DAPUR, SUMUR, KASUR
ALKISAH singa sang raja hutan akan melangsungkan pernikahan, semua binatang berkumpul menyaksikan dari kejauhan tidak ada yang berani mendekat kecuali seekor kucing. Sang raja hutan menjadi gusar atas keberaniannya kemudian bertanya “Mengapa kamu berani mendekatiku wahai Kucing?”. “Maaf paduka bukan maksud hamba lancang, ada hal penting yang ingin hamba sampaikan pada paduka.” Menahan rasa penasaran sang raja membiarkan kucing mendekatinya membisikkan sesuatu. “Paduka dahulu badan saya tinggi besar, gagah dan ditakuti tapi setelah menikah saya berubah menjadi seekor kucing.”
Membaca anekdot di atas saya tersenyum-senyum sambil berpikir imajinasi kita dapat melayang kemana-mana menginterpretasi cerita itu.
Sebuah lagu dangdut lawas berjudul Abah Emak yang dinyanyikan keroyokan oleh grup manis manja grup membuka memori saya tentang kesan feyoratif atas fungsi seorang wanita yang lebih banyak berkutat di tiga ranah yaitu sumur, dapur, kasur. Beberapa bait syairnya
Abah…Emak…
Aku tidak mau dikawinkan terlalu muda
Aku takut nanti tugasku bisa hanya mampu di dapur di dapur dan di sumur, di sumur dan di kasur…
Dahulu saya berpikir melayani suami di rumah, mengasuh anak, melakukan pekerjaan domestik kerumahtanggaan adalah hal yang menyandera perempuan di rumah, perempuan seperti kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi terbaik dirinya meraih prestasi cemerlang di luar. Sedikit banyak wacana feminisme melalui kesetaraan gender mempengaruhi pola pikir saya saat itu.
Suatu hari ada seorang laki-laki datang ke rumah Umar Bin Khatab ingin mengadukan kegalauan hatinya atas prilaku istrinya yang sering marah-marah. Sesampainya di depan pintu rumah sang khalifah ia mendengar suara seorang wanita sedang marah dalam nada tinggi menumpahkan kekesalan dan emosinya pada sang khalifah, tidak terdengar bantahan sedikit pun dari kemarahan itu. Sahabat tadi urung mengetuk pintu rumah sang khalifah ia berbalik kembali untuk pulang. Beberapa langkah ia berjalan sang khalifah keluar dari rumah dan memanggilnya. ” Wahai sahabat ada keperluan apa kamu datang ke rumahku?”Laki-laki itu berbalik dan mendekat. “Saya ingin meminta nasihatmu wahai Amirul Mu’ minin tentang istriku yang sering marah- marah tapi ku dengar tadi istrimu pun sedang memarahimu maka aku memutuskan untuk pulang karena aku tidak ingin mengganggumu.” Sang khalifah tersenyum dan berkata, ” Wahai sahabatku istriku telah memasakkan makananku, mencuci pakaianku dan mengasuh anak-anakku.” “Hatiku menjadi tentram dan terhindar dari kejahatan syahwatku karena pelayanannya maka sudah sepantasnya aku bersabar dan tidak membalas kemarahannya dengan kemarahan”. Sang khalifah menasehati laki- laki itu untuk menghadapi kemarahan dan prilaku buruk istrinya dengan kesabaran karena menurutnya hal tersebut tidak akan berlangsung lama. Umar Bin Khatab adalah khalifah kedua setelah Abu Bakar As-Siddiq seorang laki- laki yang dikenal sangat keras, tegas dan garang prilakunya terhadap musuh-musuhnya, konon setan pun enggan pada sang khalifah sehingga memilih jalan lain bila berpapasan dengannya. Walau demikian ketika menghadapi istrinya Umar Bin Khatab menjadi sosok laki-laki yang sangat lembut dan sabar.
H.Rusydi Hamka bercerita tentang kisah romantik orangtuanya dalam bukunya berjudul Pribadi dan Martabat. Suatu hari ketika sedang melawat ke Makasar Ummi panggilan untuk istri Buya Hamka didapuk untuk berpidato di hadapan publik maka tampillah Ummi memberi sambutan singkat, selepas salam ia berkata “Saya diminta berpidato tapi sebenarnya Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak sendiri memaklumi, bahwa saya tidak pandai pidato. saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato, dengan memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya. Oleh karena itu, maafkan saya tidak bisa bicara lebih panjang . Wassalamualaikum warohmatullah.” Ummi atau Siti Raham Binti Endah perempuan yang dinikahi Buya Hamka sejak ia berusia 15 tahun, mampu membuat Buya Hamka meneteskan air mata seketika, haru dan bahagia tatkala mendengar ucapannya di hadapan khalayak sehingga Buya Hamka semakin mencintainya.
Cinta Buya Hamka pada istrinya lestari bahkan setelah bertahun-tahun istrinya wafat pun Buya enggan menikah lagi kalau bukan karena menuruti desakan anak-anaknya mengingat kondisinya yang sakit-sakitan dan membutuhkan perawatan seorang istri.
Penghargaan dan cinta Buya Hamka sangat mendalam pada pribadi sederhana istrinya yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mendukung perjuangannya dan tidak pernah ada ruang bagi wanita lain dalam hatinya selama istrinya masih mendampinginya.
Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili dalam kajian tentang hukum wanita mengurus rumah tangga menerangkan ulama bersepakat bahwa seorang wanita mengurus rumah tangga adalah perkara yang baik dan pelakunya layak diganjar pahala juga diapresiasi dengan baik. Namun para ulama berbeda pendapat tentang apakah hal itu perkara wajib atau tidak.
Beberapa ulama Malikiyah, banyak ulama Syafiiyah dan banyak ulama Hanabilah berpendapat bahwa wanita tidak wajib mengurus rumah tangga karena tidak ada klausul itu dalam akad nikah, kewajiban istri hanyalah sebatas melayani suami di ranjang.
Sebagian ulama memilliki pandangan yang berbeda diantaranya beberapa ulama Hanafiyah, banyak ulama Malikiyah, sebagian kecil ulama Syafiiyah dan sebagian kecil ulama Hanabilah, menurut mereka wanita mengurus rumah tangga adalah wajib. Landasan argumen mereka adalah pada apa yang telah dilakukan oleh para wanita di zaman Rosul SAW dan kisah putri Rosul SAW Fatimah Az Zahra.
Fatimah putri bungsu Rosulullah SAW pernah meminta ayahnya untuk memberinya seorang budak yang bisa membantunya dalam urusan rumah tangga mengingat beratnya beban pekerjaan rumah tangga yang dipikulnya. Nabi tidak mengabulkan permohonannya melainkan mengajarinya sebuah amalan yang dapat mengurangi beban kepenatan hidupnya yaitu bertasbih 33 kali, bertahmid 33 kali dan bertakbir 34 kali menjelang tidur. Rosul tetap menganjurkan putrinya untuk membantu pekerjaan suaminya dan tidak memprotes menantunya (Ali Bin Abi Thalib) karena hal tersebut.
Al Quran memotret wanita sangat lengkap pada berbagai posisi dan perannya dalam kehidupan. Empat peran wanita yang dapat ditadaburi dari kisah- kisah wanita dalam kitab suci yaitu sebagai pribadi, sebagai istri sebagai ibu dan sebagai makhluk sosial. Al Quran menurut Ustadz Budi Ashari dalam sebuah kajian lebih banyak memotret wanita dalam perannya sebagai seorang istri bukan sebagai seorang ibu maupun peran-peran lainnya. Maka urutannya menjadi sebagai berikut: istri, Ibu, pribadi dan sosial. Menjadi pertanyaan adalah mengapa peran dominan sebagai istri bukan sebagai ibu? Menurut Ustadz Budi Ashari bila wanita mengambil peran sebagai istri dengan maksimal maka perannya sebagi ibu akan terbantu secara otomatis.
Contohnya kita dapat mentadaburi kisah keluarga Imron maupun keluarga Nabi Ibrahim AS. Istri Imron dan dua istri Nabi Ibrahim AS adalah tauladan sejati bagaimana seorang perempuan mengambil peran maksimal sebagai istri sehingga dari keluarga mereka lahirlah generasi terbaik : Maryam, Ismail dan Ishaq. Sebagai pembanding kita dapat mentadaburi kisah keluarga Nabi Nuh AS dan Nabi Luth AS . Al Quran mengisahkan bahwa istri Nabi Nuh AS dan Nabi Luth AS adalah istri-istri yang tidak taat pada para suaminya sehingga anak-anaknya pun menjadi anak-anak pembangkang.
Waktu yang bergulir dan proses belajar yang terus berlanjut mengajari saya sebuah keyakinan baru tentang tugas utama dan mulia seorang wanita itu di rumah diantaranya memasakkan makanan keluarganya, mencucikan pakaiannya, melayani suaminya serta mendidik dan mengasuh anak-anaknya. Paradigma baru ini mendapati momentumnya ketika wabah covid 19 melanda Indonesia. WFH memaksa saya untuk menyentuh wilayah yang jarang saya jamah yaitu wilayah dapur. Kesibukan di sekolah serta tugas kedinasan di luar membuat saya mempercayakan urusan dapur pada asisten rumah tangga, mulai dari pilihan menu keluarga, pembelanjaan bahan makanan yang akan dimasak, memasak sampai menghidangkan makanan di meja saji .
Tiga bulan belajar masak di dapur menumbuhkan keyakinan yang sangat kuat bahwa pekerjaan ( memasak) yang dulu tidak pernah menjadi perhatian serius dalam hidup saya menjadi aktifitas yang sangat menggairahkan dan mendatangkan kebahagiaan baru di dalam rumah. Mengamati binar bahagia suami yang puas dengan hasil masakan dan kegembiraan anak-anak menikmati hidangan yang variatif setiap hari menghadirkan perasaan yang tidak dapat saya lukiskan dalam kata-kata. Aktifitas memasak tidak sesederhana memproses dan mengolah bahan baku menjadi makanan yang lezat disantap namun juga menjadi amalan ruhani yang memenuhi dahaga jiwa.
Wallahu a’lam.
Kerjo, 10 Juli 2020
Hayati Nufus
(penulis adalah ibu rumah tangga dan seorang guru)