Beragama di Era Overthinking: Tafakur Sebagai Terapi Spiritual

PWMJATENG.COM – Di tengah derasnya arus informasi dan tekanan hidup modern, banyak orang mengalami kelelahan mental yang dikenal sebagai overthinking. Pikiran yang terus-menerus dipenuhi kekhawatiran, keraguan, dan ketidakpastian menjadi fenomena umum, terutama di kalangan generasi muda. Dalam kondisi seperti ini, praktik beragama yang bermakna menjadi sangat relevan. Salah satu bentuk ibadah yang mampu menjadi terapi spiritual adalah tafakur—merenung secara mendalam terhadap ciptaan Allah dan perjalanan hidup manusia.
Tafakur dalam Islam memiliki kedudukan tinggi. Ia bukan hanya bentuk perenungan, tetapi juga sarana untuk memperkuat iman, menenangkan jiwa, dan mendekatkan diri kepada Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah memuji orang-orang yang senantiasa bertafakur. Firman Allah:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali ‘Imran: 191)
Ayat ini menegaskan bahwa tafakur bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan bagian dari zikir dan ibadah. Dalam era overthinking, tafakur membantu memusatkan pikiran hanya kepada Allah dan melepaskan diri dari kekhawatiran duniawi yang membelenggu.
Overthinking kerap muncul akibat kehilangan makna dan arah dalam hidup. Banyak orang terjebak dalam kekhawatiran tentang masa depan, ketakutan akan kegagalan, dan perbandingan sosial yang melelahkan. Media sosial, tekanan ekonomi, dan harapan yang tidak realistis memperparah kondisi ini. Dalam situasi demikian, tafakur hadir sebagai jalan keluar spiritual yang menyegarkan jiwa.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebut bahwa tafakur selama satu jam lebih baik daripada ibadah sunah setahun, selama tafakur itu mendalam dan jujur. Tafakur mampu menghentikan kegelisahan dan mengarahkan manusia untuk kembali kepada fitrah: menyadari kebesaran Allah dan kelemahan diri sendiri.
Baca juga, Hijrah: Jalan Pilihan dan Ujian Menuju Kemenangan Sejati
Dalam praktiknya, tafakur dapat dilakukan dengan mengamati alam semesta, memikirkan nikmat Allah, mengkaji perjalanan hidup, dan merenungi ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika seseorang duduk dalam keheningan, memandang langit, dan menyadari betapa kecil dirinya di hadapan ciptaan Allah, saat itu tafakur sedang bekerja sebagai terapi spiritual.
وَفِي أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“Dan pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21)
Ayat ini mengajak manusia untuk merenungi dirinya, tubuhnya, pikirannya, dan perasaannya. Tafakur menjadikan manusia lebih sadar akan keberadaan dan tujuan hidupnya, sehingga overthinking yang bersumber dari kekosongan makna perlahan mereda.
Tafakur juga menumbuhkan kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan. Ia membentuk sikap tawakal, qana’ah, dan syukur. Dengan tafakur, seseorang tidak lagi menghabiskan energi untuk mencemaskan hal-hal yang belum terjadi, melainkan fokus pada peningkatan kualitas diri dan kedekatan spiritual.
Sebagai umat Islam yang hidup di era digital dengan segala tantangannya, kita perlu menghidupkan kembali tradisi tafakur. Ia tidak memerlukan tempat khusus atau waktu tertentu, tetapi membutuhkan keheningan, kesadaran, dan niat yang tulus. Dalam suasana batin yang tenang, tafakur mampu menyalakan cahaya iman di tengah kegelapan pikiran yang bising.
Menghadapi era overthinking tidak cukup hanya dengan pendekatan psikologis dan medis. Islam menawarkan solusi spiritual yang mendalam. Tafakur adalah salah satu di antaranya—sebuah latihan jiwa yang menyembuhkan, menguatkan, dan menuntun manusia untuk lebih dekat dengan Tuhannya. Jika overthinking adalah gejala dari jiwa yang kehilangan arah, maka tafakur adalah kompas yang mengembalikan orientasi hidup pada titik yang paling hakiki: Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha