Khazanah Islam

Cara Duduk Tahiyat Akhir dalam Salat yang Hanya Dua Rakaat

Cara Duduk Tahiyat Akhir dalam Salat yang Hanya Dua Rakaat

Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag. (Dosen UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah)

PWMJATENG.COM – Salat Subuh, Jumat, dan salat-salat yang jumlahnya cuma dua rakaat duduk tahiyyatnya iftirasy atau tawarruk? Paham umum yang sudah lama dijalankan baik di lingkungan Muhammadiyah maupun NU adalah seperti fatwa dalam mazhab Syafi’i bahwa semua duduk tasyahud akhir adalah dengan cara tawarruk.

Namun setelah kemunculan Salafi di masyarakat, paham lama ini mulai ‘diusik’ dengan fatwa cara duduk salat yang hanya dua rakaat adalah dengan iftirasy. Sebenarnya perbedaan ini ringan dan sepele, namun bagi sebagian jamaah tentunya bisa timbul pertanyaan atau anggapan yang berbeda. Maka dari itu tidak ada jeleknya jika kita bahas dalam tulisan ini.

Pandangan Fuqaha[1]

Dalam salat, kita mengenal dua macam duduk, yakni duduk isftirasy dan duduk tawarruk.[2] Duduk iftirasy adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri kemudian menduduki kaki kiri tersebut. Sedangkan duduk tawarruk adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menghamparkan kaki kiri ke depan (di bawah kaki kanan), dan duduknya di atas sajadah atau lantai.[3] Dengan penjelasan lain, duduk iftirasy adalah duduk bersimpuh, yaitu posisi duduk dengan kedua belah kaki terlipat ke belakang untuk tumpuan badan. Pada duduk iftirasy, kedua tumit kaki menjadi penopang bokong, dengan posisi punggung telapak kaki kiri menghadap ke lantai. Sedangkan posisi kaki kanan hampir sama, hanya saja ditambah dengan sedikit menekukkan jari-jari kaki kanan ke arah depan seakan-akan mengikuti arah kiblat.[4]

Dalam masalah duduk tasyahud terdapat perselisihan pendapat di kalangan para ulama. Perselisihan tersebut adalah sebagai berikut:[5]

  1. Pendapat pertama, yaitu pendapat Imam Malik dan pengikutnya, duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk tawarruk.  Hal ini berlaku sama antara pria dan wanita.
  2. Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk iftirasy.[6]
  3. Pendapat ketiga, yaitu pendapat Imam Asy Syafi’i. Beliau membedakan antara duduk tasyahud awal dan akhir. Untuk duduk tasyahud awal, beliau berpendapat seperti Imam Abu Hanifah, yaitu duduk iftirasy. Sedangkan untuk duduk tasyahud akhir, beliau berpendapat seperti Imam Malik, yaitu duduk tawarruk. Jadi menurut pendapat ini, duduk pada tasyahud akhir yang terdapat salam –baik yang salatnya sekali atau dua kali tasyahud- adalah duduk tawarruk. Duduk tawarruk terdapat pada setiap rakaat terakhir yang diakhiri salam karena cara duduk demikian terdapat do’a, bisa jadi lebih lama duduknya. Sehingga duduknya pun dengan cara tawarruk karena cara duduk seperti ini lebih ringan dari iftirasy. Cara duduk demikianlah yang kita sering saksikan di kaum muslimin Indonesia di sekitar kita yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i.[7]
  4. Pendapat keempat, pendapat Imam Ahmad dan Ishaq. Jika tasyahudnya dua kali, maka duduknya adalah tawarruk di rakaat terakhir. Namun jika tasyahudnya cuma sekali, maka duduknya di rakaat terakhir adalah duduk iftirasy.[8]
  5. Pendapat kelima, pendapat Ibnu Jarir Ath-Thabari. Beliau berpendapat duduk tasyahud dengan tawarruk maupun iftirasy, semuanya dibolehkan. Alasannya karena semuanya diriwayatkan dari Nabi SAW. Jadi boleh memilih dengan  tiga cara duduk tersebut. Terserah mau melakukan yang mana. Ibnu ‘Abdil Barr sendiri lebih cenderung pada pendapat yang satu ini.[9]
Pandangan Salafi

Ulama Salafi sendiri dalam hal ini berbeda pendapat. Ada yang mengunggulkan mazhab Syafi’i namun ada juga yang mengunggulkan mazhab Hanbali. Ada yang menyampaikan dengan lunak, yakni mengakui ada perbedaan pendapat dan memberi jamaah kebebasan untuk memilih, namun ada yang langsung memihak atau mengunggulkan pendapat mazhab Hanbali dan ‘menggiring’ jamaah untuk mengikutinya.

Ustaz Salafi yang mengunggulkan pendapat mazhab Syafi’i :
  1. Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal misalnya malah mengunggulkan pendapat Imam asy-Syafi’i dengan menyatakan dalam tulisannya.

 “ Pembahasan ini menunjukkan bahwa  pendapat terkuat adalah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. Ketika tasyahud awal, duduknya adalah iftirasy. Ketika tasyahud akhir –baik yang dengan sekali atau dua kali tasyahud- adalah dengan duduk tawarruk. Demikian pendapat terkuat dari hasil penelitian kami terhadap dalil-dalil yang ada”.[10]

2. Al-Ustaz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Di akhir tulisannya beliau menyimpulkan sebgai berikut :

“ Dari empat mazhab di atas dalam masalah sifat duduk tasyahhud, maka mazhab Syafi’iy dan Ahmad yang lebih kuat dari mazhab Abu Hanifah dan Malik. Kedua imam besar di atas telah menetapkan bahwa sifat duduk tasyahhud ada yang iftirasy dan ada yang tawarruk. Kemudian keduanya berselisih dalam menempatkan sifat duduk tawarruk. Syafiiy mengatakan bahwa setiap akhir salat salat sifat duduknya adalah tawarruk. Ahmad mengatakan bahwa tawarruk khusus untuk salat yang mempunyai dua tasyahhud.

Yang lebih kuat dalam masalah tawarruk -sepanjang penelitian saya yang cukup dalam dan lama- adalah Syafi’iy yaitu setiap duduk akhir tawarruk.[11]

Ustaz Salafi yang mengunggulkan mazhab Hanbali

Sementara itu ulama Salafi yang sering dijadikan rujukan fatwa di kalangan Salafi, Syaikh Al-Albani berkata dalam silsilah ahadis adh-dha’ifah sebagai berikut :

والصواب الذي تدل عليه الأحاديث الصحيحة : أن الافتراش هو الأصل و السنة ؛ على حديث ابن عمر المخرج في « الإرواء » ( 317 ) ، ونحوه حديث عائشة الذي قبله ( 316 ) ؛ فيفترش في كل جلسة وفي كل تشهد ؛ إلا التشهد الأخير الذي يليه السلام ؛ كما جاء مفصلاً في حديث أبي حميد الساعدي

“Yang benar sebagaimana ditunjukan oleh hadis-hadis yang sahih bahwasanya duduk iftirasy adalah asal (duduk dalam salat-pen) dan merupakan sunnah berdasarkan hadis Ibnu Umar yang telah ditakhrij di kitab Al-Irwaa no 317, dan juga semisalnya hadis Aisyah sebagaimana ditakhrij sebelumnya no 316. Maka seseorang duduk iftirasy di setiap duduk (dalam salat) dan di setiap tasyahhud, kecuali tasyahhud akhir yang diikuti dengan salam, sebagaimana telah datang secara terperinci dalam hadis Abu Humaid As-Saa’idi” (Silsilah Al-Ahadis Ad-Dla’ifah 12/268)

Syaikh al-Utsaimin menyatakan dalam Liqa` al-Bab al-Maftuh sebagai berikut :

محل التورك في الصلاة

Q متى يجلس المصلي جلسة التورك في الصلاة وفي أي صلاة؟

A التورك يكون في التشهد الأخير في كل صلاة ذات تشهدين، أي: الأخيرة من المغرب، والأخيرة من العشاء، والأخيرة من العصر، والأخيرة من الظهر، أما الصلاة الثنائية كالفجر وكذلك الرواتب فإنه ليس فيها تورك، التورك إذاً في التشهد الأخير في كل صلاة فيها تشهدان. لقاء الباب المفتوح (71/ 22،)

Tempat duduk tawarruk dalam salat

Soal : Kapan seseorang duduk tawarruk dalam salat dan dalam salat apa?

Jawab : Duduk tawarruk dilakukan pada duduk tasyahud akhir dalam setiap salat yang memiliki dua tasyahud, yakni duduk tasyahud akhir dalam salat maghrib, Isyak, Ashar, dan Zhuhur. Adapun dalam salat dua raka’at (yang hanya memiliki satu tasyahud) seperti salat Subuh dan rawatib maka duduknya tidak tawarruk, jadi duduk tawaruk hanya dikerjakan jika dalam salat itu ada dua tasyahud (tasyahud awal dan akhir).[12]

Berikutnya, Ustaz Dzulqarnain mengunggulkan pendapat mazhab Hanbali yakni duduk iftirasy untuk salat yang hanya ada satu tasyahud, namun juga menegaskan tidak ada masalah jika berbeda dari yang ia pilih.[13]

Sementara ustadz Badrus Salam juga mengunggulkan pendapat, kalau salat yang hanya memiliki satu tasyahud maka cara duduknya adalah duduk isftirasy.[14]

Adapun hadis-hadis yang dirujuk untuk menguatkan pendapat ini di antaranya :

Pertama, hadis Aisyah RA, beliau berkata :

وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Adalah beliau (Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ) mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).”(HR Muslim).

Kedua, Hadis Abdullah bin Az-Zubair

كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ اْليُسْرَى، وَنَصَبَ اْليُمْنَى


“Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Hibban).

Ketiga, Hadis Wail bin Hujr RA bahwa beliau berkata:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى


“Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika duduk dalam salat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Dalam lafal yang lain

فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Tirmidzi).

Dalam lafal yang lain :

وإذا جَلَسَ افْتَرَشَ

Dan jika Nabi duduk (dalam sholat-pent) beliau beriftirosy (HR At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)

Bagaimana istidlalnya? Sisi pendalilan mereka adalah keumuman lafal-lafal hadis ini, dan semua lafal-lafal di atas termasuk lafal-lafal umum, seperti, “Ketika duduk”, “Jika duduk”, “Tatkala beliau duduk”[15]

Pandangan Muhammadiyah[16]

Dalam menanggapi masalah ini Tim tarjih menjelaskan sebagai berikut :

Masalah yang saudara tanyakan memang merupakan masalah yang sering ditanyakan pada akhir-akhir ini. Hal ini karena sering dijumpainya pelaksanaan cara duduk pada rakaat terakhir dalam salat 2 (dua) rakaat, seperti salat subuh dan salat sunat yang berbeda dengan yang selama ini dilaksanakan oleh mayoritas muslim pada umumnya. Untuk menjawab pertanyaan saudara, apakah duduk pada salat wajib atau sunnat yang jumlah rakaatnya 2 (dua) itu duduk iftirasy atau tawarruk, perlu kami sampaikan bahwa Tim Fatwa Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah memberikan jawaban singkat tentang pertanyaan dalam masalah ini dengan merujuk kepada hadis sebagai berikut;

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا مَعَ نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْنَا صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلَا قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَىوَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ. [أخرجه البخارى: الصلاة: سنة الجلوس فى التشهد]

Artinya: “Diriwayatkan dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’, bahwa ketika ia duduk bersama beberapa orang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menceritakan cara salat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berkatalah Abu Humaid as-Saa‘idiy: Saya adalah orang yang paling hafal salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya melihat beliau ketika bertakbir menjadikan (mengangkat) kedua tangannya setentang dengan bahunya, dan apabila ruku‘ beliau meletakkan kedua tangannya dengan kuat pada lututnya serta membungkukkan punggungnya, apabila mengangkat kepala beliau meluruskan (badannya) sehingga semua tulang-tulang kembali pada tempatnya. Kemudian apabila bersujud beliau meletakkan kedua tangannya dengan tidak membentangkannya dan tidak pula menyempitkan keduanya serta menghadapkan semua ujung jari-jari kedua kakinya ke arah qiblat. Kemudian apabila duduk pada raka’at kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan mendirikan tapak kaki kanannya, dan apabila duduk pada raka’at terakhir, beliau memajukan kaki kirinya ke depan dan mendirikan tapak kaki yang lain (kanan) dan duduk di tempat duduknya.” [Ditakhrijkan oleh al-Bukhariy: ash-Shalah: Sunah al-Julus fi at-Tasyahhud)

Perlu diketahui, apabila memperhatikan hadis-hadis tentang tata cara salat, maka dapat disimpulkan bahwa  duduk dalam pelaksanaan salat ada dua macam, yaitu; Pertama, duduk iftirasy. Duduk iftirasy adalah duduk dalam salat dengan cara duduk di atas telapak kaki kiri dan telapak kaki kanan ditegakkan. Duduk iftirasy ini dilakukan pada waktu duduk di antara dua sujud, ketika duduk setelah bangkit dari sujud kedua pada rakaat pertama dan ketiga, dan ketika duduk tasyahhud awal.  Kedua, duduk tawarruk, yaitu duduk dengan cara memajukan kaki kiri di bawah kaki kanan dan menegakkan telapak kaki kanan. Duduk semacam ini dilakukan pada waktu tasyahhud akhir.

Dalam masalah duduk iftirasy dan duduk tawarruk ini ada perbedaan pendapat di kalangan imam mazhab. Menurut mazhab asy-Syafi’i, duduk macam apapun yang dilakukan oleh seseorang dalam salat, maka salatnya sah dan disunahkan duduk iftirasy, sedang pada tasyahhud kedua disunahkan duduk tawarruk. Mazhab Maliki berpendapat bahwa dalam salat disunahkan duduk tawarruk, yaitu dengan cara meletakkan pinggul sebelah kiri, dan memasukkan kaki kiri di bawah kaki kanan serta menegakkan telapak kaki kanan. Sedang mazhab Hambali berpendapat bahwa disyariatkan duduk iftirasy pada duduk tasyahhud pertama dalam salat yang memiliki dua tasyahhud, dan pada duduk tasyahhud kedua disyariatkan duduk tawarruk.

Kembali kepada pertanyaan saudara, apakah pada rakaat terakhir dalam salat 2 (dua) raka’at itu duduk iftirasy atau tawarruk? Kita perhatikan kembali hadis riwayat Abu Humaid As-Saa’idi yang menceritakan bahwa dirinya benar-benar mencermati salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dengan mengangkat kedua tanganya sejajar dengan bahunya, beliau ruku dengan menggenggam lutut dengan kedua tangannya, kemudian melakukan i’tidal dengan berdiri tegak, lalu sujud dengan meletakkan kedua tangannya dengan tidak membentangkan dan menyempitkannya, apabila beliau duduk pada rakaat kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya dan apabila duduk pada rakaat terakhir, beliau memajukan kaki kiri (di bawah kaki kanan) dan menegakkan kaki kanannya.

Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Bariy Syarh Kitab al-Bukhariy menjelaskan bahwa hadis ini (riwayat Abu Hamid as-Saa’idy)  dijadikan sebagai dalil yang kuat oleh Imam asy-Syafi’i. Hadis tersebut menjelaskan bahwa cara duduk pada tasyahhud awal berbeda dengan cara duduk pada tasyahhud akhir. Hal ini berbeda dengan pendapat Malikiyah dan Hanafiyah yang berpendapat bahwa cara duduk pada tasyahhud awal maupun tasyahhud akhir adalah sama. Mazhab Malikiyyah menyamakan cara duduk pada kedua tasyahhud dalam salat dengan duduk tawarruk, sedang Hanafiyyah sebaliknya yaitu dengan cara duduk iftirasy.

Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwa  kalimat ” وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ ” (apabila duduk pada raka’at yang terakhir) menjadi dalil bahwa duduk tasyahhud pada salat shubuh seperti duduk tasyahhud akhir pada salat lainnya, karena kalimat فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ sifatnya umum, yaitu rakaat terakhir pada salat yang jumlah rakaatnya 2 (dua), 3 (tiga) atau 4 (empat).

Tim Fatwa sependapat dengan pendapat Imam asy-Syafi’i dalam memahami kalimat “raka’at terakhir” (وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَة) yang terdapat dalam hadis al-Bukhari, karena alasan tersebut sangat kuat dan dikuatkan dengan riwayat Abu Humaid as-Saa’idy yang terdapat dalam kitab Musnad Imam Ahmad berikut:

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ سَمِعْتُهُ وَهُوَ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدُهُمْ أَبُو قَتَادَةَ بْنُ رِبْعِيٍّ يَقُولُ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ …………… ثُمَّ صَنَعَ كَذَلِكَ حَتَّى إِذَا كَانَتِ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيهَا الصَّلاَةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ. [رواه أحمد: باقى مسند الأنصارى]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Humaid as-Saa’idy ia berkata, saya telah mendengarnya (Muhammad bin Atha’) dan berada di tengah-tengah sepuluh shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.- di antaranya adalah Abu Qatadah- , ia (Abu Humaid as-Saa’idy) berkata; Saya adalah orang yang paling hafal salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ……………………… kemudian beliau melaksanakan seperti itu sehingga apabila beliau berada pada raka’at yang terakhir, beliau mengeluarkan (telapak) kaki kirinya dan duduk pada bagian kirinya dengan cara duduk tawarruk, kemudian beliau (mengucapkan) salam.” [HR. Ahmad: Baqi Musnad al-Anshary]

Dengan demikian maksud kalimat  وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ  (dan apabila duduk pada raka’at terakhir, beliau memajukan kaki kirinya ke depan dan mendirikan tapak kaki yang lain (kanan) dan duduk di tempat duduknya) adalah apabila beliau duduk pada raka’at terakhir baik salat yang terdiri dari 2 (dua) raka’at, 3 (tiga) raka’at atau 4 (empat) raka’at, baik dalam salat wajib maupun salat sunnat yang setelah selesai berdo’a lalu ditutup dengan salam; beliau duduk dengan memajukan (telapak) kaki kirinya (di bawah kaki kanan) dan duduk di tempat duduknya.

Dengan memperhatikan hadis-hadis di atas berikut syarahnya, dapat disimpulkan bahwa duduk pada raka’at terakhir (duduk tasyahud) baik salat itu 2 (dua) raka’at, 3 (tiga) raka’at atau 4 (empat) raka’at adalah dengan cara duduk tawarruk.[17]

Analisis dan Perbandingan

Mazhab as-Syafi’i dan mazhab Hanbali bersepakat bahwa untuk salat yang memiliki dua tasyahhud maka tasyahhud awal dengan duduk iftirasy dan tasyahhud kedua dengan duduk tawarruk. Khilaf yang terjadi di antara kedua mazhab ini adalah pada salat-salat yang hanya memiliki satu tasyahhud seperti salat subuh dan salat jum’at, apakah dengan duduk iftirasy ataukah dengan duduk tawarruk.[18]

Jika disimak, hadis Abu Humaid jelas-jelas membedakan cara duduk tasyahud pertama dan kedua.

فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ. (صحيح البخاري ـ (1/ 210)

“Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).”(HR Bukhari)

Hadis berikut ini juga mendukung pendapat Imam asy Syafi’i.

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ ، اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلاَةُ ، أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى ، وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ. (السنن الكبرى للنسائي (2/ 59)

 Dari Abu Humaid as-Sa’idi ia berkata, “Jika Nabi SAW duduk pada salat dua raka’at yang diakhiri dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di sisi kiri.

 Di sini secara gamblang dikatakan bahwa beliau duduk tawarruk pada tasyahud akhir salat dua raka’at  yang maksudnya hanya ada sekali tasyahud.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

وَفِي هَذَا الْحَدِيث حُجَّة قَوِيَّة لِلشَّافِعِيِّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ فِي أَنَّ هَيْئَة الْجُلُوس فِي التَّشَهُّد الْأَوَّل مُغَايِرَة لِهَيْئَةِ الْجُلُوس فِي الْأَخِير ، وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ الْمَالِكِيَّة وَالْحَنَفِيَّة فَقَالُوا : يُسَوِّي بَيْنهمَا ، لَكِنْ قَالَ الْمَالِكِيَّة : يَتَوَرَّك فِيهِمَا كَمَا جَاءَ فِي التَّشَهُّد الْأَخِير ، وَعَكَسَهُ الْآخَرُونَ . وَقَدْ قِيلَ فِي حِكْمَة الْمُغَايَرَة بَيْنهمَا أَنَّهُ أَقْرَب إِلَى عَدَم اِشْتِبَاه عَدَد الرَّكَعَات ، وَلِأَنَّ الْأَوَّل تَعْقُبهُ حَرَكَة بِخِلَافِ الثَّانِي ، وَلِأَنَّ الْمَسْبُوق إِذَا رَآهُ عَلِمَ قَدْر مَا سُبِقَ بِهِ ، وَاسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيّ أَيْضًا عَلَى أَنَّ تَشَهُّد الصُّبْح كَالتَّشَهُّدِ الْأَخِير مِنْ غَيْره لِعُمُومِ قَوْلُهُ ” فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة ” ، وَاخْتَلَفَ فِيهِ قَوْل أَحْمَد ، وَالْمَشْهُور عَنْهُ اِخْتِصَاص التَّوَرُّك بِالصَّلَاةِ الَّتِي فِيهَا تَشَهُّدَانِ (فتح الباري – ابن حجر (2/ 309)

“Hadis ini merupakan argumen yang kuat bagi Imam asy-Syafi’i dan yang sependapat dengannya bahwa keadaan duduk pada tasyahud awwal berbeda dengan duduk pada tasyahud terakhir. Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah menyelisihi hal tersebut dan berpendapat bahwa duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama. Ulama Malikiyyah berpendapat, duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama-sama tawarruk. Sedangkan ulama Hanafiyyah berpendapat sebaliknya, keduanya sama-sama duduk iftirasy.[19]

Ada yang berpendapat bahwa mengapa berbeda antara tasyahud awwal dan akhir karena hikmahnya adalah supaya bisa membedakan jumlah rakaat. Tasyahud awwal masih ada gerakan setelah itu, sedangkan tasyahud akhir tidak demikian. Begitu pula jika ada makmum masbuq (yang telat datang), maka ia dapat mengetahui berapa rakaat yang telah dilakukan (oleh jamaah). Imam Asy Syafi’i juga beralasan bahwa duduk tasyahud ketika salat Subuh sama dengan keadaan tasyahud akhir untuk salat lainnya karena dalilnya umum yaitu disebutkan dalam hadis,

فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة

“Di raka’at terakhir.”

Imam Ahmad sendiri memiliki pendapat yang berbeda-beda. Namun yang masyhur dari beliau, dikhususkan duduk tawarruk ketika tasyahud akhir pada salat yang memiliki dua kali tasyahud.”

Al Mubarakfuri rahimahullah berkata :

وَالْإِنْصَافُ أَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ حَدِيثٌ يَدُلُّ صَرِيحًا عَلَى اِسْتِنَانِ الْجُلُوسِ عَلَى الرِّجْلِ الْيُسْرَى فِي الْقَعْدَةِ الْأَخِيرَةِ ، وَحَدِيثُ أَبِي حُمَيْدٍ مُفَصَّلٌ فَلْيُحْمَلْ الْمُبْهَمُ عَلَى الْمُفَصَّلِ اِنْتَهَى . )تحفة الأحوذي (1/ 323)

“Pendapat yang lebih tepat, tidak didapatkan satu pun hadis yang menunjukkan secara terang tentang disunnahkannya duduk di atas kaki kiri (duduk iftirasy) pada duduk tasyahud terakhir. Hadis Abu Humaid jelas sudah terperinci. Sehingga hadis yang bersifat global dibawa maknanya kepada yang terperinci.”

Di halaman lain, al-Mubarakfuri juga menegaskan pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa sunnah duduk tawarruk pada tasyahud akhir.[20] Sementara itu Wahbah az-Zuhaili menggaris bawahi, menurut jumhur ulama, yang sunnah adalah duduk tawarruk pada saat duduk tasyahud akhir, hanya saja memang Hanabilah menyunnahkan jika ada dua tasyahud. Maka jika hanya ada satu tasyahud seperti salat subuh maka tidak disunnahkan duduk tawarruk.[21]

Penutup

Dalam hal duduk tasyahud akhir, baik salat yang memiliki satu atau dua tasyahud, maka tampak pendapat asy-Syafi’i dan juga sekaligus yang dipilih Majelis Tarjih tampak lebih kuat dan meyakinkan, walau tidak perlu menyalahkan atau menganggap salah pendapat yang berbeda.

Pembedaan duduk seperti ini juga memiliki hikmah tersendiri, seperti orang bisa mengidentifikasi apakah ini duduk tasyahud awal atau akhir ketika ia mau bergabung jamaah misalnya. Selain itu, duduk iftirasy jelas memudahkan untuk berdiri ke rakaat berikutnya, sementara duduk tawarruk yang kemudian diikuti salam jelas tidak ada gerakan untuk berdiri lagi sehingga lebih pas dengan posisi duduk itu.

Lagi-lagi masalah seperti ini bukan masalah prinsip dan mendasar dalam urusan salat, seyogyanya disikapi dengan biasa dan dewasa. Tetap saling menghormati dan menghargai pilihan masing-masing tanpa saling mencela dan merendahkan. Wallahu a‘lam.

Daftar Bacaan

Ad-Dimyathi, Ibnu an-Najjar, Mausu’ah al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Kairo : Dar at-Taqwa, 2011)

Al-Ghazali, al-Wasith fi al-Madzhab, Cet. I, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001) Jilid I.

al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-‘Ibad, Cet. I, (Kairo : Dar al-Ghad al-Jadid, 2014)

al-Jazairi, Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqhi ‘ala Madhahib al-Arba’ah, ( Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), Jilid I-V.

Alwali, Muhammad Bin Ali Bin Adam Bin Musa Alaethiopi, Dzakhirat al-‘Uqba fi Syarh al-Mujtaba, Cet. I, ( ttp : Dar al-Mi’raj ad-Dauliyah li an-Nasyr, 2003), Juz XV.

An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab li asy-Syairazi, Cet. I, (Kairo : Dar al-‘Alamiyah, 2018), Juz III.

az-Zuhaily, Muhammad, al-Mu’tamad Fi al-Fiqh asy-Syafi’i, Cet. V, ( Dimasyq : Dar al-Qalam, 2015), Jilid II.

az-Zuhayli, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Vol. 1-9  (Dimashq : Dar al-Fikr, 1985).

Bazamul, Muhamad bin Umar bin Salim, at-Tarjih fi al-Masa`il at-Thaharah wa ash-Shalah, alih bahasa Ali Nur, Ensiklopedi Tarjih Masalah Thaharah dan Shalat, Cet. I, (Jakarta : Dar as-Sunnah Press, 2007).

Maktabah Syamilah versi 3.4

https://almanhaj.or.id/923-sifat-duduk-dalam-shalat-dua-rakaat.html, diakses 2 Januari 2022.

https://fatwatarjih.or.id/cara-duduk-tasyahud-pada-salat-dua-raka’at/, diakses 1 Desember 2022.

https://fatwatarjih.or.id/cara-duduk-tasyahud-pada-shalat-dua-rakaat/, diakses 2 Januari 2022.

https://firanda.com/75-cara-duduk-tasyahhud-terakhir-sholat-subuh.html, diakses 2 Januari 2022.

https://rumaysho.com/1259-cara-duduk-tasyahud-iftirasy-atau-tawarruk.html, diakses 3 Desember 2022.

https://www.youtube.com/watch?v=Zj60uKmf94A, akses 23 Desember 2022.


[1] Muhammad bin Umar bin Salim Bazamul, at-Tarjih fi al-Masa`il at-Thaharah wa ash-Shalah, alih bahasa Ali Nur, Ensiklopedi Tarjih Masalah Thaharah dan Shalat, Cet. I, (Jakarta : Dar as-Sunnah Press, 2007), hlm. 334-338.

[2] Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husaini, Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtishar, tahqiq wa ta’liq Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidhah, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), hlm. 178.

[3] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab li asy-Syairazi, Cet. I, (Kairo : Dar al-‘Alamiyah, 2018), III : 412. A. Zakaria, dkk., Istifta Tanya Jawab Hukum Islam Kontemporer, (Bandung : Persispers, 2019), hlm. 206. Syaikh Salman As-Sunaidi, at-Tanawwu’ al-Masyru’ fi Shifat ash-Shalat, alih bahasa Nidhol Masyhud, Shalatnya Berbeda-beda, Tapi Sama-sama Sah, ( Solo : Aqwam, 2011), hlm.  140 dst.

[4] Muhamad bin Umar bin Salim Bazamul, at-Tarjih fi al-Masa`il at-Thaharah wa ash-Shalah, alih bahasa Ali Nur, Ensiklopedi Tarjih Masalah Thaharah dan Shalat, Cet. I, (Jakarta : Dar as-Sunnah Press, 2007), hlm. 334.

[5] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab li asy-Syairazi, Cet. I, (Kairo : Dar al-‘Alamiyah, 2018), III : 413. Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II : 44. Asy-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra asy-Sya’raniyah, Cet. II, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), I : 196-197. Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Jilid I, Cet. I, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2011),  hlm. 679.

[6] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, II/305.

[7] Lihat Al-Ghazali, al-Wasith fi al-Madzhab, Cet. I, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001) Jilid I : 236.

[8] Lihat ad-Dimyathi, Mausu’ah al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, ( Mesir : Dar at-Taqwa, 2015), Juz II, hlm. 160-162. Lihat juga Ibnu Qayyim, Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-‘Ibad, Cet. I, (Kairo : Dar al-Ghad al-Jadid, 2014), I : 97.

[9] https://rumaysho.com/1259-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html, diakses 4 Desember 2021. Ibnu Qudamah, al-Mughni, II/443. Lihat juga Muhammad Bin Ali Bin Adam Bin Musa Alaethiopi Alwali, Dzakhirat al-‘Uqba fi Syarh al-Mujtaba, XV : 59. Lihat pula Asy-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaq al-Akhbar Min  Ahadis Sayyid al-Akhyar, Cet. III, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), II : 284-285.

[10] Sumber https://rumaysho.com/1259-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html, diakses 1 Januari 2022.

[11] https://almanhaj.or.id/923-sifat-duduk-dalam-shalat-dua-rakaat.html, diakses 2 Januari 2022.

[12] Syaikh  Ibnu Utsaimin, Liqa` Bab al-Maftuh, XXII : 71, dalam al-maktabah asy-Syamelah Versi 3.4.

[13] https://www.youtube.com/watch?v=4waXfyshn1c., akses 24 Desember 2022.

[14] https://www.youtube.com/watch?v=Zj60uKmf94A, akses 23 Desember 2022.

[15] Baca lebih banyak di: https://firanda.com/75-cara-duduk-tasyahhud-terakhir-sholat-subuh.html, diakses 12 Januari 2022.

[16] Lihat Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah 3, Cet. I, ( Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2018), hlm. 578.

[17] https://fatwatarjih.or.id/cara-duduk-tasyahud-pada-shalat-dua-rakaat/, diakses 2 Januari 2022. Periksa juga Musthafa Kamal Pasha dkk., Fikih Islam sesuai dengan Putusan Majelis Tarjih, Cet. I, (Yogyakarta : Surya Mediatama, 2017), hlm. 59.

[18] Baca lebih banyak di: https://firanda.com/75-cara-duduk-tasyahhud-terakhir-sholat-subuh.html, diakses 3 Januari 2022.

[19] Ibnu Hajar, Fath al-Bari, II : 309.

[20] Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi, I : 324.

[21] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II : 88.

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE