Hukum Nikah Siyahi (Wisata) dalam Pandangan Islam
Hukum Nikah Siyahi dalam Pandangan Islam
Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag. (Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng)
PWMJATENG.COM – Nikah siyahi (wisata) atau kadang disebut juga nikah shaifi (nikah musim panas) cukup tenar belakangan ini. Kedua sebutan nikah ini terkait dengan aktifitas wisata yang bagi sebagian orang mungkin terasa belum lengkap kalau tidak dilengkapi dengan (maaf) hiburan seksual. Nah, sebagian pelancong muslim mencari apa yang disebut media dengan sebutan “wisata seks halal” sebuah aktifitas ‘pelacuran’ yang dibungkus dengan baju syariat nikah yang agung.
Memang rasa-rasanya sudah menjadi rahasia umum bahwa tempat-tempat wisata tidak sepi dari fasilitas atau layanan seksual baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Kadang praktek ini disamarkan dengan aktifitas lain semacam jasa pijat, layanan plus-plus dan lain-lain.
Di Indonesia sendiri, wisatawan yang datang dari Timur Tengah atau bangsa Arab pada umumnya mayoritas adalah muslim. Seawam-awamnya mereka tentu tahu bahwa hubungan seksual di luar nikah adalah haram dan tentunya dosa besar. Selain itu, di negeri yang mayoritas penduduknya muslim perbuatan zina umumnya ditolak dan sebagian lagi diancam sebagai tindakan pidana yang bisa berakibat hukuman kurungan sampai hukuman rajam. Berbeda dengan negara barat yang menganggap hubungan seksual suka sama suka adalah sesuatu yang bisa diterima secara sosial dan bukan tindak pidana karena tidak ada korban yang dirugikan di sini.
Maka tidak terlalu aneh kalau di negeri-negeri Arab yang mayoritas muslim terdapat ‘kreatifitas’ dalam pemunculan istilah dan model nikah jenis baru yang sebenarnya subtansi dan esensinya tidak jauh beda dengan model nikah mut’ah ataupun nikah dengan niat talak yang sudah dikenal ulama fikih masa lalu.
Pengertian Nikah Siyahi
Nikah siyahi memiliki beberapa sebutan di negeri Timur Tengah seperti nikah shaifi, nikah misyaf, nikah misfar dan lain-lain. (http://www.al-jazirah.com/2010/20100701/ar7.htm, diakses 11 November 2024) Nikah model ini ada kaitannya cukup erat dengan nikah dengan niat talak atau nikah mu`aqqat juga nikah mut’ah. Karena memang sejak awal tidak diniatkan untuk permanen, alias hanya sementara waktu saja yang tujuannya jelas hanya sekedar bersenang-senang saja selama melakukan wisata.
Nikah siyahi terdiri dari dua kata, yakni nikah dan siyahi. Pengertian nikah sendiri adalah akad yang menghalalkan hubungan pria dan wanita dengan memakai kata inkah atau tajwij. Sedang siyahi berasal dari kata saha-yasihu-siyahatan yang berarti dzahaba atau pergi. Pergi di sini dalam konteks untuk refreshing atau mencari hiburan alias bertamasya.
Adapun pengertian nikah siyahi menurut Fuad Hamud asy-Syaibani adalah pernikahan yang berlangsung antara laki-laki dan perempuan yang berlandaskan pilar-pilar utama terlaksananya sebuah pernikahan dari sisi akad yang sah, mahar, persetujuan keluarga, hanya saja pernikahan ini tidak bertahan untuk jangka waktu yang lama.( Yusuf ad-Duraiwisy, 2010 : 173)
Pernikahan model ini berlangsung ketika ada seorang wisatawan dari jauh atau luar negeri yang mengunjungi suatu negara lalu menikahi gadis atau wanita setempat dengan niat hanya dinikahi selama ia tinggal atau berwisata di tempat itu. Di beberapa negara, nikah siyahi juga disebut dnegan nikah shaifi atau nikah musim panas, karena nikah model ini dilaksanakan pada musim panas yang umumnya dipakai masyarakat negara teluk untuk berlibur ke tempat atau negara lain. ( Yusuf ad-Duraiwisy, 2010 : 173)
Pandangan Ulama Fikih
Seorang peneliti Islam Abdullah Al-Jifin menyebut pernikahan sementara tak memiliki landasan syariah. Menurutnya, nikah siyahi haram hukumnya. Bagaimana mungkin syariat bisa membenarkan sebuah pernikahan yang usianya hanya hitungan jam atau hari saja (https://www.republika.co.id/berita/126737/para-cendekiawan-saudi-minta-nikah-wisata-diharamkan, akses 21 November 2024)
Muhammad Shalih al-Munajjid dalam khutbahnya menyebut nikah ini dengan mengatakan :
“ Nikah siyahi adalah nikah mu`aqqat atautemporal, tidak diragukan lagi bahwa nikah ini melanggar prinsip dan dasar-dasar pernikahan dalam Islam, karena pada dasarnya pernikahan itu dalam Islam bersifat permanen atau selamanya, tetap, berkelanjutan, seterusnya dengan tujuan mencapai ketenangan jiwa, mendidik anak dan lain sebagainya. Hal ini tidak akan berhasil jika diputus di tengah jalan. Jelas ini adalah nikah temporal yang dilakukan semata-mata hanya untuk kesenangan syahwat semata. (https://ar.islamway.net/article/33249/الزواج-السياحي, diakses 11 November 2024)
Nikah dengan niat talak, yakni seorang menikahi wanita dalam hatinya sudah ada niat untuk menalaknya dalam masa tertentu namun hal ini dirahasiakan baik kepada istri maupun walinya tanpa mengungkapkan niat tersebut saat akad nikah. Hukum nikah ini diperselisihkan. Segolongan ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, dari kalangan Hanabilah didukung Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah berpendapat nikah dengan niat talak adalah sah. Di kalangan ulama kontemporer yang mengesahkan pernikahan ini adalah Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, Ibnu Jibrin, Muhammad al-Amin asy-Syanqithy, Muhammad Mukhtar asy-Syanqithy, dan Musthafa az-Zarqa. ( Sondos Anu Nasser, 2020 : 1200)
Sebagian ulama yang dipelopori mazhab Hanbali dan al-Auza’i berpendapat, nikah dengan niat talak adalah batal alias tidak sah. Ulama kontemporer yang menandaskan hal ini adalah Ahmad as-Suhaily, Muhammad Rasyid Ridha, Usamah al-Asyqar, juga fatwa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah. ( Sondos Anu Nasser, 2020 : 1200)
Ulama yang mengesahkan pernikahan dengan niat talak ini juga ada yang mengharamkan nikah ini untuk dilakukan seperti yang difatwakan Ibnu Utsaimin, Musthafa az-Zarqa, Yusuf al-Qardhawi, Majelis al-Arubiy li al-Ifta` wa al-Buhuts, Majma’ Fiqh al-Islami, dan Shalih Ali Manshur. (Sondos Anu Nasser, 2020 : 1202) Jadi nikah dengan niat talak itu sah namun haram dilakukan menurut ulama ini.
Baca juga, Resonansi Kebaikan untuk Masyarakat yang Berkeadaban
Nikah siyahi jelas kontroversial. Bisa jadi secara formal memenuhi syarat nikah, namun jika melihat maksud dan tujuan jelas tidak ideal. Bagaimana mungkin orang menikah sejak awal sudah diniatkan untuk hanya sementara, walau dalam akad tidak disebutkan batas waktunya agar supaya tidak dituding mempraktekkan nikah mut’ah yang di kalangan sunni sepakat mengharamkannya. Apalagi jika pihak wanita dan keluarga si wanita tidak tahu niat ‘jahat’ ini jelas akan menyakiti dan merugikan si wanita tersebut.
Pencegahan Nikah Siyahi
Mengingat besarnya madharat yang mungkin timbul akibat pernikahan model ini, sudah semestinya segenap elemen masyarakat berusaha mencegah dan menghindarinya. Masyarakat perlu difahamkan dan disadarkan akan resiko dan bahaya nikah siyahi ini. Nikah siyahi sendiri hukumnya masih diperselisihkan antara boleh dan tidak boleh, sah dan tidak sah. Selain itu, posisi perempuan dalam hal ini jelas lebih lemah dan rentan dirugikan, belum kalau misalnya sampai hamil atau melahirkan. Selain itu, penegakan hukum harus lebih tegas dan jelas dengan melarang pernikahan seperti ini dan jika perlu disediakan sanksi yang tegas baik berupa denda maupun kurungan. Tidak kalah penting masyarakat juga perlu disejahterakan supaya tidak menempuh cara-cara mencari nafkah dengan jalan yang banyak resiko ini.
Madharat Nikah Siyahi
Walau diyakini ada manfaat, tidak pelak bahwa nikah siyahi mengundang sejumlah masalah baik masalah hukum maupun sosial. Secara hukum nikah ini mirip nikah sirri alias tidak tercatat di catatan resmi. Sehingga kedudukannya sangat rapuh di mata hukum.
Madharat bagi kedua belah pihak jelas rawan tertular penyakit menular seksual karena bukan termasuk perilaku seksual yang aman. Gonta ganti pasangan jelas sangat berisiko tinggi tertular penyakit menular seksual.
Bagi istri, akan direpotkan lagi jika ia sampai hamil dan melahirkan sedang suami sudah pergi pulang ke negara asalnya. Hal ini jelas menjadi beban tersendiri bagi si wanita dan keluarganya.
Penutup
Nikah siyahi adalah salah satu nikah yang kontroversial dan beresiko cukup tinggi. Keabsahannya masih dipertanyakan di mata ulama dan ahli hukum. Kedudukannya sangat lemah karena tidak tercatat di kantor resmi pencatatan atau KUA. Rawan menularkan dan tertular penyakit menular seksual. Tujuan pernikahan tidak akan tercapai sebagaimana kalau pernikahan itu dilakukan secara permanen.
Pernikahan seperti ini jelas tidak direkomendasikan dilihat dari jurusan manapun. Sebaiknya kaum muslimin menjauhi dan tidak melaksanakan praktek nikah seperti ini. Semoga kita semua terhindar dari perkara syubhat dan kontroversial ini.
Dalam masalah seksual para ulama sangat berhati-hati dengan menetapkan kaidah (as-Suyuthi, 1983 : 135)
الأصل في الأبضاع التحريم )الأشباه والنظائر – شافعي (ص: 135)
Hukum asal masalah seksual adalah haram ( al-ashlu fi al-abdha’ at-tahrim) ini berarti untuk mendapatkan seks halal hanya ada satu jalan yakni menikah yang sah, legal, benar dan dicatatkan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Selain itu, ulama juga menggariskan kaidah, masalah pernikahan ditegakkan atas prinsip kehati-hatian (wara’), mengingat hukum asal masalah seks adalah haram. Dalam soal nikah ini kita harus lebih berhati-hati melebihi kehati-hatian kita dalam soal harta.
Daftar Pustaka
Al-Ahdal, al-Ankihah al-Fasidah Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, (ttp : tnp, tt)
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cetakan V, Kencana, Jakarta, 2014
Bakhtiar, “NIKAH WISATA; PENDEKATAN MAQASHID AL-SYARI’AH.” Kafaah: Journal of Gender Studies 2.2 (2012): 29-47.
http://www.al-jazirah.com/2010/20100701/ar7.htm
https://ar.islamway.net/article/33249/الزواج-السياحي
Muhammad Ibrahim Sa’d an-Nadi, az-Zawaj al-Mustahdats wa Mauqif al-Fiqh al-Islami minhu Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, Cet. I, (Manshurah : Dar al-Mawaddah, 2011)
Software al-Maktabah al-SyamilahVersi 3.62.
Sondos Abu Nasser, . “النكاح بنية الطلاق حكمه وأسباب الاختلاف فيه.” Dinbilimleri Akademik Araştırma Dergisi 20.2: 1195-1224.
عبد الجيد, and سهير صفوت. “زواج القاصرات بين التسلع والاتجار دراسة حالة لظاهرة الزواج السياحي في مصر.” حوليات أداب عين شمس 43.إبریل-یونیو (ب) (2015): 45-94.