Hijrah Ibrahim di Era Serba Instan: Belajar Ikhlas di Tengah Budaya Serba Cepat

PWMJATENG.COM – Di tengah era serba cepat dan instan, kehidupan manusia dipenuhi dengan keinginan serba segera. Segala hal diukur dari kecepatan respons, hasil cepat, dan pencapaian instan. Namun, dalam derasnya arus modernitas ini, kisah hijrah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam memberikan pelajaran mendalam tentang makna ikhlas, sabar, dan tunduk total kepada kehendak Ilahi.
Hijrah Nabi Ibrahim bukan sekadar perpindahan geografis, melainkan perjalanan spiritual yang penuh pengorbanan. Ia rela meninggalkan kampung halamannya, keluarga, bahkan menempatkan putra tercintanya di padang gersang atas perintah Allah. Keputusan itu bukan karena alasan duniawi, melainkan buah dari keyakinan dan kepatuhan yang tulus kepada Sang Pencipta.
Allah berfirman:
وَإِذِ ٱبْتَلَىٰٓ إِبْرَٰهِيمَ رَبُّهُۥ بِكَلِمَٰتٍۢ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya dengan sempurna.” (QS. Al-Baqarah: 124)
Ayat ini menegaskan bahwa Ibrahim adalah sosok yang tidak hanya diuji, tetapi juga berhasil menunaikan seluruh ujian dengan sempurna. Ia tidak memilih jalan pintas dalam taat, tidak mempersoalkan perintah Tuhan meski tak sejalan dengan logika manusia. Inilah esensi dari ikhlas—melakukan sesuatu semata-mata karena Allah, bukan karena kepentingan pribadi atau pengakuan publik.
Dalam budaya hari ini, di mana orang ingin cepat viral, cepat sukses, dan enggan bersabar, teladan Ibrahim terasa asing namun relevan. Kita seringkali enggan menunggu proses. Bahkan dalam beribadah pun, sering terdengar keluhan “kok belum terkabul juga?”, seolah Allah harus mengikuti timeline keinginan manusia.
Baca juga, Krisis Identitas Muslim Urban: Antara Tradisi, Modernitas, dan Spiritualitas
Padahal, keikhlasan sejati justru teruji dalam proses panjang dan dalam kesabaran yang tidak dihargai manusia. Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa ketulusan kepada Allah tidak membutuhkan sorotan dunia. Saat ia meninggalkan Hajar dan Ismail di padang tandus, tidak ada satu pun manusia yang melihatnya, namun Allah melihat dan mencatat pengorbanannya.
Firman Allah:
رَبَّنَآ إِنِّىٓ أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِى بِوَادٍ غَيْرِ ذِى زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ ٱلْمُحَرَّمِ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati…” (QS. Ibrahim: 37)
Dari ayat ini, jelas bahwa hijrah Ibrahim bukan langkah pragmatis, tapi spiritual. Ia mengorbankan kenyamanan demi menjalankan amanat Tuhan. Dalam konteks kekinian, ini seperti seseorang yang rela menunda kesuksesan duniawi karena memilih integritas, kejujuran, dan nilai-nilai ketauhidan.
Belajar dari Ibrahim, hijrah hari ini tidak melulu tentang berpindah tempat atau penampilan luar. Hijrah sejati adalah berpindah dari ketergantungan pada dunia menuju ketundukan pada kehendak Ilahi. Butuh kesabaran, ketekunan, dan ikhlas yang tidak terikat pujian.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Hijrah memiliki dua jenis: hijrah fisik dan hijrah hati. Dan yang lebih berat adalah hijrah hati karena ia menuntut perubahan niat dan kemurnian tujuan.”
Dalam era serba cepat ini, kita diuji dengan budaya instan. Namun, Islam mengajarkan bahwa segala yang bernilai tinggi lahir dari proses panjang, sebagaimana Ibrahim membangun fondasi ketauhidan dengan pengorbanan bertahun-tahun. Ia tidak tergesa, tidak pula kecewa atas keterlambatan pertolongan, karena ia tahu bahwa janji Allah selalu benar, meski terkadang datang di waktu yang tidak kita duga.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha