Kolom

Ekologi dan Ekonomi: Dilema dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Ekologi dan Ekonomi: Dilema dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Oleh : Aziz Akbar Mukasyaf, S.Hut., M.Sc., Ph.D. (Dosen Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta)

PWMJATENG.COM – Ekologi dan ekonomi adalah dua bidang ilmu yang sering kali kontradiktif, terutama dalam konteks pembangunan. Ekologi berfokus pada keseimbangan alam dan pelestarian sumber daya alam, sedangkan ekonomi cenderung memprioritaskan pertumbuhan, efisiensi, dan keuntungan jangka pendek. Di Indonesia, perselisihan antara ekologi dan ekonomi ini terlihat jelas dalam berbagai kebijakan dan praktik pembangunan.

Ekologi adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya, termasuk interaksi antara berbagai spesies serta hubungan antara organisme dengan habitatnya (Kareiva & Marvier, 2001). Ekologi menekankan pentingnya keseimbangan dan kelestarian alam untuk keberlanjutan kehidupan di bumi. Prinsip dasar ekologi meliputi konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan habitat, penggunaan berkelanjutan sumber daya alam, dan pengendalian pencemaran. Ekologi berpegang pada prinsip bahwa segala sesuatu di alam saling berhubungan dan tergantung satu sama lain (Purba et al., 2023). Oleh karena itu, kerusakan pada satu komponen ekosistem dapat mengakibatkan dampak yang luas pada komponen lainnya

Di sisi lain, ekonomi adalah ilmu sosial yang mempelajari produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa. Ekonomi fokus pada bagaimana sumber daya yang terbatas tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tak terbatas, serta sering kali mengedepankan efisiensi dan pertumbuhan (Samuelson & Nordhaus, 2009). Prinsip ekonomi sendiri berpusat pada efisiensi, optimalisasi sumber daya, dan pertumbuhan ekonomi. Prinsip ini mendorong penggunaan sumber daya secara efektif untuk menghasilkan output maksimal dengan input minimal (Samuelson & Nordhaus, 2009). Namun, prinsip ini sering kali tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan.

Secara konsep, kedua bidang ini dapat bertentangan. Ekologi sering kali mengedepankan konservasi dan batasan penggunaan sumber daya, sementara ekonomi cenderung mendukung eksploitasi sumber daya untuk memaksimalkan keuntungan. Namun, dalam konteks pembangunan berkelanjutan yang pada zaman ini teruslah digaung-gaungkan untuk dicapai oleh semua negara, kedua hal tersebut harus dipadukan untuk mencapai kesejahteraan jangka panjang tanpa merusak lingkungan.

Indonesia, sebagai negara berkembang dengan sumber daya alam yang melimpah, menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Sustainable Development Goals (SDGs), yang diadopsi oleh Indonesia, secara kontekstual yaitu menekankan pentingnya integrasi antara tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam upayanya mencapai SDG, Indonesia telah mengimplementasikan berbagai kebijakan seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang memasukkan elemen keberlanjutan. Misalnya, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030 melalui strategi pembangunan rendah karbon. Selain itu, pemerintah juga mendorong penggunaan energi terbarukan dan praktik pertanian berkelanjutan untuk mengurangi degradasi lingkungan.

Akan tetapi, dalam pelaksanaan penerapan dilapangan penyeimbangan antara ekologi dan ekonomi yang ada di Indonesia sering kali terbentur oleh kepentingan-kepentingan ekonomi yang lebih mengedepankan pertumbuhan jangka pendek. Meskipun terdapat berbagai kebijakan dan inisiatif yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan, kenyataannya, implementasi di lapangan sering kali menunjukkan hasil yang berbeda. Akibatnya, dampak terhadap lingkungan sangat signifikan, termasuk laju deforestasi yang tinggi, pencemaran lingkungan, dan penurunan keanekaragaman hayati. masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam hal penegakan hukum lingkungan dan ketidakselarasan antara kebijakan pusat dan daerah.

Baca juga, Arti Keimanan: Kunci Kebahagiaan Dunia dan Akhirat

Menurut data dari Global Forest Watch (2020), Indonesia kehilangan sekitar 324.000 hektar hutan primer tropis pada tahun 2020. Laju deforestasi ini sebagian besar didorong oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit, penebangan liar, dan kegiatan pertambangan. Hilangnya hutan ini tidak hanya mengakibatkan yaitu hilangnya habitat bagi flora dan fauna yang endemik, tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca global. Sejalan dengan hal tersebut, Forest Watch Indonesia melaporkan bahwa deforestasi di Indonesia menyebabkan emisi sebesar 708 juta ton CO2 pada tahun 2019, yang setara dengan 60% dari total emisi karbon nasional (FWI, 2020).

Deforestasi adalah perubahan signifikan dari area hutan alami menjadi lahan non-hutan, seperti pertanian atau pemukiman. Deforestasi juga menyebabkan erosi tanah yang parah, mengakibatkan degradasi lahan, peningkatan risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, bahkan hingga hilangnya keanekaragaman hayati yang ada. Yang patut diperhatikan disini adalah penanaman kembali atau reboisasi atau reforestasi. Dengan iming-iming adanya dana dari proyek REDD+ dan untuk mengupayakan reforestasi dan mematuhi prinsip yang berlaku supaya dana proyek tersebut tetap cair, banyak sekali pihak pemerintah maupun swasta yang seakan berlomba untuk menghijaukan kembali Indonesia.

Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah masih adanya penggunaan tanaman (yang digunakan sebagai materi penanaman) yang tidak sesuai dengan tapak yang ada. Contoh sederhananya saja yaitu penanaman suatu area atau lahan kritis dengan tanaman komersial (misal: kopi). Tentu saja bagus toh kita melakukan reboisasi dan tanaman komersial tersebut bisa memproduksi hasil hutan non kayu yang bernilai ekonomi, tapi yang tidak disadari adalah apakah tanaman tersebut sesuai dengan tapak yang ada. Mungkin saja ada tanaman khas daerah tersebut yang bisa digunakan atau dijadikan prioritas pada waktu penanaman dan juga mungkin statusnya terancam punah. Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, namun kekayaan ini terancam oleh ketidaksadaran kita sebagai manusia.

Kurangnya pengetahuan terhadap keanekaragaman hayati yang ada, dan juga eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan pastinya akan mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman hayati yang ada. Penebangan hutan, ekspansi pertanian, dan aktivitas pertambangan juga telah menyebabkan penurunan jumlah spesies flora dan fauna secara drastis. Sebuah studi oleh World Wildlife Fund (WWF) (2020) menunjukkan bahwa lebih dari 50% spesies mamalia dan burung yang endemik di Indonesia terancam punah akibat hilangnya habitat dan perburuan liar. Misalnya, populasi orangutan Kalimantan telah menurun lebih dari 50% selama 60 tahun terakhir akibat deforestasi dan perburuan (WWF, 2020). Contoh lainnya yaitu pembangunan IKN.

Dengan adanya pembangunan IKN (Ibu Kota Negara), hal turut berpartisipasi terkait pengerusakkan ekosistem. Meskipun para penggagas IKN menganggap tidak merusak ekosistem apalagi dengan konteks yang diperkenalkan di IKN adalah Smart-Forest City dan akan melakukan program reforestasi. Akan tetapi, perubahan lahan yang mana awalnya hutan yang kemudian dikorbankan untuk pembangunan negara, hal tersebut tetap akan berakibat pada keseimbangan ekosistem yang ada. Apakah sudah dilakukan inventarisasi keanekeragaman hayati Kawasan yang kini sudah menjadi di IKN? Apakah sudah ada monitoring dan evaluasi dari inventarisasi keanekaragaman hayati tersebut? Seharusnya pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang menjadi tolak ukur dan pertimbangan Ketika ingin membangun IKN.

Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur telah menjadi salah satu proyek ambisius pemerintah Indonesia. Tujuan utamanya adalah mengurangi beban Jakarta, mempercepat pemerataan pembangunan, dan meningkatkan perekonomian di luar Pulau Jawa. Namun, proyek ini juga menimbulkan kekhawatiran yang signifikan mengenai dampak ekologisnya. Pembangunan infrastruktur skala besar di wilayah yang sebelumnya didominasi oleh hutan tropis dan ekosistem alami tentu akan membawa konsekuensi besar bagi lingkungan.

Baca juga, Larangan Menaati Perintah yang Zalim

Dampak ekologis yang paling signifikan dari pembangunan ini adalah penggundulan hutan dan hilangnya habitat. Pembangunan IKN memerlukan lahan yang luas, yang sebagian besar merupakan hutan primer dan hutan sekunder. Menurut data dari Forest Watch Indonesia (2021), sekitar 180.000 hektar hutan akan terpengaruh oleh pembangunan ini. Hilangnya hutan secara langsung mengancam habitat alami berbagai spesies flora dan fauna, termasuk spesies yang terancam punah seperti orangutan dan bekantan. Selain itu, penggundulan hutan dan konversi lahan besar-besaran dapat mengubah pola iklim lokal. Hutan tropis berfungsi sebagai penyerap karbon dan regulator iklim. Dengan berkurangnya tutupan hutan, diprediksi akan terjadi peningkatan suhu lokal dan perubahan pola curah hujan. Hal ini akan berdampak pada produktivitas pertanian dan mengganggu keseimbangan ekosistem setempat.

Tidak hanya itu, hilangnya vegetasi penutup tanah juga meningkatkan risiko erosi dan sedimentasi. Dengan tanah yang tidak terlindungi oleh vegetasi, air hujan akan lebih mudah mengalir di permukaan, meningkatkan risiko banjir dan erosi tanah. Daerah aliran sungai di sekitar lokasi pembangunan dapat mengalami peningkatan sedimentasi, yang berpotensi merusak kualitas air dan kehidupan akuatik. Proyek konstruksi besar-besaran ini juga menyebabkan pencemaran air dan udara. Polusi dari bahan bangunan, limbah konstruksi, dan kendaraan berat akan meningkatkan polutan di udara dan mengotori sumber air lokal. Penurunan ini menunjukkan betapa rapuhnya ekosistem Indonesia dan pentingnya upaya konservasi yang lebih kuat.

Ditambah lagi, aktivitas industri dan domestik di Indonesia juga turut berperan dalam menyebabkan pencemaran yang parah pada air, tanah, dan udara. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa lebih dari 75% sungai di Indonesia tercemar oleh limbah industri dan domestik, yang mencakup bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan pestisida (KLHK, 2021). Pencemaran ini tidak hanya mengancam kesehatan manusia dengan meningkatnya kasus penyakit air, tetapi juga mengganggu ekosistem akuatik, menyebabkan penurunan populasi ikan dan kehidupan air lainnya.

Selain itu, pencemaran udara di kota-kota besar seperti Jakarta telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan IQAir (2021), Jakarta sering kali masuk dalam daftar kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, dengan tingginya konsentrasi PM2.5 yang berbahaya bagi kesehatan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2020, sektor pertambangan dan penggalian memberikan kontribusi sekitar 7,2% terhadap PDB Indonesia. Namun, aktivitas ini juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, termasuk pencemaran air dan tanah akibat limbah tambang.

Salah satu contoh negara yang berhasil menyeimbangkan ekologi dan ekonomi dalam mendukung SDGs adalah Swedia. Negara ini menerapkan kebijakan ekonomi sirkular yang berfokus pada pengurangan limbah dan penggunaan kembali sumber daya. Swedia juga memiliki komitmen kuat terhadap energi terbarukan, dengan lebih dari 54% kebutuhan energinya dipenuhi dari sumber energi terbarukan pada tahun 2020 (IEA, 2021). Swedia berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dari level tahun 1990, sambil tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kebijakan yang tepat, pertumbuhan ekonomi dapat dicapai tanpa merusak lingkungan. Negara lainnya yang turut sukses dalam penyeimbangan ekologi dan ekonomi adalah Jerman dan Costa Rica.

Selain itu, ada Jerman melalui inisiatif Energiewende atau “transisi energi”, Jerman telah mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil dengan meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Pada tahun 2020, lebih dari 46% listrik Jerman diproduksi dari sumber energi terbarukan seperti angin, matahari, dan biomassa (Fraunhofer ISE, 2021). Selain itu, Jerman juga sangat menekankan efisiensi energi dalam sektor-sektor utama seperti industri, transportasi, dan perumahan. Standar KfW-Effizienzhaus, misalnya, memberikan insentif untuk pembangunan rumah yang hemat energi, yang pada gilirannya mengurangi emisi karbon tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, Jerman juga memiliki salah satu sistem pengelolaan limbah terbaik di dunia, dengan tingkat daur ulang mencapai sekitar 68% dari total limbah yang dihasilkan pada tahun 2020 (Statista, 2021).

Baca juga, Dunia Ini Panggung Sandiwara: Islam Memandang Kehidupan Duniawi

Costa Rica adalah negara dengan kebijakan konservasi yang ketat untuk melestarikan keanekaragaman hayati yang ada. Lebih dari 25% wilayah Costa Rica dilindungi sebagai taman nasional dan kawasan konservasi, yang membantu negara ini mempertahankan sekitar 5% dari keanekaragaman hayati dunia (Pagiola, 2008). Selain itu, Costa Rica juga sangat mengandalkan ekowisata sebagai salah satu pilar ekonominya. Destinasi ekowisata seperti Taman Nasional Tortuguero dan Hutan Awan Monteverde tidak hanya melindungi ekosistem yang unik, tetapi juga mendukung ekonomi lokal melalui pariwisata yang berkelanjutan. Dalam hal transisi energi, Costa Rica juga menjadi contoh yang baik, dengan lebih dari 98% kebutuhan listriknya dipenuhi dari sumber energi terbarukan seperti air, angin, dan geotermal pada tahun 2020 (IEA, 2021).

Oleh karena itu, diperlukan upaya serius untuk meminimalisir dampak negatif ini guna mencapai pembangunan berkelanjutan, terutama di Indonesia. Upaya-upaya yang bisa dilakukan secara umum:

Implementasi Pembangunan Berkelanjutan

Salah satu cara utama untuk meminimalisir dampak negatif pembangunan ekonomi terhadap lingkungan adalah dengan mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan tidak hanya secara kontekstual tapi juga dilapangan. Konsep ini menekankan pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan kesejahteraan sosial. Pemerintah Indonesia sebetulnya punya aturan seperti Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, yang mengharuskan setiap proyek pembangunan untuk melakukan analisis dampak lingkungan (AMDAL) sebelum dimulai suatu kegiatan.

Akan tetapi perlu adanya pendisiplinan antara insitusi peninjau AMDAL dan institusi yang ditinjau lingkungannya (dalam hal ini perusahaan), sehingga AMDAL tidak hanya bersifat “dokumen” saja. Melainkan sebagai nilai pertimbangan dalam pembuatan, pengembanagn, dan pengelolaan sebuah perusahaan. Dengan demikian, potensi kerusakan lingkungan dapat diidentifikasi dan diminimalisir sejak tahap perencanaan. Ditambah juga, pemerintah perlu memperkuat regulasi dan sanksi terhadap pelanggaran lingkungan, termasuk dalam hal deforestasi ilegal dan pencemaran ataupun lainnya yang mengancam keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia.

Penggunaan Teknologi Ramah Lingkungan

Teknologi ramah lingkungan atau “green technology” juga menjadi kunci untuk mengurangi dampak negatif pembangunan ekonomi. Di sektor energi, misalnya, pemerintah telah mempromosikan penggunaan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan hidro. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2021), Indonesia menargetkan 23% dari total kebutuhan energinya akan dipenuhi oleh energi terbarukan pada tahun 2025. Selain itu, sektor industri didorong untuk mengadopsi teknologi yang lebih efisien dan bersih guna mengurangi emisi gas rumah kaca dan limbah industri.

Reboisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Reboisasi dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan juga penting untuk meminimalisir dampak negatif dari pembangunan. Deforestasi yang masif, terutama di pulau-pulau besar seperti Kalimantan dan Sumatera, telah menyebabkan hilangnya habitat, erosi tanah, dan penurunan kualitas air. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah meluncurkan program reboisasi dan restorasi ekosistem, seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Selain itu, pengelolaan sumber daya alam yang lebih bijaksana diperlukan untuk memastikan bahwa eksploitasi sumber daya, seperti penambangan dan pertanian, tidak merusak lingkungan secara permanen. Yang menjadi perhatian utama adalah menanam tanaman yang sesuai dengan tapak yang ada. Tanaman lokal bisa dijadikan bagian dalam kearifan local Ketika kita melakukan penanaman atau reboisasi.

Edukasi dan Kesadaran Lingkungan

Selain kebijakan dan teknologi, hal yang menjadi bagian terpenting dalam upaya mitigasi ini adalah edukasi dan kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat. Edukasi dan kesadaran masyarakat terkait lingkungan dan pelestarian lingkungan juga memainkan peran penting dalam berhasil atau tidaknya pelestarian lingkungan. Masyarakat yang sadar akan pentingnya pelestarian lingkungan akan lebih cenderung mendukung praktik-praktik ramah lingkungan dan menuntut akuntabilitas dari pemerintah serta sektor swasta. Program pendidikan lingkungan yang dimulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi dapat membantu membentuk generasi yang lebih peduli terhadap keberlanjutan lingkungan. Untuk itu, pemerintah dan organisasi non-pemerintah (LSM) perlu meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya pelestarian lingkungan melalui kampanye edukasi dan pelatihan.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE