di pondok pesantren itu tidak hanya mempelajari ilmu agama Islam tetapi dididik oleh para kiai / ustadz untuk mengamalkannya.
Maka pengertian santri menunjuk pada orang-orang yang memiliki ilmu agama Islam dan mengamalkannya. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka lembaga pendidikan Islam tidak hanya pondok pesantren, tetapi anak-anak bisa belajar agama Islam di madrasah, sekolah, hingga perguruan tinggi.
Walhasil, orang-orang yang memiliki ilmu agama Islam dan mengamalkannya tidak hanya alumni ponpes. Kenyataannya sekarang kata santri mempunyai makna yang luas yaitu orang yang memiliki ilmu agama Islam dan mengamalkannya. Sebagai contoh kita mendengar orang berkata, ”Kepala sekolah kita sekarang santri, lo.
Dia menaruh perhatian besar untuk mendirikan mushala sekolah, agar murid rajin beribadah”. Ada juga ucapan lain, ”Komandan kodim kita itu santri, ia sering menjalankan Salat Jumat di masjid ini”. Kata santri dalam kedua kalimat itu menunjuk pada orang-orang yang mengamalkan agama Islam, meski belum tentu alumni pondok pesantren.
Lebih Dihargai
Kalau Presiden Jokowi telah menetapkan Hari Santri menjadi hari besar nasional, tentulah kepercayaan rakyat kepadanya makin besar dan sirnalah kampanye hitam terhadapnya yang diembusembuskan orang menjelang pilpres. Demikian pula alumni dan keluarga pondok pesantren serta umat Islam pada umumnya merasa bangga karena merasa lebih dihargai keberadaan dan peranannya dalam perjuangan bangsa melawan penjajah Belanda dan partisipasinya dalam pembangunan.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, umat Islam Indonesia, bersama umat beragama lain, dengan gigih berjuang melawan penjajah Belanda guna merebut kemerdekaan Indonesia. Bukankah pahlawan-pahlawan Islam telah tercatat dengan tinta emas dalam buku sejarah Indonesia? Penetapan Hari Santri tentu harus mendapat dukungan dari seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu pokok-pokok pikiran yang mendasari penetapan hari besar tersebut harus sesuai dengan falsafah Pancasila. Pokok-pokok pikiran tersebut antara lain (1). Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia; (2). Semangat cinta bangsa dan Tanah Air serta antikolonialisme dan imperialisme yang menjiwai para santri.
Kemudian, (3) Pendidikan keimanan dan ketakwaan serta karakter yang mendasari pendidikan Islam. (4).Pola hidup sederhana dan mandiri yang dibudayakan dalam kehidupan di ponpes. (5).Nilai-nilai positif yang mendasari kehidupan para santri perlu dihidupkan dengan subur dan dikembangkan sebagai bagian dari corak kepribadian bangsa Indonesia.
— Drs H Ibnu Djarir, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah. Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah Periode 2005-2010.
– Artikel ini juga dimuat di harian suara merdeka, 14 November 2014 (Fakhrudin)