Etika Bercanda dalam Islam: Ora Waton Guyon

PWMJATENG.COM – Dalam kehidupan sosial, bercanda menjadi bagian tak terpisahkan dari interaksi antarindividu. Ia mencairkan suasana, menguatkan hubungan, dan menebar kebahagiaan. Namun, dalam perspektif Islam, bercanda bukan sekadar perkara selera atau kebiasaan. Ia terkait erat dengan nilai, prinsip, bahkan hukum syariat yang menuntut kecermatan dalam sikap dan ucapan.
Dalam sebuah kajian tarjih, dijelaskan bahwa bercanda dalam Islam tidak berdiri di ruang hampa. Ia terikat pada nilai-nilai (alqiyām al-āsāsiyyah), prinsip (al-uṣūl al-kulliyyah), dan hukum (aḥkām farʿiyyah) yang harus menjadi pijakan utama. Ada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang memberikan landasan jelas tentang etika dalam bergurau.
Nilai Dasar: Menjaga Martabat, Kebenaran, dan Tanggung Jawab
Nilai pertama yang menjadi dasar dalam bercanda adalah menjaga kehormatan manusia (karāmat al-insān). Allah berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
“Dan sungguh telah Kami muliakan anak-anak Adam…” (QS. Al-Isrā’: 70)
Dari ayat ini, jelas bahwa manusia memiliki martabat yang tidak boleh direndahkan, termasuk melalui candaan. Mengolok-olok, mengejek fisik, atau melabeli seseorang dengan sebutan kasar seperti “goblok” adalah bentuk pelanggaran atas kehormatan yang Allah berikan.
Nilai kedua adalah kejujuran dan kebenaran (al-ḥaqq wa al-ṣidq). Bercanda tidak boleh didasarkan pada kebohongan. Rasulullah ﷺ bersabda:
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ النَّاسَ بِالْكَذِبِ لِيُضْحِكَهُمْ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah bagi orang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa. Celaka baginya! Celaka baginya!” (HR. Abu Dawud)
Dalam realitas, banyak penceramah atau pelawak yang menyampaikan cerita rekaan. Hal itu diperbolehkan selama tidak mengandung dusta yang merusak akidah atau meremehkan agama. Namun tetap, sikap jujur harus menjadi pegangan utama.
Nilai ketiga adalah tanggung jawab (al-masʾūliyyah). Setiap ucapan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Firman Allah:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qāf: 18)
Prinsip Umum: Tidak Menyakiti dan Menjaga Batasan
Setelah nilai-nilai dasar, Islam juga menetapkan prinsip universal dalam bercanda. Pertama, bercanda tidak boleh menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Bentuknya bisa berupa body shaming, menyindir, atau menggunakan istilah-istilah yang mempermalukan. Ayat Al-Qur’an menegaskan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain…” (QS. Al-Ḥujurāt: 11)
Prinsip kedua adalah menjaga batasan dan adab (ḥifẓ al-ḥudūd wa al-ādāb). Setiap daerah memiliki norma berbeda, tetapi adab Islam tetap harus menjadi acuan utama. Candaan tidak boleh menjurus pada kata-kata kotor, pornografi, atau merendahkan nilai-nilai moral.
Prinsip ketiga, bercanda bertujuan mempererat hubungan sosial. Rasulullah sendiri sering menggunakan candaan untuk mencairkan suasana, mendekatkan diri dengan sahabat, atau menenangkan hati seseorang. Dalam satu riwayat, seorang wanita tua bertanya kepada Nabi, “Apakah aku akan masuk surga?” Nabi menjawab, “Tidak ada wanita tua di surga.” Wanita itu pun menangis, lalu Rasul melanjutkan, “Karena semua penghuni surga akan masuk dalam keadaan muda.” (HR. Tirmidzi)
Baca juga, Hukum Mengikuti Kegiatan Keagamaan bersama Pacar: Ibadah atau Maksiat Terselubung?
Terkait hukum, bercanda dalam Islam dibagi dalam beberapa kategori. Pertama, haram bila disertai dengan kebohongan atau penghinaan terhadap agama, ras, suku, atau fisik seseorang. Ini masuk dalam kategori zulmu al-lisān dan namīmah.
Kedua, makruh, yakni jika dilakukan secara berlebihan, baik dari segi frekuensi maupun isi. Candaan yang terus-menerus tanpa muatan ilmu bisa menurunkan wibawa majelis. Nabi bersabda:
لَا تُكْثِرُوا الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُـمِيتُ الْقَلْبَ
“Janganlah kalian banyak tertawa karena banyak tertawa itu mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah)
Ketiga, mubah bahkan sunnah, jika dilakukan dengan niat yang baik, jujur, dan tidak menyakiti. Candaan semacam ini bisa menjadi bentuk sedekah emosional, terutama saat menghadapi seseorang yang sedang dirundung duka.
Islam juga memperingatkan agar jangan sampai candaan digunakan untuk menghina agama. Dalam Al-Qur’an, Allah mencela orang munafik yang berkata:
إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ
“Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.”
Lalu Allah membalas:قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
“Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian memperolok-olok?” (QS. At-Taubah: 65-66)
Ayat ini menjadi peringatan agar tidak menjadikan agama sebagai bahan lelucon. Bercanda dengan memelesetkan ayat atau hadis adalah bentuk penghinaan terhadap wahyu.
Ikhtisar
Pada akhirnya, bercanda dalam Islam adalah seni yang luhur, bukan sekadar alat hiburan. Ia menuntut kepekaan, kejujuran, dan etika. Dalam dunia dakwah pun, candaan dapat menjadi sarana yang efektif jika digunakan secara proporsional dan bermartabat.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
إِنِّي لَأَمْزَحُ وَلَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا
“Sesungguhnya aku bercanda, tapi aku tidak berkata kecuali yang benar.” (HR. Tirmidzi)
Dengan demikian, umat Islam dituntut untuk menjadikan candaan sebagai sarana kebaikan, bukan sumber kerusakan. Sebuah senyum, jika disertai dengan kejujuran dan niat yang ikhlas, bisa menjadi ibadah yang ringan namun bermakna.
Kontributor : Fisabella
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha