Khazanah Islam

Aspek Faktual Penentuan Awal Bulan

Aspek Faktual Penentuan Awal Bulan

Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar (Dosen FAI UMSU, Kepala OIF UMSU, dan Anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah)

PWMJATENG.COM – Penentuan awal bulan hijriah didasarkan pada tiga faktor utama, yaitu: (1) posisi Bulan, (2) visibilitas hilal (pengamatan atau keterlihatan), dan (3) dalil syariat (nash).

Faktor Posisi Bulan

Posisi Bulan dapat dianalisis melalui berbagai elemen astronomi, seperti ketinggian (altitude), arah (azimuth), jarak sudut dari Matahari (elongasi), dan berbagai faktor lainnya. Saat ini, teknologi dan teori astronomi telah memungkinkan perhitungan posisi Bulan dengan sangat akurat.

Dalam konteks ini, Muhammadiyah (dahulu, sebelum menggunakan KHGT) menggunakan kriteria Wujudul Hilal, yang menetapkan bahwa awal bulan baru dimulai ketika Bulan sudah berada di atas ufuk saat Matahari terbenam, dengan syarat telah terjadi ijtimak (konjungsi). Pendekatan ini mengabaikan faktor keterlihatan hilal secara langsung dan hanya berfokus pada keberadaannya di atas ufuk.

Faktor Visibilitas Hilal

Faktor visibilitas hilal menjadi sangat penting karena berkaitan erat dengan aspek dalil syariat. Hilal yang berada di langit tidak otomatis terlihat dari Bumi, mengingat adanya pengaruh atmosfer serta perbedaan intensitas cahaya antara hilal dan Matahari. Jika cahaya hilal terlalu redup dibandingkan cahaya Matahari, maka hilal tidak akan tampak, sekalipun posisinya sudah di atas ufuk. Dalam kondisi ini, pendekatan Wujudul Hilal dianggap kurang realistis karena mengabaikan faktor atmosfer dan sensitivitas optik manusia.

Sejak lama, para ilmuwan mencoba merumuskan konsep ideal tentang visibilitas hilal. Salah satu yang cukup dikenal adalah metode yang dikembangkan oleh Muhammad Syaukat ‘Audah dari Yordania pada tahun 2004. Ia merumuskan teori visibilitas hilal yang kemudian dikembangkan dalam perangkat lunak Accurate Times oleh Jordanian Astronomical Society. Pendekatan ini mempertimbangkan berbagai faktor ilmiah untuk menentukan kemungkinan keterlihatan hilal.

Faktor Dalil Syariat (Nash)

Dalam Islam, metode rukyat (pengamatan langsung) memiliki dasar yang kuat dalam dalil syariat. Rasulullah saw. bersabda:

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal. Jika hilal tertutup awan, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa keberadaan hilal harus dikonfirmasi melalui pengamatan langsung. Oleh karena itu, meskipun metode hisab (perhitungan astronomi) berkembang pesat, pendekatan rukyat tetap memiliki nilai penting dalam hukum Islam.

Baca juga, Menyeimbangkan Hidup: Tausiyah Tafsir dalam Ngaji The Rock

Dalam pandangan fikih, hisab sejatinya berasal dari pengamatan berulang yang kemudian menghasilkan pola matematis. Maka, pendekatan yang lebih ideal adalah mengintegrasikan metode hisab dan rukyat secara seimbang. Hisab sebaiknya tidak mengabaikan kemungkinan visibilitas hilal, sementara rukyat harus mempertimbangkan hasil perhitungan astronomi agar lebih akurat.

Menyatukan Hisab dan Rukyat

Pendekatan terbaik adalah menemukan titik temu antara metode hisab dan rukyat agar diperoleh hasil yang akurat dan dapat diterima secara luas. Konsep hilal ilmiah-syar’iyah menjadi solusi yang ideal, yaitu pendekatan yang menggabungkan perhitungan astronomi modern dengan kaidah syariat Islam. Untuk mencapainya, diperlukan diskusi yang dinamis dan kajian mendalam antara ulama dan ilmuwan.

Di Indonesia, Kementerian Agama RI menerapkan metode Hisab Imkan Rukyat, yang menetapkan standar ketinggian hilal minimal 2 derajat. Namun, banyak astronom menilai standar ini tidak sepenuhnya ilmiah. Kendati demikian, pendekatan ini tetap digunakan sebagai bentuk kompromi yang dapat diterima oleh masyarakat luas, termasuk mereka yang tidak berafiliasi dengan organisasi keagamaan tertentu.

Menuju Kalender Islam Global

Perbedaan metode dalam penentuan awal bulan hijriah menunjukkan perlunya upaya untuk menyusun kalender Islam global yang dapat menyatukan umat Muslim di seluruh dunia dalam satu sistem penanggalan yang seragam. Dengan kalender yang terpadu, ibadah dan aktivitas keagamaan dapat lebih terkoordinasi dengan baik.

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” (QS. Al-Baqarah: 189)

Ayat ini menegaskan bahwa hilal berfungsi sebagai penanda waktu bagi umat Islam. Oleh karena itu, perlu adanya kesepakatan bersama dalam menentukan awal bulan agar tercipta persatuan dalam menjalankan ibadah. Wallahu a’lam.

Artikel telah diterbitkan oleh OIF UMSU di website oif.umsu.ac.id.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE