Bersyukur di Tengah Kekurangan: Spirit Islam Melawan Krisis Makna

PWMJATENG.COM – Di tengah derasnya arus materialisme dan krisis makna dalam kehidupan modern, ajaran Islam menawarkan solusi hakiki: bersyukur. Bersyukur bukan hanya sekadar ucapan lisan, melainkan sikap batin yang membentuk cara pandang seseorang terhadap kehidupan, termasuk dalam kondisi kekurangan. Dalam perspektif Islam, rasa syukur memiliki dimensi spiritual yang mampu membendung kegelisahan dan memperkuat makna hidup manusia.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Ayat ini menegaskan bahwa rasa syukur merupakan pintu pembuka limpahan nikmat, sekaligus penghindar dari murka Allah. Dalam konteks kekurangan, syukur menjadi bentuk keimanan yang utuh. Seseorang yang bersyukur tidak menilai hidup hanya dari ukuran materi, tetapi dari kedekatan kepada Sang Pencipta.
Kekurangan Bukan Kutukan
Dalam realitas sosial, banyak orang yang hidup dalam keterbatasan ekonomi, kekurangan fisik, atau kondisi yang tidak ideal. Namun, kekurangan tersebut bukanlah kutukan. Rasulullah ﷺ bersabda:
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian, karena hal itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah kepada kalian.” (HR. Muslim)
Hadis ini menanamkan nilai empati dan kesadaran akan nikmat yang telah dimiliki. Dalam kekurangan, seseorang diajak untuk mengalihkan pandangan dari rasa iri kepada rasa cukup, dari keluh kesah menjadi ketenangan.
Spirit Islam dalam Melawan Krisis Makna
Krisis makna terjadi ketika seseorang kehilangan orientasi hidup. Ia merasa hidup hampa meskipun memiliki segalanya secara lahiriah. Banyak kasus menunjukkan bahwa kekayaan dan kemewahan tidak menjamin kebahagiaan. Di sinilah Islam hadir memberi makna baru melalui syukur dan ridha.
Baca juga, Hijrah: Jalan Pilihan dan Ujian Menuju Kemenangan Sejati
Bersyukur membangun kesadaran bahwa hidup adalah amanah, bukan sekadar pencapaian duniawi. Ajaran Islam mengajak manusia untuk selalu melihat kehidupan sebagai ladang ibadah. Bahkan dalam kekurangan, seorang Muslim bisa menanamkan pahala dan kemuliaan spiritual.
Ketika seseorang diuji, Islam mengajarkan untuk tetap bersyukur, karena ujian adalah bentuk perhatian Allah terhadap hamba-Nya. Ujian tidak serta merta menandakan keburukan, melainkan bisa menjadi jalan peningkatan iman. Allah ﷻ berfirman:
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ، الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: ‘Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn.’” (QS. Al-Baqarah: 155–156)
Ucapan ini bukan hanya bentuk pengakuan terhadap takdir, tetapi juga refleksi dari kesadaran bahwa kehidupan ini fana, dan segala ujian akan berlalu dengan izin Allah.
Ikhtisar
Dalam situasi kekurangan, Islam mengajarkan umatnya untuk tidak larut dalam keputusasaan. Rasa syukur adalah kekuatan spiritual yang mampu mengubah kekurangan menjadi ladang pahala, mengubah duka menjadi doa, dan mengubah kegelisahan menjadi ketenangan. Dengan bersyukur, seorang Muslim tidak hanya selamat dari krisis makna, tetapi juga menemukan kembali jati dirinya sebagai hamba Allah yang penuh harap dan cinta pada-Nya.
Bersyukur di tengah kekurangan adalah bukti kedewasaan iman. Ia adalah pelita di tengah gelapnya dunia, dan tonggak harapan bagi kehidupan yang lebih bermakna.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha