Bolehkah Menikahi Wanita yang Sedang Hamil?
Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag*
PWMJATENG.COM – Pergaulan bebas yang dapat berujung pada kehamilan sebelum menikah kiranya semakin memperihatinkan. Trennya semakin naik dan seolah tak terbendung akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.sudah bukan rahasia lagi kalau banyak remaja mengalami kehamilan dulu sebelum nikah salah satunya ditandai dnegan banyaknya izin dispensasi nikah ke pengadilan agama yang mayoritas dilatarbelakangi karena sudah hamil duluan.
Padahal semangat UU Perkawinan ingin mendewasakan pasangan nikah dengan menaikkan usia minimal boleh menikah dari semula 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan menjadi 19 tahun tanpa membedakan jenis kelaminnya. Harapannya, mereka yang mau menikah betul-betul sudah matang dan mapan sehingga bisa meminimalisir risiko termasuk perceraian di kemudian hari.
Di sisi lain pergaulan remaja semakin longgar dan tidak mengenal batas-batas norma agama, akibatnya ‘kecelakaan’ semakin meningkat, sementara ketika mau menikahi terbentur usia yang belum mencapai batas minimal. Memang UU Perkawinan membuka celah mengajukan dispensasi nikah bagi yang usianya di bawah umur, namun secara umum pernikahan dini rawan masalah dan perceraian akibat belum matang dan dewasa.
Masalah yang kemudian timbul dari sisi hukum Islam adalah, bagaimana status pernikahan di saat pasangan wanita sudah hamil duluan. Apalagi jika yang menikahi bukan yang menghamili, tentunya banyak pertanyaan dan keraguan yang memerlukan jawaban tersendiri.
Pengertian Nikah Hamil
Nikah hamil adalah pernikahan di mana pengantin wanita sudah hamil duluan akibat zina atau pergaulan bebas. Yang menikahi bisa jadi pria yang menghamili (menzinai) bisa juga pria lain yang mau menikahi karena satu dan lain hal. Bisa juga pernikahan yang dilakukan karena wanita itu hamil akibat perkosaan, di mana ia (mungkin) dinikahi pria yang memperkosanya atau dinikahi pria lain yang mau menikahinya.
Wanita hamil sendiri ada beberapa kemungkinan. Pertama, hamil karena mempunyai suami yang sah. Wanita yang hamil karena memiliki suami yang sah tentu haram dan tidak boleh dinikahi orang lain ketika statusnya masih menjadi istri orang. Jika suaminya menceraikannya dengan cerai hidup, maka mantan istri wajib beriddah sampai melahirkan sebelum bisa dinikahi orang lain. Jika wanita hamil ini ditinggal mati suaminya yang sah, maka wajib beriddah selama 4 bulan 10 hari sebelum bisa dinikahi orang lain. Hukum seperti ini tidak ada perbedaan di kalangan ulama (Amir Syarifuddin, 2014 : 312). Kedua, hamil karena perkosaan atau karena zina. Menikahi wanita hamil karena perkosaan atau zina ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang memandang wajib beriddah dan juga bertaubat untuk bisa dinikahi pria, namun ada yang mengatakan tidak ada iddah dan tidak harus taubat. Untuk lebih jelasnya bisa diikuti pembahasan berikut ini.
Pandangan Ulama Fikih
Hukum menikahi wanita hamil karena zina diperselisihkan di kalangan ulama yang terbagi menjadi dua pendapat : (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XVI : 272)
Membolehkan dan menganggap pernikahan itu sah. Mengingat larangan menikahi wanita hamil terkait menjaga nasab, sementara zina tidak memiliki konsekuensi nasab. Berdiri dalam posisi ini adalah kalangan Syafi’iyyah, Imam Abu Hanifah, Muhammad (sahabat Imam Abu Hanifah) (Al-Mausu’ah al-Kuwaitiyah, XVI : 272)
Imam Nawawi dalam al-Majmu’ menjelaskan, jika seorang wanita berzina maka dia tidak wajib beriddah baik ia hamil atau tidak. Jika ia tidak hamil maka boleh ia dinikahi baik yang menzinai atau bukan, namun jika ia dalam kondisi hamil maka dimakruhkan menikahinya sebelum melahirkan. Pendapat ini adalah juga menjadi pendapat salah satu riwayat dari Imam Abu Hanifah (An-Nawawi, XVI : 242).
Argumentasi kelompok yang membolehkan terangkum sebagai berikut :
Dalil dari al-Quran Surat an-Nisa ayat 24.
Jika diperhatikan ketentuan pada ayat 24 Surat An-Nisa’–setelah menyebutkan wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi oleh seorang pria, yaitu ayat 22, 23, dan 24–Allah Swt. menegaskan bahwa dibolehkan seorang laki-laki menikahi wanita-wanita lain selain yang telah disebutkan tadi. Dalam hal ini Allah berfirman:
… وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَآءَ ذَلِكُمْ … (النسآء: 24)
Artinya: “… dan dihalalkan bagimu selain yang demikian …” (QS. An-Nisa’: 24).
Baca juga, Membaca Ulang Fatwa Tarjih PWM Jateng tentang Nikah Misyar yang Rugikan Perempuan dan Anak
Sisi pendalilan dengan potongan ayat di atas adalah, larangan menikahi wanita hamil karena zina tidak dicantumkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Sehingga di luar yang disebut sebagai larangan maka bisa dipahami hukumnya boleh.
Memang, pada ayat-ayat yang lain disebutkan juga wanita-wanita lain selain yang tersebut pada ayat 22, 23, dan 24 di atas yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki mencakup wanita-wanita seperti di bawah ini:
- Wanita musyrik, dasar laranganya terdapat pada QS. Al-Baqarah: 221.
- Wanita yang masih dalam masa iddah sedang ia masih mengalami masa haid dengan dasar Q.S. Al-Baqarah: 228.
- Wanita yang telah ditalak tiga kali oleh suaminya (bain kubra), ia haram dinikahi bekas suaminya, kecuali setelah kawin dengan laki-laki lain kemudian bercerai dan habis masa iddahnya sebagaimana dapat dilihat pada Q.S. Al-Baqarah: 230.
- Wanita yang dalam masa iddah karena suaminya meninggal dunia bisa dilihat dalam Q.S. Al-Baqarah: 235.
- Wanita yang tidak mempunyai masa haid lagi dan wanita dalam masa iddah karena hamil, periksa Q.S. Ath-Thalaq: 4.
- Menikahi wanita sebagai istri yang kelima setelah memiliki empat istri, bisa dipahami dari Q.S. An-Nisa’: 3.
- Wanita musyrik terlarang dinikahi berdasar Q.S. An-Nur: 3.
- Larangan seorang laki-laki mengumpulkan sebagai istri seorang wanita dengan saudara wanita bapaknya atau seorang wanita dengan saudara wanita ibunya (Q.S. An-Nisa’: 23).
Ayat-ayat di atas merupakan tambahan ketentuan terhadap wanita-wanita yang haram dinikahi yang telah disebutkan pada ayat 22, 23, dan 24 surat An-Nisa’. Di mata ulama, ziyadah nash yang qath‘iyyuts-tsubut terhadap nash yang qath‘iyyuts-tsubut itu diperbolehkan. Pada ayat-ayat tersebut tidak terdapat wanita hamil yang tidak mempunyai suami. Karena itu bisa disimpulkan, boleh menikahi wanita hamil yang tidak mempunyai suami asal lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya dan tidak perlu ada pengulangan akad setelah melahirkan.
Argumen berikutnya, sahabat Umar bin Khattab sebagai tokoh sahabat membolehkan pernikahan wanita hamil di hadapan sahabat-sahabat lain dan tidak diketahui ada yang menentangnya. Namun klaim tidak ada yang menentangnya ini dipertanyakan, karena jelas ada sahabat lain yang menentangnya seperti Ibnu Mas’ud (Al-Marzuqi, t.t : 322-323).
Melarang dan menganggap pernikahan itu tidak sah. Mereka menyatakan, tidak boleh menikahi wanita hamil sebelum melahirkan baik yang menghamili maupun bukan. Pendapat ini dikemukakan kalangan Malikiyah, Hanabilah dan Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah.
Baca juga, Muhammadiyah Memutuskan Awal Waktu Subuh Ditambah 8 Menit
Dalam kitab At-Tafri’ fi Fiqh al-Imam Malik bin Anas disebutkan, jika ada wanita yang hamil karena zina maka tidak boleh dinikahi sampai ia melahirkan, dan tidak boleh bagi suaminya jika punya suami untuk menggaulinya sampai melahirkan kandungannya. Tidak boleh pula bagi tuannya (kalau wanita itu budak) menggauli budaknya jika tidak punya suami sampai ia beristibra satu kali haid atau melahirkan (Ibnu al-Jallab, 2007: II : 78).
Imam Nawawi menjelaskan dalam al-Majmu’, Rabi’ah, Malik, dan ats-Tsauri, Ahmad dan Ishaq radhiyallahu ‘anhum berpendapat bahwa wanita yang berzina wajib melakukan iddah seperti wanita yang disetubuhi secara syubhat. Jika tidak hamil iddahnya 3 kali quru, jika dalam keadaan hamil iddahnya sampai melahirkan. Pernikahannya tidak sah sebelum melahirkan. Sedang Imam Malik berkata, jika ada seorang pria menikahi wanita dan ia tidak tahu kalau wanita itu pezina kemudian ia tahu kalau wanita itu hamil karena zina maka pernikahannya dibatalkan (dipisahkan), jika sudah terlanjur digauli maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Rabiah berkata, “Pernikahannya dibatalkan dan tidak ada kewajiban mahar. Ibnu Sirin dan Abu Yusuf berpendapat, jika wanita itu tidak hamil maka tidak ada iddah, jika si wanita hamil maka tidak sah menikahinya sampai wanita itu melahirkan, ini adalah riwayat lain dari Abu Hanifah (An-Nawawi, t.t, XVI : 242).
Argumen-argumen kelompok ini terangkum sebagai berikut :
Dalil-dalil yang dikemukakan ulama yang tidak membolehkan menikahi wanita hamil karena zina adalah sebagai berikut:
Hadis pertama
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ } .أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْبَزَّارُ ).
“Dari Nabi Saw., “ Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir jika ia menyiramkan airnya (spermanya) pada tanaman orang lain” (Ditakhrij oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan disahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Bazzar).
Hadis kedua
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لاَ يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلاَلَ. أَخْرَجَهُ ابن ماجة
Dari Ibnu Umar dari Nabi Saw., beliau bersabda, “ Sesuatu yang haram tidak akan mengharamkan yang halal”. (HR Ibnu Majah)
Menurut as-Sindi dalam Hasyiyah as-Sindi, keharaman mushaharah tidak terjadi melalui hubungan yang haram seperti zina. Atau bisa juga dipahami orang yang menzinai seorang wanita, ia boleh menikahinya.
Hadis ketiga
وَرُوِيَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ ، { أَنَّ رَجُلًا تَزَوَّجَ امْرَأَةً ، فَلَمَّا أَصَابَهَا وَجَدَهَا حُبْلَى ، فَرَفَعَ ذَلِكَ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا ، وَجَعَلَ لَهَا الصَّدَاقَ ، وَجَلَدَهَا مِائَةً.
Dari Said bin Al-Musayyab bahwa seseorang telah menikah dengan seorang wanita, namun baru ketahuan wanita itu dalam keadaan hamil. Maka kasus itu diangkat ke hadapan Rasulullah Saw. dan beliau memisahkan (menceraikan) antara keduanya, dan Rasulullah menetapkan maharnya dan menderanya 100 kali. (HR Said bin Manshur, hadis mursal).
Sebagi sebuah ringkasan penjelasan, Ibnu Qudamah menginformasikan pandangan mazhab Hanbali sekaligus menyampaikan adanya perbedaan pendapat dalam hukum menikahi wanita hamil sebagai berikut :
“Jika seorang wanita berzina, maka tidak halal seseorang yang mengetahui hal ini menikahinya kecuali dengan dua syarat; pertama, iddahnya telah selesai, jika ia hamil maka dengan melahirkan, dan tidak halal melangsungkan pernikahan sebelum wanita ini melahirkan kandungannya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik dan Abu Yusuf, satu dari dua riwayat dari Abu Hanifah dan riwayat satunya mengatakan halal dan sah menikahinya. Pendapat menikahi wanita hamil sah dan halal juga dipegang mazhab Syafi’i dengan alasan zina adalah persetubuhan yang tidak menetapkan nasab maka tidak diharamkan nikah sebagaimana kalau tidak hamil.” (Ibnu Qudamah, 1405 : XV : 170)
Sedang Ibnu Hazm salah seorang ulama utama mazhab Zhahiri menyampaikan dalam al-Muhalla sebagai berikut:
“Tidak halal bagi wanita pezina dinikahi seseorang baik pria pezina maupun pria baik-baik sampai si wanita pezina tadi bertaubat, jika sudah bertaubat maka baru halal dinikahi pria baik-baik tadi. Juga tidak halal seorang pria muslim pezina menikahi wanita muslimah yang tidak berzina dan wanita baik-baik sehingga pria itu bertaubat. Jika pria itu sudah bertaubat maka baru halal menikahi wanita muslimah baik-baik tadi. Bagi pria muslim yang pezina pasnya menikahi wanita kitabiyah walaupun belum bertaubat, jika terjadi pelanggaran pada hukum yang sudah kami sebutkan di atas maka pernikahan itu difasakh selamanya. Jika pria baik-baik menikahi wanita baik-baik kemudian salah satunya berzina atau kedua-duanya berzina, maka pernikahannya tidak difasakh karena itu.” (Ibnu Hazm, IX : 474-475)
Pandangan KHI
KHI menganut paham boleh dan sah menikahi wanita hamil baik yang menzinai maupun bukan. Serta anak yang dilahirkan dalam masa pernikahan tersebut adalah anak sah suami ibunya. Pasal 53 KHI secara gamblang mengatur : Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. ( Ahmad Rofiq, 2017 : 135)
Dari pasal 53 ayat 2 di atas dapat dipahami bahwa tidak ada kewajiban iddah bagi wanita hamil di luar nikah jika ia dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Persoalan yang kemudian muncul adalah jika wanita hamil di luar nikah tersebut menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya. Dalam hal ini KHI belum memberikan penjelasan yang memadai (Saiful Millah & Asep Saifudin Jahar, 2019:125).
Plus Minus Membolehkan Nikah Hamil
Dampak positif jika pernikahan wanita hamil dibolehkan dan disahkan di antaranya :
1. Wanita hamil dan keluarga terselamatkan dari aib berkepanjangan.
Paling kurang aibnya segera terkurangi dengan pernikahan tadi. Status wanita segera bersuami yang secara psikologis lebih menenteramkan daripada mengandung tanpa kejelasan suaminya. Anak yang dilahirkan nanti memiliki ayah yang bertanggung jawab.
2. Status anak menjadi anak sah di mata negara.
Si wanita tidak mengalami tekanan batin berkepanjangan yang jika tidak kuat bisa jatuh sakit bahkan meninggal dunia.
Sementara dampak negatif memperbolehkan dan mengesahkan nikah hamil dapat disebutkan misalnya :
1. Seolah membuka pintu zina lebih lebar, karena walaupun sudah hamil duluan toh nantinya bisa dinikahkan dan pernikahannya sah.
Dikawatirkan orang semakin berani berhubungan seks pra nikah, toh nanti juga bisa menikah. Bisa mendorong degradasi moral di kalangan pemuda secara umum.
2. Keabsahan pernikahannya masih menyisakan keraguan, sehingga sebagian kalangan melakukan tajdid an-nikah (pengulangan nikah).
3. Bila terjadi masalah suami istri, rawan masa lalu ini diungkit-ungkit pihak tertentu atau malah pasangannya sendiri. Rawan perceraian, karena menikah karena hamil duluan biasanya pasangan sebenarnya belum benar-benar siap.
Penutup
Menikahi wanita hamil masih menyisakan masalah terkait keabsahan pernikahannya lebih lebih jika yang menikahi bukan yang menghamilinya. Maka dari itu pernikahn model begini sebaiknya dihindari dan dijauhi mengingat kontroversi di dalamnya yang cukup tajam.
Sudah semestinya seorang muslim dan muslimah menjaga kesucian diri sampai menjadi suami istri yang sah. Jangan sampai berbuat zina sebelum menikah walau mungkin sudah bertunangan misalnya. Karena tunangan dalam hukum Islam belum berefek pada kehalalan hubungan pria dan wanita.
Walau dalam fikih mazhab Syafi’i, yang kemudian diambil menjadi ketentuan KHI, membolehkan dan mengesahkan pernikahan wanita hamil, namun sebagaimana ditegaskan Imam an-Nawawi bahwa bolehnya menikahi wanita hamil dengan karahah (berat hati) alias dibenci, jadi bukan mubah murni.
Jangan sampai kita memulai berumah tangga dengan sebuah pelanggaran, karena dikawatirkan jika tidak taubat sungguh-sungguh akan menghilangkan dan menghalangi keberkahan kita dalam berkeluarga yang hakikatnya ibadah terlama dan terpanjang dalam kehidupan umat Islam. Jaga kesucian sebelum menikah itu baru hebat!
Daftar Pustaka
- Ad-Dasuqi, Muhammad. al-Ahwal asy-Syakhshiyyah fi al-Madzhab asy-Syafi’i. Kairo : Dar as-Salam, 2011.
- Al-Jazairi, Abdurrahman, Kitab al-Fiqhi ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004.
- Al-Syaukani, Nail al-Autar, Jilid 6, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004.
- Az-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 9, Damaskus : Dar al-Fikr, t.th.
- http://m.muhammadiyah.or.id/id/news-11227-detail-bagaimana-hukum-menikahi-wanita-hamil-.html
- https://konsultasisyariah.com/16155-menikahi-wanita-hamil.html
- https://www.islamweb.net/en/fatwa/213442/ruling-on-marrying-a-woman-pregnant-from-zina
- Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta : Kencana, 2016).
- Nurudin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2004.
- Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. III, Rajawali Press, Jakarta, 2017.
- Rusyd, Ibnu, Bidayat al-Mujtahid, Juz II, Semarang : Maktabah Thoha Putra, t.th.
- Sabiq, Al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, Beirut : Dar al-Fikr, 1412.
- Salim, Abu Malik Kamal bin al-Sayyid, Sahih Fiqh al-Sunnah, alih bahasa Kahirul Amru Harahap dkk., Shahih Fikih Sunnah, Jakarta : Pustaka Azzam, 2016.
- Software al-Maktabah al-SyamilahVersi 3.62.
- Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cetakan V, Kencana, Jakarta, 2014
- Trigiyatno, Ali, Bincang 11 Nikah Kontroversial dalam Islam, Madza Media, Malang, 2021.
*Ketua Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah
Editor : M Taufiq Ulinuha